Elyssium (Fantasy Fiction)

2.2K 223 4
                                    

Aku punya alasan untuk tidak ribut dengan suamiku.

Bukan karena hubungan kami yang sempurna atau cinta kami yang begitu indah.

Tidak ada cinta di antara kami.

Kami terpaksa menikah karena ketololan. Mabuk lalu hamil. Aku tidak mengenalnya. Tapi libido memaksaku membuka kakiku hingga sekarang kami harus menjalani sebuah keterlanjuran.

Setiap kami ribut, suamiku selalu meninggalkanku sendiri. Dia pergi entah ke mana. Sementara aku menangis sesenggukan. Hingga "dia" datang.

Dia yang bukan suamiku.

Dia yang ketampanannya begitu memabukan.

Dia yang selalu muncul begitu saja.

Dia yang mencium luka di hatiku dengan sangat lembut.

Dia yang membuatku takut.

"Claire."

itu suaranya yang memanggilku. Merdu, dalam dan menenangkan. Suara terbaik yang pernah kudengar seumur hidupku.

Aku menelan ludah.

Suara itu begitu tenang dan berwibawa, sangat sesuai dengan pakaian mewah yang dikenakannya. Tubuhnya yang gagah berdiri di ruang tamuku. Wajahnya menyiratkan kesedihan dan simpati seperti biasa.

"Claire kesayanganku," ucapnya sambil berjalan tegap menuju tempatku duduk. Jemarinya yang dingin menyentuh pipiku.

"Arthur," ucapku sambil menatap wajahnya. Dia tersenyum. Ada gurat senyum di pipinya hingga lekukan tampan di sekitar matanya. Aku benar-benar terpesona.

"Kenapa kau tidak ingin aku datang?"

Arthur duduk di sampingku, menyisipkan lengannya di belakang punggungku. Kupikir dia merasakan detak tidak terkendali di dalam tubuhku.

"siapa bilang?"

"Claire, aku tahu semua. Bahkan ketika kau berbohong." Suaranya terdengar sedih di telingaku. Ia seperti merengek.

Aku memejamkan mata dan menelan ludah. Dia tahu apa yang kupikirkan.

"Maafkan aku, Arthur. Tapi kau memang membuatku takut."

"Aku akan mengajakmu ke tempat di mana tidak ada lagi rasa takut. Rumahku."

Mataku terbelalak ngeri menatap dekat wajah Arthur yang pucat. Aku berdiri dnegan cepat hingga terhuyung ke belakang.

Aku tidak tahu dari mana dia berasal. Tapi tempat yang disebutnya dengan rumah pastilah bukan rumah nyata seperti yang kudiami sekarang.

Arthur menatapku dengan wajahnya yang datar. Kepalanya meneleng ke kanan. Tangannya terulur untuk meraihku. Tapi aku tahu memegang tangan itu berarti persetujuan untuk ikut bersamanya. Tidak. Bukan itu yang kumau.

Kupaksa lututku yang gemetar untuk berlari menuju kamar dan mengunci pintu di belakangku. Nafasku tersengal karena jantung yang berdetak dengan brutal di dadaku.

"Claire, kumohon." Aku terloncat mendengar suaranya yang lembut. Arthur sudah berdiri di depanku. Wajahnya memelas. "Kau tahu aku mencintaimu. Aku tidak ingin melihatmu bersedih lagi."

Tangannya menyentuh bahuku. Seketika seluruh pemandangan di sekitarku berubah. Ada pintu berpendar di hadapanku. Arthur membimbingku memasuki pintu itu. Aku tidak punya kekuatan untuk melawannya. Tubuhku seperti melayang.

"Selamat datang, sayang. Sungguh kaulah manusia pertama yang memasukinya. Tapi di sini tidak akan ada yang menentangku. Aku penguasa Elyssium, negeri setelah kematian. Kau akan menjadi ratu di sini, cantikku."

Bisikan lembut Arthur membuat seluruh tubuhku bergetar hebat.

Tapi pemandangan yang kulihat lebih menggetarkan.

Kami berada di taman dengan bunga dan daun aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya Orang-orang memakai kain putih yang diselempangkan sembarangan di tubuh mereka. Mereka menunduk ketika melihat Arthur. Ada bangunan-bangunan tinggi dari kaca dengan desain seperti dalam lukisan surealis.

Udara di tempat ini seperti tidak bergerak. Tapi sangat dingin. Langit jingga seperti ketika matahari terbenam. Tapi tidak ada matahari di tempat ini. Tidak ada kehangatan di sini.

Kupandang semua dengan ngeri. Panik.

Tiba-tiba aku merasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Jiwaku bergejolak. Aku ingin menangis dan meronta. Air mata jatuh di pipi kiriku. Kepalaku berputar.

"Jangan. Kumohon jangan," bisik Arthur.

Lalu semua terasa gelap. Seperti malam yang dipenuhi bintang dari berbagai rasi yang menari-nari.

Aku berputar di dalamnya. Perlahan, lalu kemudian sangat kencang. Aku terkoyak dalam pusarannya. Sendirian.

Bibirku memanggil namanya karena hanya dia yang mungkin bisa menolongku sekarang.

"Arthur... Arthur... Arthur..."

Kuharap dia mendengarku seperti biasanya. Kuharap ia datang kepadaku seperti ketika dia mengejutkanku di malam-malam dingin ketika Suamiku pergi meninggalkanku. 

***

Lady in Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang