Part 3 - Vino

687 17 0
                                    

Aku menatap lalu lalang orang dari jendela kamar hotelku. Ini adalah hari terakhirku di Luxy-ah, itu adalah sebutan Nina bagi negara kecil ini.

Lelah berdiri, aku berjalan kearah sofa panjang yang terletak disudut ruangan. Dalam satu gerakan cepat, aku mengangkat kakiku keatas meja rendah yang ada di depannya.

Toh, tak ada yang akan menegur sikap tak sopanku di dalam kamar hotelku sendiri, yah walau sebenarnya biayanya diakomodasi oleh perusahaan. Dan lagi ini bukan kamarku sepenuhnya, aku hanya sekadar menginap beberapa hari disini.

Paperbag bertuliskan bvlgari menarik perhatianku. Ah, aku baru ingat. Baju pesta Nina belum kukembalikan ke butik tempat kami menyewanya.

Jangan berpikir bahwa aku akan membelikan gaun itu untuknya, jelas bahwa harganya cukup untuk membeli kamar ini.

Mungkin si Erick, ehem, brengsek itu akan mampu untuk membelinya mengingat kekayaannya yang berlimpah. Yang jelas, aku tidak.

Apa mungkin memang itulah yang membuat Nina jatuh cinta padanya?

Ah, mana mungkin. Nina terlalu naif untuk memikirkan dirinya sendiri. Yang pasti apabila dia jatuh cinta, perasaannya hanya akan tertuju kesatu titik, diiringi dengan kesetiaan dan ketulusan.

Memang sudah sewajarnya apabila kelak dia akan menjatuhkan hatinya pada seseorang, bukan? Ya, setidaknya dia bahagia.

Rasanya baru saja aku menggenggam tangan Nina, dan kini ia sudah tidak bersamaku lagi. Aku yang memutuskan bahwa Erick baik untuknya, semoga saja memang begitu.

Dan lagipula apabila fakta bahwa Erick Brengsek benar adanya, maka aku tak perlu khawatir. Aku dan Nina akan kembali ke Jakarta, kembali pada kesibukan kami. Sama halnya dengan Erick yang flamboyan itu.

Kemudian Nina tidak ingat untuk menghubungi Erick, Cowok itu pun juga akan lupa. Yah, mungkin saja ia bertemu dengan gadis eropa cantik yang pantas untuknya. Disaat mereka lupa untuk saling menghubungi, aku pun akan mensukseskan 'Lost Contact' mereka dengan berpura-pura tidak tahu. Dan Boom! Semuanya akan kembali normal.

Cewek jadi-jadian itu, terus saja dia membuatku kepikiran.

Tawa anehnya seakan tersangkut di daun telingaku, menciptakan imajinasi yang kadang membuatku takut sendiri.

Aku baru ingat bahwa sejak ia kubiarkan pergi bersama Erick, aku belum sama sekali mengabarinya. Sepertinya aku mulai menjelma menjadi workaholic yang lupa waktu dan segalanya karena pekerjaan.

Sebelum mungkin dia khawatir padaku, yah walau kemungkinan itu kecil, aku sebaiknya mengabarinya.

Mungkin topik memakai baju hangat yang sama akan menarik perhatiannya. Dan niatan itu terhenti kala aku melihat pesan masuk dari Asla.

From : Asla
Hey, monsieur ganteng! Ngobrol di skype, yuk? Kangen berat, hehe.

Tak lama kemudian, denting aneh yang berkelanjutan terdengar dari arah kasurku, tepatnya dari Macbook milikku.

Saat kuterima panggilan darinya, aku melihat seraut wajah manis yang langsung menyambutku dengan senyuman.

"Bonjour! Apa kabarrrr?" Ia tampak begitu bahagia saat aku membalasnya dengan senyuman.

"Yang benar itu Bonsoir, 'Kan sekarang udah malam." Aku memutar bola mataku.

"Oh, di sana udah malam, ya? Di Jakarta masih terang benderang, hehe. Bye the way, kok setiap ditelepon gak pernah diangkat sihh? Sibuk banget yaaa." Ia lagi-lagi tersenyum. Dua minggu tak mendengar suara nyaringnya, sedikit menimbulkan perasaan aneh kala mendengarnya kembali.

"Udah selesai kuliah?" Tanyaku, berusaha berbasa-basi karena memang aku telah kehabisan bahan pembicaraan sekaligus tidak ingin menjawab pertanyaannya.

