Nadin memakai baju kemeja biru beserta rok dengan panjang selutut. Menggeraikan rambut nan panjang yang lurus terurai. Nadin berlari sambil menjinjing sepatunya ke kantor, dia teringat ucapannya semalam. Bakal membuktikan siapa yang bertahan lama dalam ruangan itu, menjadi manager tetap dalam perusahaan.
Perusahaan itu memang milik ayahnya Fakhrul, tapi dalam hal pekerjaan ayahnya tidak bakal memberikan jabatan dengan mudah, walaupun Fakhrul anaknya sendiri. Ayahnya menginginkan Fakhrul berusaha untuk mendapatkan segala hal, sebab apa yang di usahakan bakal berbuah manis.
Nadin berlari kecil ke kantor, menjijing sepatu hak tingginya dengan hela nafas kelelahan. Nadin bersemangat sekali pergi ke kantor. Nadin tidak ingin terlambat lagi, semenjak dia diangkat sebagai maneger perusahaan. Sesuai perjanjian antara Nadin dan Fakhrul, Nadin membuktikan siapa yang bakal bertahan. Berlama-lama di kantor, terutama di ruangan maneger.
Nadin berlari mengejarkan tempat duduk, dimana hanya ada satu tempat duduk yang ada di ruangan itu .
"Selamat pagi." Ujar Fakrul sembari memutarkan kursinya ke arah Nadin. Nadin diam, tercengang. Alis mata Fakhrul sedikit naik dan dia tertawa terkekeh melihat eksperesi wajah Nadin. "Silahkan duduk," ucapnya sembari dia berdiri.
"Tumben. Lagi kesambet," ujar Nadin. Fakhrul balas diam. Aneh, kesambet dimana ni orang. Baru kemaren yang berlagak hebat, marah-marah. Jangan-jangan ini trik dia untuk mengelabui saya. Ihh. Gak bakal terpancing, Guman nadin.
Fakhrul ke luar dan membawa satu kursi. Fakrul meletakan kursi tepat di sebelah Nadin. Nadin hanya melihat gerak Fakrul dengan pandangan yang rada aneh. "Kenapa disini? "Tanya Nadin.
"Untuk sementara, sebelum satu meja lagi datang. Kita harus berbagi," sahut Fakhrul sembari wajah tersenyum. Nadin sedikit keberatan tapi mau gimana lagi, di sebabkan Fakrul anak bos. Jadi Nadin sedikit menyegani.
Nadin merasa canggung berdekatan dengan Fakrhrul, apalagi mekihat senyunya tadi dan nafas Fakhrul yang terdengar dekat, membuat Nadin resah. Jantung Nadin seolah berdetak kencang. Nadin merasa tidak nyaman lagi dengan suasa seperti ini, duduk berdekatan. Nadin meninggalkan Fakrul sendiri dan mengarah ke toilet. Nadin berkaca seolah menceritakan tentang apa yang dia rasa dan tentang jantung berdetak kecang ketika berdekatan dengan Fakrul. Tidak mungkin saya jatuh cinta, mustahil, gumam Nadin.
"Zhia...," sorak Nadin. Nadin melihat Kanezhia yang sedang berpaparan di deoan toilet. Nadin menyusul Kanezhia, teman satu ruangnya dulu "Gak enak ternyata Zhia. Aku ingin kayak dulu, seruangan dengan kamu."
"Nadin. Maneger loh Nad, yakin gak enak?"
"Percuma naik pangkat jadi maneger bila tidak nyaman Zhia. Tugas saya kayaknya bukan menghendel deh, tapi ngajar anak TK."
"Haha maksud lo?"
"Bapak Afdal nyuruh saya mengajarkan anaknya bagaimana cara menjadi maneger yang baik. Padahal ini pengalaman pertama saya jadi maneger, terus bagaimana cara saya mengajarkannya. Aduh Zhia, pusing."
"Jalani saja seperti Air mengalir Nad. Pada akirnya bakal bertemu muara juga."
"Air mengalir mulai mengering Zhia. Jadi tetap saja penderitaan bakal tetap ada, walau muara terlihat di depan mata."
"Terserah kamulah Nad. Sana balik kerja. Nanti di marahin baru tau rasa."
"Siapa sih yang berani marahin maneger," ucap Nadin yang berlagak sombong.
"Ihh. Sombong"
"Cuma bercanda zhia. Ya sudah. Saya balik dulu. By Zhia."
***
Seperti biasa, semenjak Nadin menjadi maneger, Nadin pulang kantor tidak terlalu malam. Tepatnya pada sore hari. Nadin sudah bisa bersantai di kost.
