EMPAT

101 7 1
                                    

Cuaca masih tidak menentu ketika aku keluar dari kantin fakultas mikrobiologi, menyusuri paving block di samping gedung fakultas untuk mencari sosok Gema. Aku tidak sepenuhnya yakin jika dia ada kelas jam segini. Mungkin dia hanya merasa tidak enak padaku dan sengaja menghindariku? Oh Esta ayolah, apa yang kamu harapkan dari dia? Malaikat di sampingku berbisik syahdu sambil mengetukkan tongkatnya ke kepalaku.

Oke. Aku hanya sekadar ingin tahu apa alasan dia berbohong soal menemukan ponselku di kereta. Dan kupikir dia juga tidak akan secepat ini balik ke Jogja. Bukannya aku kepedean, tapi firasatku mengatakan bahwa dia balik ke sini karena aku. Untuk mengembalikan ponselku, lebih tepatnya.

Gerimis kembali turun ketika aku menghentikan langkah di depan gedung perpustakaan rektor, mengamati gasebo di sekeliling taman lagi-lagi untuk mencari batang hidungnya. Beberapa mahasiswa yang berada di luar bergegas masuk untuk berteduh ketika gerimis berubah menggila. Kuputuskan untuk ikut masuk saja ke dalam karena tidak kutemukan tanda-tanda keberadaan orang yang kucari.

Aku melangkah memasuki ruang baca, sengaja memilih bangku di dekat jendela karena kupikir disinilah akses terbaik untuk melihat pemandangan luar. Selain mengamati hujan, siapa tau Gema tiba-tiba muncul di depan gedung? Ditambah suasana ruang baca yang sepi karena beberapa mahasiswa dan dosen yang lain memilih untuk duduk-duduk di serambi gedung memainkan ponsel mereka mencari sinyal wifi gratis. Kuletakkan ransel di atas meja, mengeluarkan novel ketiga dari tetralogi Pulau Buru milik Pramoedya yang beberapa hari lalu aku pinjam dari sini.

"Kamu nggak nyamperin Gema? Dia udah balik loh dari Jakarta."

"Masa sih? Cepet banget udah balik aja. Biasanya sampai seminggu baru balik. Sering banget kan dia diomelin dosen gara-gara bolos?"

"Eh eh kamu nggak dibawain oleh-oleh gitu?"

Mendengar nama Gema disebut-sebut, perhatianku yang sepenuhnya berada di buku, kini mulai memasang tanda waspada beralih menguping suara bisik-bisik yang berasal dibalik skat rak buku.

"Yaelah...balik dari Jakarta doang minta oleh-oleh. Katanya sih takut diomelin dosen lagi, makanya balik cepet."

"Kirain karena nggak bisa jauh-jauh dari kamu gitu. Cuiyeeeee."

"Udah ditembak belom? Kalau dia nggak maju-maju, udah ungkapin aja. Mesti Gema juga nggak bakalan nolak."

"Iya, cowok mah emang gitu, minta dikode duluan tapi nggak pernah sadar."

Aku menundukkan pandangan, menyembunyikan wajah di balik buku. Sudah kuduga, fans Gema memang banyak berkeliaran di kampus. Bukan hanya satu, mungkin jumlahnya bisa belasan bahkan puluhan. Dan tentu saja semuanya cantik-cantik karena kata Laksita, kebanyakan dari mereka adalah kakak tingkat FKG, satu fakultas dengan Gema. Aku mengingatkan pada diri sendiri untuk mundur teratur sebelum dikecewakan dan berharap lebih. Kuhembuskan napas hendak menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas, sampai akhirnya seseorang menariknya ke bawah hingga menampilkan wajahku yang semula tertutupi bagian buku. Sosok Lensa Fokus Aksara sudah berdiri di depanku dengan tampang tidak berdosanya.

"Kamu ngapain di sini?"

"Suka-suka dong," desisku seraya memberengut. Lensa hanya nyengir kemudian menarik kursi di depanku lantas mendudukinya. "Lah kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya ada kelas?"

"Nggak jadi. Bilangnya sih Pak Suprihatna lupa kalau udah janji ngadain kelas tambahan. Tadinya sih mau balik ke kantin, tapi ternyata kamu disini."

"Kirain kamu dikeluarin dari kelasnya." Ledekku. "Terus yang lain pada ke mana?"

"Lagi pada ngerokok di basecamp. Nggak tau Laksita ke mana. Lah bukannya tadi bareng kamu ya?"

Sudut bibirku terangkat, hampir saja aku melupakan Laksita yang tadi kutinggalkan di kantin.

PION (Elegi dari Sebuah Bidak Catur)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang