Part 1 - Vino

1.3K 52 3
                                    

Dengung yang mengganggu menyerang indra pendengaranku. Cahaya silau terarah tepat ke mataku. Setelah cahaya sialan itu padam, aku dapat melihat sesosok gadis dibaliknya.

Ia berdiri jauh dariku, di antara ilalang yang rimbun. Aku mengenali rambut ikal dan kulit putih susunya.

"..." Aku ingin sekali meneriakkan namanya, namun aku tidak mampu mengingatnya.

Kepanikan luar biasa menyergapku. Sosok itu semakin menjauh, dan yang tersisa hanya aku.

Aku berteriak dan yang ada hanya kehampaan. Kakiku berusaha untuk berlari, menyusul gadis itu, namun yang terasa hanyalah kelumpuhan.
Terdengar bunyi monoton dari suatu tempat yang jauh. Bunyi itu seolah mengejek ketidakberdayaanku.
Ia pergi.

***

Aku terbangun dari tidurku yang entah mengapa terasa melelahkan. Manusia seharusnya tidur untuk mengusir lelah namun yang terjadi padaku adalah sebaliknya.
Ah, ternyata dering ponselku yang mengusik sejak tadi.
Nina.

"Jam berapa sekarang?" Kalimat itulah yang menjadi sapaanku baginya.

"Tolong, aku panik!" Ha! Tentu saja ia menghubungiku untuk menjawab kata 'tolong'nya. Good Job, Nin.
"Sudah bertemu pacar khayalan mu?" Ejekku. Gadis awal 20 tahunan itu memang sering berkhayal, jadi itu tidak sepenuhnya ejekan, mungkin lebih kepada sindiran.

"Tentang itu aku tak tahu harus bagaimana, harus seperti apa, aku akan bertemu dengannya malam ini apa aku harus menaikan rambutku? Atau apa aku harus memakai gaun atau celana pendek? Atau aku harus memakai rok? ... Kau masih disana?" 
'Hm, aku masih disini,' Batinku, terlalu malas untuk membalasnya, yah sebenarnya ini masih jam 3 pagi. So, kata yang tepat bukanlah malas melainkan lelah.

Si rewel itu mungkin lupa bahwa ada kesenjangan waktu antara Normandia yang berada di Perancis dengan Jakarta di Indonesia.
Lama tak mendengar responnya, aku lekas menjawab.

"Yah aku disini, pertama kau mengganggu tidur ku, yang sangat amat nyaman dan kau tahu jika sekali aku dibangunkan..." Ha! Ketidaksopanan-nya kembali terlihat saat ia memotong kalimatku.
"Kau tak bisa tidur lagi... aku tahu tahu aku tahu maaf tapi.." Ayo mari buat ini imbang, Kanina.

"Kau panik dan kau butuh teman mu yang tampan ini untuk membantu mu kan?" Great, kini aku berhasil menginterupsi kalimatnya. Ah, niatan awalku juga untuk menggodanya.
Sepertinya godaanku tidak dihiraukannya.

Hanya sunyi, namun perasaanku mengatakan bahwa ribuan kilometer dari sini, ia sedang mengangguk.

"Pakai baju yang menurut mu nyaman, jadi jika dia tak sesuai difoto atau di video virtual bodoh mu itu kau bisa pergi dan kembali ke sini." Itu adalah saran terakhir dariku, setidaknya demi kebahagiaannya.

"Dia akan terlihat seperti yang aku bayangkan Vin. Makasih." Aku tersenyum getir mendengarnya.

"Ya ya ya aku mau mencoba untuk me-lelah-kan-kan diriku dan pergi tidur." Sambungan telepon, yang kuduga sangat mahal, pun terputus. Menyisakan aku dan kehampaan kamar tidurku.

Kanina Dirga.

Sahabat kecilku, kau kini sudah tidak seperti dulu.

***

Wanita itu terus saja menatapku seakan aku telah melakukan kesalahan yang besar.

Tubuh gempal, kantong pelikan dibawah pipi, dan kacamata berbingkai kecil. Semua frasa tadi cocok untuk menggambarkan wanita di hadapanku.