"Nad. Pulang bareng aku ya,"Sahut Luka, ketika Nadin berjalan menuju kost."Luka. Kost aku di depan, gak perlu di antar."
"Kalau begitu kita keluar sebentar."
"Tidak usah Luka, kalau pada ujungnya kita bakal berpisah."
"Nadin, kasih aku untuk berpikir lagi."
"Luka tidak ada yang harus kamu pikirkan. Aku tidak pernah memaksa kamu. Tidak ada alasan lagi untuk kita meneruskan hubungan ini. Aku sudah menerima perjodohan itu. Jadi kamu tidak usah menjawab pertanyaanku lagi."
"Tapi Nad, semudah itu. Pernikahan itu butuh proses Nad. Kamu cinta gak sih Nad dengan aku."
"Memang, tapi butuh waktu berapa lama Cinta? Kamu meragukan hanya karena aku menerima perjodohan itu. Asal kamu tahu. Tidak ada bukti atau hukum baku dalam menentukan hasil untuk urusan hati. Bila kamu tidak paham akan namanya cinta. Aku harap kamu jangan membahasnya, sebab pada ujungnya bakal menyakitkan."
"Nad. Aku paham, makanya aku tetap ingin berjuang."
"Terlambat untuk kamu berjuang, kecuali kamu mau menikahkanku secepatnya tanpa membiarkan aku menunggu lama."
"Nad."
"Luka. Sudah, kita tidak berjodoh.
Bila mata yang di hujani tidak bisa teduh. Apa salah kenangan, yang membenam dalam pikiran.
"Nad. Tas kamu ketinggalan," sahut Fakhrul sembari memberi tas Nadin.
"Terimakasih," jawab Nadin dengan nada malas.
"Kamu nangis ?"
"Jangan ikut campur." Fakrul menarik tangan Nadin.
"Apaan sih."
"Sudah. Ikut saja," ucap Fakrul.
Fakrul membawa Nadin ke pantai. Melihat senja yang bakal datang, sebelum malam tak lagi bernyawa. Membawa sepi yang nanti berlarut, sebelum nanti ia menetap. Satu hal yang paling Nadin sukai tentang pantai, nyanyian ombaknya. Alunan ombak beserta desiran angin memecahan ombak, tepat mengenai pipi Nadin. Mereka duduk antara bebatuan pemecah ombak, menunggu senja.
"Saya terkadang heran dengan tingkahmu yang serupa bunglon, berubah-rubah. Terkadang saya merasa jijik untuk dekat dan terkadang, kamu sangat pintar untuk mendinginkan suasana."
"Makanya jangan nilai orang secepat itu. Yang tadi itu pacar kamu?" Tanya Fakhrul.
"Apaan sih. Gak usah bahas dia."
"Ohh baiklah. Saya tidak bakal menanyakan tentang dia. Bagaimana kalau saya bertanya tentang kita."
"Kita?"
"Iya."
"Apanya?"
"Apa kita sudah bisa dikatakan teman."
"Gimana ya. Saya amat memilih teman. Bila datang lalu pergi, saya harap jangan."
"Apabila saya datang dan menetap?"
"Lebih ngaco lagi kamu. Gak usah bahas tentang kita. Kita jalani saja kesibukan kantor."
"Papa saya nyuruh kamu untuk mengajarkan saya, bukan. Jadi kapan mulainya."
"Kamu mau saya ajarkan?"
"Kenapa tidak."
"Kalau begitu mulai dari besok. Kamu harus nurut dengan saya."
"Tergantung. Kalau kamu nyuruh saya masih sewajarnya urusan kantor, kenapa tidak."
"Oke. Deal, ya"
"Sip." Fakrul meanarik tangan Nadin lagi.
"Kenapa lagi. Jangan sok dekat," ucap Nadin.
"Kita bakal dekat mulai dari sekarang," ujar Fakhrul. Nadin mencoba melepas pegangan Fakrul.
"Lepaskan dia," sahut Luka.
"Jangan di lepas. Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi Ka. Jadi jangan usik hubungan kita."
"Kita?" Ujar Fakhrul.
"Diam."bisik Nadin kepada Fakhrul, sembari tangan Nadin mencubit punggung Fakhrul. "Nurut aja, perintah maneger" bisik Nadin lagi.
"Iya. Kita, "ujar Fahrul kepada Luka. Nadin dan Fakhrul meninggalkan Luka sembari tangan mereka yang tergenggam.
"Nad." Ucap Luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita
RomanceTentang kita, yang masih terjebak rindu. Sejak kemunculanmu, mata ini masih terjebak akan kenangan kita. Kita yang masih bergandeng tangan dan pada akhirnya saling melepaskan. Tentang kita, yang terjebak jodoh. Siapa sangka kita bakal saling terik...