Sabtu pagi, aku mengajaknya untuk belajar bersama. Betapa paniknya ketika aku mendapatinya muncul dari kos-kosan dengan mata sembab. Dia habis menangis? Sepertinya ia sungguh tidak baik-baik saja. Aku membawanya ke rumahku, tentu saja seizin kedua orang tuaku. Aku membawanya ke gazebo halaman belakang. Saat belajar, dia tidak fokus dan sering melamun. Aku merasakan ada yang tidak beres dengan perasaannya.
“Kamu, jatuh lagi.”
Pernyataan singkat itu, membuat air mata menetes dari sudut matanya. Mata yang selalu tajam dan mengintimidasi itu, kini terlihat sangat rapuh. Ia menangis dalam diam, dengan tatapan kosong ke depan. Dia terdiam. Menangis. Tanpa suara.
“Dengan lelaki yang sama.”
Ia menggigit bibir bawahnya, terlihat sangat menahan isak tangis dengan air mata yang terus mengalir. Ia menundukan kepala, lalu menyodorkan ponselnya kepadaku.
Aku segera membuka aplikasi chat dan membaca chat dari lelaki itu dua hari terakhir.
Aku tau bahwa dia bukanlah seorang gadis yang mudah mengeluarkan air mata untuk seorang lelaki. Aku tau bahwa dia bukanlah seorang gadis yang mudah menangis di depan lelaki. Dari hal itu, sangat aku pahami bahwa dia sudah merasa nyaman dan mencintai lelaki itu.
“Kamu telanjur sayang dia, kan.”
Ia membiarkan air matanya mengalir deras. Tak perlu diusap, membiarkan sakitnya terluapkan. Aku mendekatinya, duduk disampingnya, lalu mengusap sisa air matanya. Matanya sayu dan aku merasakan betapa sakit hatinya.
“Al, mencintai itu, sakit ya.”