"Hari ini gak ke kampus, kan kamu juga tahu kalo sabtu aku libur," Iya, tapi aku tidak pernah bisa mengingatnya, tepatnya tak mau. "Lagipula mau nyoba buat kue dirumah Anin sama Tante Ima." Dia...dirumah Nina?

"Oh. Tante Imanya ada?" Asla tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng.

"Lagi keluar. Tadi dia nitip salam buat kamu, sekalian juga katanya titip Anin disana kalo ketemu," Aku tersenyum. "Aku buat cheesecake, loh! Khusus buat kamu!"

Asla terus berceloteh ria, mulai dari fakta bahwa ia menginap di rumah Nina, menjelaskan resep cheesecakenya hingga menyuruhku untuk mencicipinya lewat layar. Katanya berpura-pura saja agar dia bahagia dan merasa kue buatannya berarti bagiku.

Terkadang aku merasa bersalah saat melihat senyumnya. Aku tahu benar bahwa ia mencintaiku setulus hatinya, sedangkan aku yang egois ini masih saja menolak untuk mengakuinya.

Jam di dinding menunjukkan angka dua belas tepat. Mungkin aku akan mengabari Nina besok pagi saja. Aku tidak ingin mengganggu waktunya bersama Erick.
***

Taksi berwarna kuning ini melaju dengan perlahan saat lampu lalu lintas berwarna merah. Monsieur Arken berhalangan untuk mengantarku ke bandara sehingga pihak hotel memesankan taksi untukku.

Jam tanganku menunjukkan pukul 06.15. Hanya beberapa saat sebelum pesawat menuju Jakarta take off.

Aku mengetikkan sebaris pesan untuk Nina, mencoba mengingatkannya bahwa apabila ia datang setelah jam tujuh, maka ia harus menunggu sampai senin untuk terbang ke Indonesia karena pesawat pagi ini akan meninggalkannya.

Ah, bisa jadi Nina tidak ingat akan penerbangan kami mengingat ia sedang berbunga-bunga dengan Erick. Semoga saja tidak.

Taksi akhirnya sampai di bandara, dengan terburu-buru aku menarik koperku dan berlari kearah petugas pabean agar mengurus koperku.

Aku terkejut saat melihat Nina sedang berjalan kearahku dengan matanya yang jelalatan menatap sekeliling bandara. Dengan niatan jahil, aku menghadangnya.

Ia tersenyum bodoh.

"Tumben," Aku menaikkan sebelah alisku.

"Apa?" Ia menatapku intens, ada yang aneh dari tatapannya. Tatapan itu menunjukkan sikap salah tingkah. "Kau tidak telat." Ujarku.

"Huh, sepertinya kau berbicara dengan dirimu sendiri." Kata-katanya terdengar defensif. Oke, kami berdua memang sering plus banget terlambat dalam situasi apapun, kapanpun, dimanapun.

Aku tertawa ringan dan kembali menatapnya.

"Mana kekasihmu?" Oke, aku tidak memiliki maksud tertentu saat menanyakannya, hanya sekedar ingin bertanya.

"Sepertinya kembali menjadi khayalan." Aku tersenyum saat mendengarnya, dan anehnya ia juga. "Ayo!" Aku merangkulnya dengan gembira, merasa bahwa sesuatu yang hilang dalam diriku telah kembali.
***
Rasanya penerbangan ini telah mengurangi umurku. Sekujur tubuhku terasa ngilu dan pegal. Untuk sedikit mengurangi sakitnya, aku merenggangkan tubuhku.
"Vin.." Aku mendengar suara Nina memanggilku, hanya kubalas gumaman. "Kenapa tidak menghubungiku selama ini," Kalimatnya terdengar aneh.

"Kau membuatnya terdengar seperti lama sekali. Itu baru dua minggu" Sahutku, sedikit penasaran dengan ekspresi Nina karena mataku masih tertutup dengan penutup mata.

"Tetap saja tidak seperti biasa. Kau selalu menghubungi ku bahkan untuk hal yang tidak berguna sekalipun" Aku bersumpah, Nina terdengar luarbiasa aneh. "Aku tak mau menganggumu. Hanya itu." Balasku, ikut merasakan keanehan dalam diriku. Mengapa aku menjadi dingin padanya?

Hening sesaat, dan aku tidak suka ini. "Kenapa? Kau rindu aku?" Aku berusaha mencairkan suasana, semoga saja berhasil.

Apakah ia merindukanku?

"Tidak. Hanya penasaran kenapa kau tak menghubungiku, tumben biasanya kamu yang merindukanku." Horay, aku berhasil. Nada jahat dalam suaranya kembali terdengar.

