AKU sedang menunggu sopir yang biasa menjemputku saat jam pulang sekolah, tidak sengaja aku menoleh ke arah kanan dan mendapati seseorang menatapku dengan intens. Aku hanya tersenyum kearahnya dan kembali fokus ke arah jalan raya yang sedang ramai.Aku mencoba kembali menoleh ke arahnya, memastikan kalau dia masih ada disana. Tetapi sepertinya keputusanku untuk melihatnya adalah keputusan yang salah. Dia disana bersama seseorang yang aku kenal, Anggi. Dia lalu merapikan rambut kekasihnya itu dengan sayang dan Anggi hanya tersenyum senang. Sepertinya aku memang harus melupakan dia. Cukup dia milikku dulu, tapi sekarang aku harus ikhlas jika ia memilih seseorang yang pantas untuknya.
Ya, dia adalah Adiksha Akasa, mantan pacarku sekitar 1 bulan yang lalu. Kami memutuskan hubungan itu karena Adiksha atau yang biasa aku panggil Diksha lebih nyaman jika kita berteman. Aku sebenarnya tidak menyetujui hal tersebut karena aku benar-benar menyayanginya. Tetapi bukannya di dalam sebuah hubungan kita tidak boleh egois? Benar bukan? Jadi aku mengikhlaskan dia untuk pergi dari hatiku. Tapi nyatanya walaupun dia sudah pergi, rasa cintaku padanya masih terlalu mendalam dan mungkin sulit dilupakan.
"Hey," seseorang menyadarkanku dari lamunan. Aku pun menoleh ke orang yang menepuk pundakku.
"Oh, kamu Stev. Kenapa?" dia Stevan. Lelaki yang paling famous setelahnya Adiksha.
"Tuh, dari tadi kamu dipanggil sama sopirmu. Bengong aja! Mikirin siapa sih? Aku?" dia menunjuk Pak Arman yang sudah menunggu di mobil.
"Dih...gak level mikirin kamu Stev, hahaha.Yaudah kalo gitu, aku duluan ya. Bye!" aku lalu berdadah ria dengannya. Stevan, dia anaknya baik, tampan, humoris. Masuk ke type ku banget sebenernya, hanya tempat yang aku sediakan untuk Adiksha belum bisa tergantikan olehnya. Ya, aku tahu jika dia menyukaiku. Dia pernah menyatakan rasa yang ia miliki kepadaku dulu. Tapi seperti yang kalian tahu, cinta bukan sebuah besi yang jika dipanaskan bisa bengkok begitu saja. Cinta adalah kepastian hati yang kita miliki. Uh, sepertinya aku harus tidur panjang siang ini. Pikiranku tentang Adiksha harus segera dihilangkan karena aku tahu jika memikirkan pacar orang lain itu adalah hal tidak baik.
Tanpa aku sadari waktu sangat cepat berlalu. Tepat hari ini tanggal 17 Maret 2017, my birthday. Biasanya Adiksha akan selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku, tapi saat aku mengecek notif dari iphone ku, tak ada satupun pesan darinya. Hem, mungkin memang benar jika dia telah melupakanku dan lebih bahagia bersama Anggi. Ya Nan, kamu harus mengikhlaskan dia dengan Anggi walau kamu tau hatimu masih dipenuhi dengan bayang-bayang Adiksha. Kamu pasti bisa melupakannya.
Setelah mengutak-atik isi hanphone, aku lalu bangkit dan menuju ke bawah untuk sarapan pagi bersama papa dan mama. Tetapi sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pintuku."Halo... apa ada orang di luar? Seorang bidadari terjebak disini!" aku berteriak dari dalam, tetapi tak ada satupun yang menjawab. Aneh sekali.
Tiba-tiba pintuku terbuka dan terpampanglah wajah devil seorang Stevan, Adiksha, Anggi, mama, papa, dan teman-temanku yang lain.
"HAPPY BIRTHDAY NANDA!" teriak mereka semua dan Stevan lalu menyodorkan kue black forest kesukaanku yang diatasnya sudah terdapat angka 17.
"Kalian..." aku hanya melongo melihat mereka semua. Ternyata bukan hanya Stevan yang menyodorkan kue, tetapi Anggi, mama, papa, dan....Adiksha? Oh, astaga.
"Happy Birthday Nan, semoga di sweet seventeen ini semua impianmu tercapai!" Adiskha yang pertama menyodorkan kuenya, memintaku untuk meniup lilin yang berjumlah 17 itu. Senyumku tentu saja mengembang, " Makasi Kha untuk doa dan kuenya!" aku lalu dengan semangat meniup lilin di kue dari Adiksha itu. Dan sesi selanjutnya adalah peniupan lilin-lilin di kue yang lainnya.
"Hey..." sapa Stevan saat aku sedang menyendiri di taman belakang. "Hey juga Stev!" sahutku.
"Kok gak gabung sama yang lain?"
"Hm..Kalo gabung yang ada aku patah hati melihat kemesraan Anggi sama Adiksha. Jadi mending aku menghindar daripada merusak suasana hati," curhatku kepadanya. Stevan adalah orang yang tahu segalanya tentangku bahkan dia adalah sandaranku saat sedang sedih.
"Hey, jangan gitu dong. Aku tahu melupakan seseorang yang kita sayang tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi kalo kamu gak mencoba untuk berusaha melupakan dia, hanya sakit yang akan kamu rasakan nanti," dia merangkul bahuku lembut dan membawaku ke dalam dekapannya.
"Stev, kamu bener-bener suka aku ya?" aku tanpa sadar bergumam seperti itu.
"Menurut kamu? Setelah sekian banyak caraku untuk menghibur dan mendekatimu, apakah kamu belum juga bisa peka terhadap perasaanku?" nada bicaranya berubah lesu.
"Stev, kamu tahu kalau aku masih mempunyai rasa untuk Adiksha, tetapi kini aku berpikir akan mencoba untuk menggantikan tempat yang Adiksha tempati di hatiku untuk seseorang," ujarku pelan. Aku dapat merasakan jika dia menatapku.
"Siapa?"
"Mungkin ini saatnya bagiku untuk benar-benar menghapus segalanya tentang Adiksha. Dan mungkin kamu bisa membuatku perlahan-lahan melupakannya Stev! Aku akan berusaha untuk memberikan rasa yang sama seperti rasa apa yang telah kamu berikan kepadaku selama ini," aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku.
"Nan...kamu-"
"Aku akan belajar Stev. Tolonglah bantu aku! Apa kamu bisa?" aku menatapnya.
"Tentu, aku bisa!" dan dia langsung memelukku erat.
Ya, mulai detik itu, aku belajar untuk mencintai Stevan layaknya aku mencintai Adiksha. Perlahan-lahan tapi pasti aku akan menyukainya dan bisa melupakan Adiksha. Aku yakin jika Tuhan menyediakan sebuah rencana khusus untukku. Rencana tentang siapa belahan hatiku dan akhir dari cintaku. Mungkin itu bukanlah seorang Adiksha. Tapi aku cukup menjalani apa yang seharusnya takdir tuliskan untukku. Entah itu Stevan atau siapa, yang jelas untuk saat ini Stevan adalah cintaku dan semoga untuk selamanya. Ya, itulah harapanku.
~~~END~~~
Nama: Ni Putu Anandha SwariSekolah: SMP Negeri 1 Denpasar.
Kelas: IXC
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Them
Teen Fiction[Oneshoot] "Tidak ada yang salah dalam berkarya. Asal jangan dibuat salah, maka sebuah karya itu adalah sesuatu yang benar." - pemain