Mantan

99 1 0
                                    

"Ara! Saya mau tidur, musiknya bisa dipelankan sedikit" teriak Nadin.

"Sudah siang ncess, mending jalan yuk ncess. "

"Malas! Mending matiin aja tu musik"

"Malas juga!"

"Ara......"teriak Nadin seakan menguncang bumi. "Bisa gak sih, kali ini kamu kasih aku kebebasan" semabari mata melotot.

"Kebebasan yang seperti apa Nad"

"Kebebasan agar aku bisa leluasa bermimpi. Kamu tahu, tadi aku lagi mimpi apa?"

"Mimpi apa?"

"Mimpi nabok kamu. Mau mimpi itu jadi kenyataan?" Ucap Nadin dengan nada tinggih. Nadin kembali tidur. Menutup kedua telinganya dengan bantal yang terletak di sebelah ia tidur.

"Yuk lah ncess... kita jalan, bosan nih." Sahut Ara yang tidak pitus asa mengajak Nadin jalan.

"Ogah" jawab Nadin dalam keadaan wajah tertutup bantal.

"Nadin... luka nyari ni." Sorak Ara dari pintu kamar.

Luka adalah mantan Nadin. Mereka berpisah kala itu Luka ingin melanjutkan sekolahnya di sorbone, paris. Hubungan LDR di antara mereka, berakhir dengan keputusan 'putus' dari Luka yang tidak sanggup menjalani hubungan LDR.

"Seriuss. Apa saya harus bilang kamu masih tidur?"

"Jangan," sahut Nadin cepat. Nadin lansung bangun dan bergegas mandi. "Ara! Bilang saja, saya mandi" sorak Nadin. Perasaan Nadin ke Luka amat besar, terlihat dari tingkah Nadin yang masih berharap ke pada Luka.

"Ada janji sama Luka Nad?" Tanya Ara dari pintu kamar mandi sembari telinga menyandar kepintu.

"Jangan kepo deh.."

"Serius Nad, ada janji?"

"Ada. Luka ngajak aku nonton. Kenapa?"

"Kalian hendak balikan Nad?"

"Maunya begitu"

"Mogalah Nad, kesendirianmu berakhir damai."

"Apaan sih.. sana, saya siram ntar."

Luka berwajah tampan, kulit rada kuning, hidung rada mancung, bisa di bilang Luka masuk kategori pria idaman. Pintarnya Luka jangan di tanya, pendidikannya yang sudah bergelar masgister di sorbone ini, apa masih di ragukan lagi ? Jelas, Luka sosok bapak yang baik untuk anak-anak kelak, tidak perokok dan mendidik bangat. Apa salah bila Nadin susah move on? Luka adalah mantan terindah Nadin. Mantan yang kerap dikenang, walau terkadang menyakiti. Bila matan harus di daur ulang, butuh proses yang harus dilalui. Meyakini bila mantan bak kenangan maka mati dibunuh satu bakal tumbuh seribu ingatan lain.

Luka memang tidak pernah berubah. Sosoknya yang romantis membuat Nadin susah melupakan. Tangan Nadin di genggam erat, ketika dalam keramaian antrian tiket yang amat panjang. Seakan tidak ingin kehilangan Nadin lagi untuk kedua kalinya. Bila nanti kau lepaskan sekali lagi tangan ini, aku bakal beralih ke genggaman yang tidak ingin melepaskan tangan mungilku ini. Gumam Nadin.

"Saya ke toilet sebentar ya Nad. Sebentar saja... jangan kemana-mana. Ingat!"

"Iya. Gak bakal"

"Suka nonton film laga juga putri tidur" sahut Fakhrul, tepat di sebelah Nadin. Nadin yang duduk diantara mereka berdua, yang berposisi Luka di sebelah kanan Nadin dan Fakhrul di sebelah kiri Nadin. "Kenapa ada dia? Merusak suasana saja," gumam hati Nadin.

"Diam. Anggap saja kita tidak saling kenal untuk kali ini."

"Takut dengan cowoknya. Haha" sembari Fakhrul tertawa tanpa memandang Nadin. Nadin menatap Fakhrul yang seakan kedua matanya ingin melompat saja. Nadin mencoba menahan amarah mengabaikan ucapan Fakhrul. "Saya kira wanita galak yang pernah saya temui seperti kamu,  juga galak sama pacarnya, nyatanya beda bangat dengan pribadi aslinmu." Ucap Fakhrul lagi. Nadin menghela nafas. Menahan emosi. Bila tidak anak bos sudah saya jitak ni anak. Mulut udah kayak bom atom saja, Gumam Nadin.

"Kelamaan ya Nad. Maaf ya sudah buat kamu menunggu," Sahut Luka.

"Sudah biasa Ka. Menunggu lama dari itu aku sudah pernah... Luka Kita pindah dari sini ya. Aku lapar."

"Curhat? Filmnya belum habis Nad."

"Ahh apaan sih. Filmnya gak bagus Ka. Bosan. Lagian aku sudah tidak nyaman disini. Yaa ka...," sahut manja Nadin dengan memperlihatkan sisi kewanitaannya.

"Ya sudah."

Luka mengantarkan Nadin tepat di depan kost, setelah seharian mereka menghabiskan waktu bersama, Jalan-jalan.

"Makasi,"ucap Nadin, setiba mereka di kost. Nadin berdiri menghadap Luka sembari melambaikan tangan ke arahnya. Balas Luka dengan senyum.

"Ggggggg" bunyi perut Nadin. Nadin merasa lapar, padahal belum lama ini dia sudah makan bareng Luka. Biar kata Nadin suka makan tapi badannya masih lansing bak model.

***
"Lang. Minjam duit lagi dong," ucap Fakhrul.

Gilang adalah sahabat Fakhrul sejak kecil yang kerap di panggil lang, terkadang Fakhrul juga memanggil dengan sapaan cina. Gilang yang mirip cina bukan berarti dia keturunan cina karena Gilang asli keturunan jawa-- padang.

"Lagi... Rul, saya belum gajian. Kemaren kan sudah saya pinjamkan. Apa salahnya kamu turutin saja kemauan papamu, lagian itu juga yang terbaik Rul, untukmu."

"Woii cina. Bukannya saya tidak mau. Papa saya tu maunya saya kerja bareng cewek pemalas yang saya ceritakan kemaren. Kamu tau lah, itu cewek rada-rada aneh. Malas bangat kalau satu ruangan dengannya"

"Jangan terlalu membenci. Nanti jatuh cinta baru tau rasa lo."

"Jangan sampai. Sudah. Jangan bahas tu cewek, mending sekarang traktir saya makan. Lapar."

"Jam segini mana ada supermarket yang buka ? Sudahlah tahan saja."

"Gila lo. Saya belum makan dari dua jam yang lalu. Hehe. Minimarket dekat kantor nyokap gue jam segini masih buka. Ayolah.. disitu saja" Gilang menganggung, mengiyakan ajakan Fakhrul.

Langkah kaki Fakhrul terhenti. "Lang, kamu saja yang beli. Biar saya tunggu sini."

"Ada apa Rul ?"

"Gak ada. Cepat. Lapar..." dorong Fakhrul."Beli roti yang banyak ya lang,"bisik Fakhrul. Seketika Fakrul membelakangi Gilang.

"Woii. Ngindarin saya? " tepuk Nadin dari belakang.

"Siapa yang ngindarin. Saya cuma muak, lihat wajahmu yang membosankan."jawab Fakhrul.

"Disana kost saya. Bila kamu rindu. Datang saja." Ucap Nadin sembari meninggalkan Fakhrul.

Rindu ? Tidak akan pernah. Gumam Fakhrul.

"Dia Rul gadisnya?" Tanya Gilang.

"Apaan"

"Gadis yang kamu ceritakan. Cantik Rul."

"Cantik apaan."

"Wajahnya."

"Membosankan." Sahut Fakhrul sembari mengambil barang belanjaan ditangan Gilang.

"Jodoh. Tidak dimana pasti bersua. Seperti kalian," sorak Gilang, mengarah pada Fakhrul.

"Jodoh tu kayak mencari jarum di dalam jerami. Berani terluka baru bersua," balas Fakrul.




















Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang