DUA

101 7 0
                                    

****

Sudah pukul satu dini hari tetapi diriku masih belum merasa mengantuk. Efek kafein dari kopi membuatku terjaga hingga tengah malam. Pembaca yang baik, sungguh sama sekali tidak pernah diri ini memaksamu untuk membaca ceritaku hingga tuntas. Jika tidak suka, bisa tinggalkan halaman ini, dan segera lupakan setiap tokoh yang kau tahu dari cerita khayalan ini. Jujur, banyak sekali ide membludak yang tengah meraung-raung minta ditumpahkan menjadi rentetan tulisan di dalam kepalaku, mumbuatku pusing.

Akan kutambahkan beberapa tokoh lagi di bab ini. Bukannya spoiler, hanya berjaga-jaga menjawab terlebih dulu jika mungkin ada yang sudi bertanya.

Sandhi Gema Khatulistiwa. Sandhi Gema yang berarti kunci pemecah.

Selalu ingat nama karakter ini, karena seperti namanya, tokoh Sandhi Gema Khatulistiwa akan menjadi kunci dari setiap konflik yang kuciptakan. Jangan khawatir, akan kubuat pemuda ini berwajah tampan supaya mudah dikenali.

Selamat menikmati menjadi homofictus di cerita ini....

****

Hal pertama yang kupikirkan begitu aku sadar adalah bagaimana aku bisa berakhir di tempat...oh bukan. Apartemen? Bola mataku mengerjap beberapa kali sambil mencoba mengangkat tubuhku yang masih terasa sakit dari atas sofa tempatku tidur. Oke, berakhir di atas sofa setidaknya masih membuatku bersyukur karena aku tidak berakhir di bangkar rumah sakit lantaran ditemukan pingsan di tengah jalan. Wangi roti panggang yang dioles mentega serentak memenuhi indera penciuman bersamaan dengan sosok seorang pria yang tak ku kenal dari arah dapur.

"Sudah bangun?" sapanya mungkin basa-basi sambil menyunggingkan seulas senyum ke arahku. Kubalas sapaannya dengan senyuman kikuk. Kupikir dia pria yang baik.

"Maaf aku nggak punya P3K lengkap, jadi ya luka di kepalamu cuma aku plester doang. Nanti sekalian nyari tinta printer, aku mampir ke apotek dulu beli perban sama antiseptik. Tadi malem nggak ada apotek yang buka, mungkin karena udah kemaleman."

Oke, syarafku mulai panik. Iya dong, aku kan nggak kenal sama dia, tapi kenapa dia baik banget sampai mau ngebeliin perban dan antiseptik segala? Semalem ditampung disini pun aku sudah bersyukur.

"Nggg. Nggak usah deh, saya mau pulang saja setelah ini."

"Mau pulang ke mana? Jogja? Jauh loh, mbak." Sambarnya sambil ketawaan. "Ah iya, aku mau keluar dulu nyari tinta printer, kalo masih sakit rebahan dulu aja jangan dipakai gerak. Dan rotinya juga dimakan, dari semalem perutnya keroncongan terus loh itu."

Aku menunduk, mengamati roti tawar panggang dan juga segelas susu putih yang dia maksud. Iya sih, dari semalem aku belum sempat makan. Jangankan makan, baju dan tas yang berisi laptop serta makalah tugas kuliah saja kutinggalkan di rumah Bunda.

Bahkan setelah pria yang belom kutahu namanya itu pergi, roti di atas meja ini masih utuh belum kusentuh meskipun berulang kali perutku meronta minta diisi. Benar, aku kelaparan. Dan rentetan kejadian semalam seakan memaksa masuk tanpa permisi ke pusat ingatanku. Segera kusingkirkan gambar-gambar layaknya pancaran layar proyektor yang memenuhi otakku itu dengan satu gigitan roti yang akhirnya kuambil juga.

Untuk diriku yang pemakan segala, roti tawar tiga lembar dan segelas susu di pagi hari belomlah cukup. Biarpun akhir-akhir ini aku sering melewatkan sarapan pagi. Tapi jika dipaksa untuk makan pagi, porsi segini masih sangat kurang. Perutku masih saja keroncongan minta nambah, tapi apadaya masa iya aku kurang ajar buka-buka kulkas orang yang belom aku kenal tanpa ijin? Sudah mending aku dikasih sarapan tidak langsung ditendang setelah aku sadarkan diri tadi. Mengalihkan perhatian dari perut, aku bangun dari duduk sekadar untuk menjelajahi apartemennya.

PION (Elegi dari Sebuah Bidak Catur)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang