"Iya, Yah. Esta udah bangun kok. Ini mau berangkat ke kampus. Iya, nanti sarapan di kantin kampus sama temen-temen. Kan emang biasanya Esta sarapan di sana. Bosen kalau tiap hari makan roti sama telor mulu di rumah."
Aku menggapit ponsel di pundak, mengambil hoodie di gantungan baju lantas memakainya. Mendengar ayah bakalan pulang hari ini dari Bali, aku melonjak girang.
"Beneran hari ini? Jam berapa? Perlu Esta jemput di bandara enggak? Kok nggak usah sih? Ya udah deh. Udah dulu ya, Yah. Ini Esta buru-buru banget takut telat. Dosen paginya galak soalnya. Dah."
"Hah? Enggak, kok. Nggak naik TJ, udah kesiangan. Ntar nggak keburu sarapan kalau naik TJ. Iya, minta jemput Lensa." Mendengar petuah ayah, aku jadi senyum-senyum sendiri. "Iya..dah, Yah. Esta berangkat dulu."
Setelah mematikan sambungan telfon dan memakai sepatu, kuambil lagi ponsel yang kugeletakkan di atas kasur, mengirim pesan pada Lensa untuk minta jemput.
Esta : Lensa kamu belom berangkat, kan? Mau nebeng, dong.
Lensa : Iya belom. Mesti kesiangan bangun.
Esta : Iya, nih. Aku tunggu ya!
Pagi ini udara terasa dingin menembus sampai ke tulang. Bagaikan tanaman ivy yang merambat memenuhi pagar rumah-rumah, angin pagi kali ini juga terasa menggelitik kulit. Langit masih berawan, sementara mentari mengintip malu-malu di baliknya, seakan masih ragu untuk muncul. Membuat kabut putih tipis yang memenuhi jalanan tidak juga menghilang. Lensa menghentikan motornya di depan minimarket 24 jam, membuatku spontan mendongak memandangnya saat dia memberiku isyarat untuk ikut masuk.
"Mau beli rokok titipan Bima. Ikut masuk aja, yuk! Dingin loh di luar."
Awalnya aku tak acuh dan ingin menunggunya saja di luar. Namun pada akhirnya aku ikut melangkah masuk dan mengambil teh pucuk di mesin pendingin. Lensa praktis tertawa melihat yang kubawa.
"Suka banget sih sama teh pucuk." Aku hanya meringis. Entahlah. Semenjak kantin-kantin fakultas menggantikan eksistensi es teh manis dengan teh dalam kemasan botol ini, tiap kali masuk ke minimarket pasti minuman yang dibeli ya teh pucuk.
"Sekalian cokelatnya, kak. Lagi promo loh hari ini, potongan 10 persen." Suara nyaring dari mas-mas di belakang kasir membuat Lensa menoleh ke depan lagi.
"Cokelat? Boleh deh satu aja."
"Ada yang mau ditambah lagi? Isi pulsanya, kak, sekalian?" dia cowok tapi bawel banget sih, aku membatin jengkel. Sementara Lensa menggeleng dan langsung membayar.
"Kamu gampang banget sih kepincut sama promo yang mereka tawarin." Kataku begitu kami keluar.
"Oh cokelatnya? Emang kamu nggak mau? Padahal aku mau ngasih buat kamu, loh."
Aku langsung menoleh ke arahnya yang sudah naik ke atas motor dengan bibir melengkung membentuk bulan sabit. "Nih." Katanya lagi, mengulurkan cokelat yang tadi dia beli untukku. Lensa tersenyum. Aku memandang cokelat di tangannya yang langsung membuatku bahagia. Iya dong, siapa juga yang nggak seneng dikasih cokelat gratis?
*
Seakan tahu aku menggigil kedinginan, Lensa meminjamiku jaketnya ketika kami berdua berjalan dari parkiran motor menuju Pucukharum (sebuatan lain dari kantin fakultas mikrobiologi) padahal aku sudah mengenakan hoodie dan masih saja kedinginan. Anak-anak angkatanku yang memberi nama kantin fakultas dengan sebutan aneh memalukan itu setelah menyadari semua ibu-ibu kantin menjual minuman teh pucuk sebagai pengganti es teh manis dan teh botol sosro. Mungkin pabrik teh pucuk jadi sponsor utama kantin fakultas mikro.
KAMU SEDANG MEMBACA
PION (Elegi dari Sebuah Bidak Catur)
Teen FictionCopyright hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin cerita tanpa sepengetahuan penulis.