Senja mulai merangkak datang dengan semburat jingga yang mencuat di sana sini. Bagaikan lukisan abstrak di ujung langit bagian barat, mengantarkan kawanan camar terbang kembali ke sarang mereka. Konon, tidak baik jika seorang gadis meninggalkan rumah hingga batas waktu magrib. Tetapi menurutku itu hanya mitos, karena melihat langit senja adalah sesuatu yang sudah seperti obat penenang buatku.
Aku dan Gema berjalan beriringan ke arah di mana mobilnya terparkir. Melihat sepeda motor yang tengah melintas di depan kami, Gema refleks memeluk bahuku yang sontak membuatku menabrak tubuhnya. Pelan, tetapi cukup membuat jantungku kembali hiperaktif.
"Jalannya lihat ke depan, jangan lihat ke atas." Dia berkata, "Emang ada apaan sih di langit?"
"Nggak ada apa-sih. Suka aja lihat warna langit pas sore."
"Sampai nyaris ketabrak motor? Lain kali hati-hati." Ucapnya penuh perhatian. Astaga! Bisakah dia berhenti berkata yang manis-manis padaku? Rasanya aku mau pingsan saja. Aku hanya nyengir, kemudian masuk ke dalam mobil setelah Gema membukakan pintunya untukku.
"Kalau Kakak mau, aku ada beberapa referensi buku bagus loh." Kataku, memulai obrolan kami berdua ketika macet menerjang. Biasa, jam pulang kerja. Macet di Jogja bahkan kukira sekarang lebih sering terjadi bahkan di saat bukan jam sibuk.
"Boleh-boleh. Sebenarnya aku juga suka baca novel milik Pramoedya sih. Kamu punya?"
"Kakak suka karya Pramoedya juga?"
Gema tersenyum di belakang kemudi melihat diriku yang lantas menoleh ke arahnya antusias, "Ya..aku pernah baca beberapa novelnya. Aku suka genre dia, roman sejarah."
"Nanti aku cariin deh di rumah. Aku juga punya beberapa, maksudku yang bukan pinjaman dari perpustakaan."
"Boleh-boleh," lagi-lagi dia mengumbar senyum malaikat sialannya. "Aku sudah mensave nomorku di ponsel kamu, kabarin aja ya soal bukunya."
WAIT. WHAT? Kuharap telingaku nggak salah denger. Aku yakin sekarang pipiku tengah merona seperi buah tomat ketika matang! Merasa senang dan malu disaat yang bersamaan. Bahkan tanpa merasa bersalah kukatakan dalam hati agar macetnya bertambah panjang. Inget Ta, semakin kamu mengharapkan, semakin sulit juga buat melupakan. Malaikat di sampingku sontak mengetukkan tongkatnya ke ujung kepalaku, membuatku berjengkit dan mengusapnya pelan seolah itu terasa beneran sakit.
"Kenapa?" Gema menoleh lagi, mengamatiku.
"Nggak papa kok." Jawabku nyengir, merutuki kebodohan.
"Gimana kuliah kamu? Maksudnya, yah..temen-temenku di kelas nggak ada yang suka sama matkul mikrobiologi, tapi kalau lihat anak-anak fakultas mikro kayaknya mereka biasa-biasa aja."
Kita hanya terlihat bahagia di luar. Percaya deh. Sungguh, saat di dalam kelas apalagi waktu praktikum, rasanya seperti menunggu telur ayam menetas menjadi angsa putih!
Kutahan serangkaian kalimat itu dan hanya tersangkut di kerongkongan. Aku harus memutar otak untuk mencari padanan kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana rasanya ikut dalam bagian fakultas mirobiologi. Aku yakin Gema nggak akan bilang biasa-biasa aja setelah tahu bagaimana frustasinya kita setelah habis ngitung koloni bakteri. Praktikum yang kontam dan harus ngulang lagi dari awal. Belum lagi ngapalin nama-nama bakteri yang nggak usah ditanya susahnya kayak gimana. Dan terakhir, momok paling menakutkan buat anak mikro, siap-siap aja betah nge-lab tiap hari karena rekor tercepat lulus dari kakak tingkat itu 4,2 tahun. Itu ribuan hari loh, coba deh dihitung kalau nggak percaya.
"Yah.." aku menghembuskan napas. "Beginilah nasib anak mikro yang menjalin hubungan dengan makhluk yang tak peka dan tak kasat mata."
Sontak tawa Gema meledak. Dia melirik ke arahku, kuharap tawanya itu bukan sebuah ejekan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PION (Elegi dari Sebuah Bidak Catur)
Teen FictionCopyright hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin cerita tanpa sepengetahuan penulis.