"Jadi, kau bisa mengerjakannya?" Tanya wanita bernama Hera itu padaku. Entah aku masih mengantuk atau memang cara bicaranya yang mendayu-dayu, yang jelas wawancara ini membosankan.

"Ya, seperti yang saya bilang. Saya lulusan Hubungan Internasional, jadi saya rasa public relation akan mudah bagi saya." Tegasku percaya diri dan setelah beberapa pertanyaan monoton, wawancara ini berakhir.

"Vin! Gimanaaa??? Dapet kerja gak?" Saat sedang berjalan menuju cafetaria kantor, seorang gadis menyusulku.
"Belum tahu." Balasku singkat. Gadis berponi itu tampak diam lalu kembali bersemangat.

"Makan siangnya aku yang traktir, ya? It's on me, babe." Jelas Asla, nama gadis itu, dengan keceriaan berlebih.

Asla adalah mahasiswi tingkat akhir jurusan Teknik. Ia memiliki rambut sebahu dengan poni yang nyaris rata. Tingginya hanya mencapai daguku, dan suaranya senyaring lonceng gereja.

Manager HRD di perusahaan asing ini adalah paman Asla. Gadis muda itu sengaja membantuku.

Ah, tentu saja karena ia adalah pacarku.

Atau tepatnya pacar dalam statusku.

***

Malam mulai menjelang. Aku memasuki apartemenku dengan kaki gemetar dan sepatu yang basah.
Setelah berganti pakaian, hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponselku.

Dan...mencoba untuk menghubungi Nina. Anehnya, ini merupakan kali pertama ia tidak mengangkat teleponnya saat aku menghubunginya.

Apa mungkin terjadi sesuatu padanya? Bagaimanapun Nina terlampau polos bagi siapapun, bahkan mungkin bagi seorang pemuda blasteran indo-perancis.
Ah, kini rasa khawatir mulai menghantuiku. Lelah tak kunjung mendapat jawaban, aku mematikan ponselku.

Screensaver menampakkan foto aku dan Nina saat berlibur ke Wae Rebo.
Nina sahabatku ialah gadis enerjik yang memiliki kekuatan seratus ekor kuda dalam dirinya. Meski rambutnya panjang sepinggang, ia selalu mengikatnya.

Kami sudah bersahabat sejak masih berwujud janin. SMP, SMA, Kuliah, bahkan hingga memasuki masa kerja selalu kami habiskan bersama.

Sejak dulu gadis satu itu tak pernah sekalipun dekat dengan cowok selain aku dan itulah yang membuatku merasa penting bagi Nina.

Nina yang mengenalkanku pada Asla yang merupakan junior tingkatnya. Dan entah mengapa si rewel itu sangat bersemangat untuk mendekatkan aku dan Asla.

Sejujurnya aku tidak tertarik pada Asla namun aku tak kuasa menolak permintaan Nina agar menjadi kekasihnya.

Ini semua demi Nina, dan demi persahabatan kami.

Hanya satu yang mungkin menjadi kesalahan fatal dalam persahabatan kami, Erick.

Kami belum pernah bertemu namun aku sudah membencinya. Ia selalu menyita perhatian Nina dan membuatnya jauh dariku.

Jujur, kala itu aku memang sedang sibuk dengan project pekerjaanku dan aku sering mengacuhkan Nina. Tapi tidak seharusnya Erick menggantikan peranku untuk berada di sisi Nina.

Yang jelas, saat nanti kami bertemu, akan kupastikan untuk memukul wajahnya.

Terlalu banyak berpikir telah membuatku mengantuk. Perlahan tapi pasti, rasa kantuk mulai memanggilku untuk mendekat ke pintu alam bawah sadarku.

***

Pagi ini adalah hari pertamaku bekerja namun aku sudah mencintai pekerjaanku.

Dengan seringai ekspresif yang mungkin mengandung sejuta arti, aku menatap amplop ditanganku. Perlahan aku mengeluarkan isinya dan kembali tersenyum.

Isinya memberitahukan bahwa tugas magang pertamaku ialah di perusahaan pusat yang berada di Luxembourg.

6 jam saja dari Normandia, Perancis.
Mungkin hanya perlu satu lompatan nasib untuk bertemu dengan takdirmu.

Can't Get Enough of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang