"Mak sudah tahu kalau Bapak kawin lagi, kan?"
Mata Nilam nanar menatap anak sulungnya. Bagaimana Dimas tahu? Apa ia kurang rapi dalam menyimpan kebejatan suami?
"Aku lihat dengan mata sendiri, Mak." Dimas tertunduk. Wajahnya keras. Bibirnya bergetar menahan emosi dalam geram hatinya.
Dada Nilam bergejolak mendengar getar dalam suara Dimas. Air mata menetes tanpa bisa dicegah. Suara sudah menghilang dari tenggorokannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menyentuh rambut tebal Dimas, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan dalam dada lelaki muda itu.
"Mak, kalau bapak pulang, biar kubunuh dia."
"Mas," cegah Nilam cepat. "Mas bagus, Cah Ganteng, buang jauh-jauh pikiran setan itu dari hatimu, Mas. Biar bagaimana, dia Bapakmu."
"Mak, bajingan itu bukan bapakku." Air mata menetes di pipi Dimas. Wajahnya memerah. Murka dan luka berbaur dalam amukannya.
Nilam menggeleng lemah, mengulurkan tangannya untuk menyentuh Dimas, berharap bisa meredakan amarah dalam dada laki-laki muda itu.
"Empat tahun kita menunggu Bapak pulang. Empat tahun, Mak! Empat tahun kulihat Emak jungkir balik sendirian. Empat tahun kulihat Emak menangis sendirian. EMPAT TAHUN KUCARI BAPAK, MAK!" Dimas menendang kursi di depannya hingga terlempar dan menabrak dinding, sebelum tersungkur di atas pangkuan ibunya. Isakan Dimas seperti goresan pisau dalam hati Nilam.
"Kamu percaya pada Gusti Allaah kan, Nak? Hukuman Allaah tidak akan salah alamat, Nak. Tidak akan."
Nilam terus mengusap kepala anaknya tanpa berusaha menghapus air matanya sendiri. Batinnya menyenandungkan doa kudus. Bukan doa untuk lelaki yang telah meninggalkannya, tetapi doa untuk lelaki muda yang memeluk kakinya dengan air mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady in Love (Completed)
NouvellesCerita-cerita pendek yang mengisi waktumu dengan senyum dan kekaguman. Cerita tentang kesungguhan dan ketangguhan manusia yang bertahan dengan cinta.