Mungkin benar bahwa si rewel ini merindukanku. Bukankah kami memang sepasang sahabat yang tak terpisahkan?

***
Setengah jam yang lalu kami mendarat di lapangan luas Halim Perdana Kusuma. Kini kami sedang duduk di cafetaria bandara sembari menunggu barang kami selesai di urus oleh petugas pabean.

"Aku lapar. Gak mau makan roti, maunya ketoprak." Nyusahin, ya.

"Di bandara mana ada gituan." Aku memutar bola mataku kearahnya.

"Abis ini makan ketoprak dulu, yuk? Deket kampusnya Asla ada kann." Ia tampak merajuk, arghh! Nyusahin.

"Sendiri aja sana makannya. Aku mau kerumah langsung, mau tidur." Aku berusaha melepaskan cengkramannya di lenganku.

"Tidur mulu! Di pesawat tadi udah tidur juga! Ngapain sih buru-buru pulang?" Sumpah, kini tingkah Nina tak ubahnya anak SMP yang labil dan lebay. Aku harus menemui bosku di kantor, tapi sepertinya Nina takkan suka mendengarnya.

"Aku mau menemui Asla." Sukseskah kebohonganku yang satu ini?

"Ah...oh, gitu. Oke, tapi kapan-kapan traktir makan ketoprak, yaa." Wow, moodnya tiba-tiba saja berbalik 180 derajat. Topik mengenai Asla memang selalu sukses membekukan percakapan sejak obrolan di pesawat beberapa waktu lalu.

Denting notifikasi terdengar dari ponselku. Aku mendapati pesan dari Asla.

From : Asla
Welcome Home, Bae. Udara Jakarta yang membakar menyambutmu dengan hangat.

"Siapa?" Nina sedikit berdiri dari duduknya, kelakuan keponya kambuh lagi.

"Asla." Aku menatapnya.

"Oh. Mau pergi sekarang?" Tanya Nina, dan aku bersumpah ekspresinya luar biasa aneh. Seperti ada yang tertahan di pikirannya.

"Iya. Mm, aku gak bisa mengantar kamu pulang. Aku pesan taxi ya?" Ia menatap rotinya dengan tatapan hampa. "Gak usah. Kamu jalan aja sekarang, nanti Asla lama nunggu."

"Oke. Dah." Aku bangkit dari kursiku dan beranjak menjauh darinya. Sebelum melalui pintu kaca cafetaria, aku kembali menoleh dan mendapati Nina sedang memandang menerawang ke jendela cafetaria.

Aku merasa enggan meninggalkannya, tapi aku harus.


***

Seiring langkahku yang makin jauh kedalam gedung, suara ketikan komputer, printer hingga mesin fotocopy berganti menjadi kesunyian yang aneh. Aroma lavender yang halus mengusik indra penciumanku.

"Selamat pagi, Mas." Linda, yang merupakan sekretaris direktur disini menyapaku.

"Pagi, Lin. Si Boss ada?"

"Sudah ditunggu sejak setengah jam yang lalu, mas," Ia membukakan pintu kantor Pak Didi, tak sadar bahwa wajahku memucat. "Macet, mas?" Aku tidak menjawabnya.

Kekhawatiranku tak beralasan, Pak Didi sama sekali tidak mempermasalahkan keterlambatanku. Ia justru memujiku yang menurutnya berhasil membawa citra baik cabang perusahaan di Indonesia.

Yang lebih mengejutkannya lagi, kemungkinanku untuk dipromosikan untuk naik jabatan semakin jelas. Benar-benar sebuah pencapaian bagi seorang karyawan baru sepertiku.

Aku keluar dari ruangan Pak Didi dengan perasaan membuncah senang dan puas.

Suara bising kesibukan kantor di bilik-bilik qubicle kembali terdengar, membuatku merasa kembali ke kehidupan nyata.

Di dekat mesin fotokopi, aku melihat sosok tak asing tengah sibuk mengumpulkan hasil kerjanya.

Pak Anas.

Ia adalah orang yang mempermudahku untuk diterima di perusahaan ini, Paman Asla. Aku mengingat betapa bersemangatnya gadis itu saat tengah menceritakan pamannya.

Dan disinilah aku sekarang. Berkat Asla, dan lagi-lagi aku belum merasa cukup baik untuknya. Karena yang kulakukan selama ini adalah menjauhinya.

Dering ponselku berbunyi, sekaligus menghantarkan getaran yang mengganggu di saku celanaku. Aku melihat siapa yang memanggilku.

Asla is calling

Nina mungkin benar. Jika aku bertahan sedikit lebih lama lagi bersama Asla, mungkin aku akan terbiasa. Jika aku berusaha membuka hatiku untuknya, mungkin perasaan itu akan muncul.

Sama halnya dengan Nina, aku harus mempercayakan hatiku pada seseorang. Setidaknya aku akan berusaha.

***

Sudah sebulan berlalu semenjak aku pulang ke Indonesia. Kesibukan kerjaku tidak sama sekali berkurang, malah sepertinya bertambah.

Hari-hariku kini diisi dengan seminar, pertemuan bisnis, rapat kerja dan sebagainya. Hari-hariku juga diisi oleh Asla, yang kian dekat denganku.

Status hubungan antara aku dengan dia meningkat, dari 'berusaha menjauhi', menjadi 'berusaha memaklumi'. Kini aku mulai terbiasa dengannya.

"Hm." Tanpa sadar aku bergumam setelah membaca pesan yang masuk di ponselku.

From : Asla
Hari ini aku mau menginap dirumah Anin. Antar aku kesana, ya.

Nina.

Disaat hubunganku dengan Asla semakin membaik, persahabatanku dengan Nina berada di titik hampa.

Kesibukan kerja dan kebersamaanku dengan Asla sedikitnya menyita waktuku untuk terus menghubunginya.

Yang selama ini kulakukan hanyalah mengikuti perkembangan media sosialnya, tidak lebih.

Lagipula, kalaupun ia membutuhkanmu, tentu ia akan menghubungiku, bukan?

***
Rumah tingkat tiga itu tampak sederhana dan sedap dipandang berkat taman yang terawat. Aku menyusuri jalan setapak yang terbentuk dari piringan batu kerikil berbentuk oval.

Asla yang tertinggal dibelakangku, berusaha menyusul.

Pemilik rumah ini, Tante Ima, mungkin akan marah apabila rumput teki dan bunga daisy kesayangannya bersentuhan dengan sepatuku. Maka dari itu, aku melangkah dengan cermat.

Segera kutekan bel rumah tersebut setelah sampai di terasnya yang teduh.

Pintu membuka kedalam, menampakkan seraut wajah kusut yang menatapku kaget.

"Vin." Nina berkata setelah diam sesaat.

"Hei," Anehnya, aku kehilangan kata-kata saat berhadapan dengannya.

"Mau ketemu aku?" Nina membukakan pintu lebih lebar agar aku dapat masuk.

"Bukan-"

"Hello, Anin! Udah siap slumber party nya?" Asla menyela ucapanku dan langsung memeluk Nina. Tak lama Asla berteriak menyerukan nama ibu Nina. Ia masuk kedalam rumah dengan tingkah yang kelewat aktif.

"Oh, iya. Hari ini Asla mau menginap." Nina bergumam, lebih seperti kepada dirinya sendiri.

"How are you, Nin?" Aku menepuk bahunya, tanda persahabatan. Kami masuk ke ruang tamu, sebelumnya ia menawarkan minum untukku, tentu saja kutolak. Biasanya aku mengambil minuman sendiri.

"Never been...better." Jawabnya, bergetar ragu.

"Ah, gimana proyek merger majalahnya? Sukses?" Situasi ini jauh lebih canggung. Tidak biasanya kami membicarakan pekerjaan, tepatnya kami selalu menolak untuk membicarakannya.

"Masih wacana, as always." Ia hanya menjawab, tidak berusaha untuk memperpanjang topik pembicaraan. Ia tidak dalam mood yang baik untuk bicara. Tentunya ini menyakiti hatiku.

"Erick gimana?" Sebenarnya aku ingin tetap pada rencana awal, tidak ingin mengingatkan Nina pada pacarnya. Namun rasanya itu jahat sekali, padahal Nina yang selalu membantu jalannya hubunganku dengan Asla.

"Standar." Jika kata ini sudah keluar dari bibir Nina, menandakan ia tak berniat untuk membicarakannya.

"Aninn!" Suara Tante Ima memanggil dari arah dapur, Nina beranjak untuk menghampirinya. "Sebentar ya, vin." Aku mengangguk.

Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nina, bukan hanya sekali melainkan berkali-kali. Aku sebenarnya tidak ingin mengusik privasi Nina, namun rasa ingin tahuku mendorongku.

From : Erick
Lusa ada meeting di Bandung. See you there, Love.

Erick akan ke Indonesia?


Can't Get Enough of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang