Part 3 - Kanina

584 18 0
                                    

Aroma Dari teh leci menyeruak memasuki indera penciumanku, ditambah dengan rasa hangat yang mengalir dirasa oleh setiap pori dalam tangan ku yang kaku kedinginan.

Lamunanku berhasil dibuyarkan oleh satu kecupan singkat namun hangat, yang membuat bibir ini tersungging ke atas. Pagi yang sempurna bukan? Ya, ini sempurna.



Tapi tidak lagi sempurna ketika pikiran sialan ini mulai terbang melayang layang memikirkan hal yang seharusnya tidak kupikirkan disaat sempurna seperti ini.



"Pagi, Cantik. Mau sarapan apa?" aku terus menyunggingkan senyum terbaikku "Tidak. Ini sudah cukup" menggerakan cangkir putih teh ku padanya menandakan kalau teh saja sudah membuatku kenyang. Pikiran ku masi terbang melayang layang kesegala arah, kesegala tempat dan waktu.

Boleh saja raga ini berada di apartemen mewah, duduk di meja makan dengan pasangan yang berhak mendapatkan penghargaan sebagai pasangan tersempurna sejagat raya.

Tapi tetap saja pikiran ku tak disini. Aku berharap aku berhenti.



"Kamu yakin? Perut Indonesia-mu harus menyentuh nasi, sayang" aku menggerakan punggungku dan tersenyum kepadanya " Aku yakin, Erick. Aku tidak lapar. Lagian aku bisa mencari makan sendiri kok nanti kalau seandainya lapar" Erick mengangguk.



Didepanku berdiri lah sosok lelaki yang selalu didambakan setiap makhluk hawa, tinggi, memiliki postur yang bagus untuk seorang kaum adam, dada yang bidang, rambut yang terpangkas rapi, suara dan pembawaannya yang berwibawa

tapi kenapa aku terlalu bodoh untuk fokus dengan apa yang didepanku sekarang dan lebih memilih memfokuskan pikiranku ke suatu tempat yang jauh dari sini,

merasakan detak jantung ini semakin berdetak pelan.



Sial. Ada apa dengan diriku, kekasih ku disini tapi kenapa aku memikirkan lelaki lain?

Ya. Lelaki lain. Lelaki yang beberapa hari lalu menyelematkan ku sekaligus menculikku dari Erick.

Bukan salah Vino sepenuhnya, bahkan bukan salahnya sama sekali.



Sama sekali. Lalu kenapa dia belum menghubungiku sejak hari itu?

Tidak apa satu pun pesan atau telepon masuk.

Tidak ada pesan yang mengkhawatirkan aku, apakah aku sudah sampai rumah atau belum.



"Apakah kau harus benar benar pergi?" Gumaman dan hembusan nafasnya yang hangat menyentuh kulit wajahku yang dingin akan udara Eropa, aku mengangguk.



Erick menyandarkan kepalanya ke bahuku yang jauh lebih rendah darinya, membiarkan ku membaui helaian rambutnya yang oh tuhan sangat wangi.



"Jangan pergi..." Gumamnya pelan "Aku memiliki pekerjaan, sayang. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja"

tersenyum sambil mengusap rambutnya pelan, perlahan ia mengadah menatapku, iris cokelat terangnya menatap iris cokelat gelapku, bibir ranum kecilnya sedikit maju kedepan seperti anak kecil.



Aku akan meleleh kalau saja Vino tidak bergerayang di pikiranku.



"Jangan sedih seperti itu, hahaha kau seperti anak kecil!" Aku tertawa renyah masih menatapnya dan membiarkan kepalanya terusap di bahuku saat menggeleng pelan.

"Mau ku antar? Sore ini kan?" Aku mengangguk dan detik berikutnya bibirnya sudah mendarat di bibirku.


***



Telepon genggam ku bergetar dan dengan otomatis layarnya menampilkan satu pesan masuk.

Can't Get Enough of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang