****
Jiwaku dihidupkan oleh seorang penulis amatiran. Diajaknya menjalani alur kehidupan sesuai imajinasi dan khayalannya sebagai mahasiswi fakultas mikrobiologi. Aku ingin protes, apa kerennya jadi anak mikrobiologi? Berteman dengan koloni bakteri, bermain dengan alkohol dan jarum ose? Yah, setidaknya lebih baik ketimbang jurusan sastra yang sudah banyak digunankan banyak penulis saat menghidupkan karakter utamanya.
Namanku Narita Lestari. Narita yang berarti kecintaan dan kebagiaan. Percayalah, aku yakin dia tidak akan membuat alur ceritaku sebahagia yang kalian bayangkan. Dia menempatkanku dalam sebuah keluarga brokenhome. Sungguh, itu sangat kejam. Bahkan Bunda ku sudah menikah lagi dan aku memiliki seorang adik perempuan yang lahir di luar pernikahan Bunda yang kedua. Bukankah itu menakutkan? Aku tidak percaya jika faktanya aku mempunyai orang tua seperti itu.
Tetapi pada akhirnya, cerita ini memang harus berjalan sesuai imajinasi penciptaku, karena dia yang meniupkan roh dalam ragaku, menggerakkan jiwaku mengikuti kelincahan jemarinya bermain-main di atas keyboard komputer.
****
Aku tertegun saat melihat lautan manusia yang memadati stasiun kereta sore hari ini. Bukan. Sekarang bukan hari libur nasional. Bukan juga hari minggu. Dan kurasa tidak ada perayaan apapun yang akan dirayakan di kota besar seperti Jakarta pada hari ini. Sekali lagi aku terhenyak saat seorang ibu-ibu berbadan cukup besar menabrak tubuhku yang otomatis membuatku terhuyung ke belakang. Kupikir aku akan jatuh ke bawah sana—di atas rel kereta—dan juga hal paling kutakuti sedari tadi. Namun ternyata tidak, seorang pria dengan senyuman yang sangat menawan dan berseragam putih bersih menahan lenganku tepat sebelum tubuhku benar-benar kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Hati-hati mbak, berdirinya di belakang garis kuning ya." Katanya penuh pesona dan aku yakin mampu membuat hati gadis manapun melemas. Dia seorang masinis, bisa kukenali dari seragam yang ia kenakan.
Siapa juga yang mau berdiri di sini?! Lebih baik aku duduk di kursi tunggu kalau saja antriannya tidak sebanyak ini. Lagipula, tidak ada satupun ruang tersisa di sana. Di setiap sudut tertulis "tempat duduk prioritas", hal yang sebenarnya membuatku sedikit kesal. Aku juga lelah, semua orang lelah, bukan hanya ibu-ibu hamil atau membawa bayi atau bahkan orang lanjut usia. Kita juga butuh duduk, bego!
Ingin kubalas kalimatnya itu dengan sebaris umpatan kesal, namun sungguh logikaku berkata lain. Alih-alih berteriak di hadapan pria manis ini, aku malah mengucapkan terimaksih padanya.
"Mau pergi ke stasiun mana? Kelihatanya kamu sedang bingung."
Seperti orang bodoh, aku malah celingukan memastikan bahwa orang yang diajaknya bicara adalah aku, bukan yang lain.
"Stasiun Grogol."
"Ahh. Nanti naik aja kereta yang jurusan Bogor, lalu transit di Duri. Dari sana kamu ke peron tiga, tunggu kereta jurusan Tangerang."
"Oke, terimaksih—" sempat bingung aku harus memanggilnya apa, langsung berbalik badan hendak pergi namun suaranya mencegahku lagi.
"Kalau boleh tahu, siapa namamu?"
Kulihat orang-orang disekitar kami mulai memperhatikanku. Aku merasa ditelanjangi di tengah keramaian dengan jenis tatapan seperti itu.
"Ganang," dia mengulurkan tangannya padaku yang masih mematung, mungkin sengaja tidak menyebutkan kalau dia seorang masinis commuter line karena pikirnya anak sekolah dasar pun bisa tahu dari seragam yang dia kenakan saat ini.
"Ngg..Esta." jawabku kikuk, membalas uluran tangannya yang sehangat secangkir kopi. Secara otomatis mengalirkan sengatan listrik kecil ke kedua pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PION (Elegi dari Sebuah Bidak Catur)
Teen FictionCopyright hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin cerita tanpa sepengetahuan penulis.