Prolog

5.9K 633 29
                                    

Percaya adalah kunci dari hubungan. Karena cinta membutuhkan rasa percaya. Setidaknya begitulah yang selalu dipikirkan Jungkook sebelum dirinya membuang semuanya. Jeon Jungkook, dua puluh lima tahun, akhirnya berhasil meraih puncak tertinggi impiannya sejak dulu. Menjadi penyanyi adalah mimpinya sejak dulu. Sulit meraihnya karena berbagai hambatan harus ia lewati, mulai dari kegagalan audisi, hingga ia harus menunggu dua tahun lebih lama agar bisa debut, dan pada hari ini ia berdiri di panggung megah dimana dirinya menjadi fokus utama dengan sinar lampu yang meneranginya.

Sejak lima tahun lalu Jungkook berhenti percaya. Sejak seorang pria berambut oranye menyala meninggalkannya tanpa alasan. Jungkook masih ingat saat itu musim dingin, salju turun sangat deras di kota Seoul. Dirinya hanyalah seorang mahasiswa di jurusan seni yang mengambil studi musik. Hari itu ia yang baru saja menyelesaikan ujian musiknya dengan langkah ringan dan hati riang, membawa dua moccacino hangat dan hendak menuju rumah sang pria yang dicintainya sejak masa sekolah. Pria itu adalah orang pertama yang dicarinya untuk berbagi kebahagiaan hari itu.

Namun apa yang ditemukan Jungkook bukanlah hal yang sepadan dengan kebahagiaannya. Pintu apartemen itu tertutup dan tak ada tanda-tanda akan terbuka meski ia sudah menekan bel berkali-kali. Apa yang terjadi? Entahlah.

Dengan cepat ia mengambil ponselnya dan menghubungi nomor si pemilik apartemen. Hatinya berdebar tak karuan, seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Hingga suara berat diujung sana menjawabnya, Jungkook merasa frustasi.

"Hyung? Kau dimana? Aku baru saja sampai di apartemenmu dan kau tak ada disini." Jungkook berkata cepat. Dua gelas moccanino hangat itu sudah terlupakan olehnya.

"Jungkook..." Suara berat itu memanggil namanya. Dan entah kenapa terdengar jauh lebih berat dari biasanya. Satu hal lagi, laki-laki itu jarang memanggilnya dengan nama aslinya. Ada yang salah. "Pulanglah."

Pulang? Apa ini? Apa maksudnya? Apa hari ini April Mop? Apa Taehyung sedang berniat memberinya kejutan?

"Apa?"

"Pulanglah. Aku sudah tak tinggal disana."

Jungkook menghela nafas. Oh, ternyata ia hanya pindah apartemen. Benar-benar membuat khawatir. Jungkook pun berjalan menyusuri jalan masih dengan handphone di telinganya. "Lalu dimana kau sekarang? Gosh, kau benar-benar membuatku khawatir."

"Tidak."

"Huh?"

"Kau-tidak, maksudku-kita, tak bisa bertemu lagi."

Langkah Jungkook terhenti. Apa? Tak bisa bertemu lagi? Kenapa? Apa yang salah? Ada apa ini sebenarnya? Demi Tuhan jika si bodoh berambut oranye ini sedang mengerjainya ia akan menendang pantatnya dengan keras.

"Jangan bercanda, hyung. Kau ingin aku tertawa? Hahahaha. Kau puas?" Jungkook masih tertawa. Namun entah kenapa ada yang salah dengan tawa itu.

"Aku tidak sedang bercanda." Suara berat itu menghentikan tawanya.

Deg.

Dada Jungkook berdebar semakin kencang. Ia mengigit bibirnya. Apa ini akhirnya?

"Kau..serius?"

Suara gumaman di ujung sana sudah cukup mampu menjawab pertanyaannya. Angin musim dingin entah kenapa berhembus kencang dengan tiba-tiba. Jungkook mengeratkan syal coklatnya.

"Jadi pada akhirnya seperti ini, huh? Kau lelah denganku yang setiap hari mengganggumu?" Suaranya tercekat. Ia tertawa, tawa menyakitkan. Jungkook tahu ada yang salah dari hubungan ini.

Selama ini ia sadar bahwa hanya dirinyalah yang mencintai tanpa pernah dicintai dengan rasa yang sama. Setiap kata 'I love you' yang keluar dari bibirnya tak pernah terdengar balasannya. Laki-laki berambut oranye itu hanya diam dan tertawa kecil setiap kali mendengarnya. Namun setiap kali keraguan itu muncul, Jungkook selalu mencoba percaya.

"Kukira kau mau mencobanya..." Desisnya. Tawa itu berganti dengan isakan. Jungkook mengigit bibirnya. Menunggu jawaban dari ujung sana. Berharap bahwa pria itu akan membatalkan pilihannya.

"Aku tak bisa sekarang. Aku sudah memilih. Maaf aku tak bisa menjelaskan semuanya padamu. Aku janji suatu hari nanti aku akan kembali."

"Tapi aku.." Nafasnya tercekat. Ia menangis keras.

"Jangan menangis, Kookie. Kau terlihat buruk jika menangis." Suara itu kembali menenangkannya.

Jungkook tak bersuara. Ia masih menangis terisak.

"Kookie, aku harus pergi. Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Aku berani bertaruh. Jaga dirimu, oke?"

"Yeah, kau juga.."

"Aku mencintaimu."

Kata itu. Kalimat itu. Yang selama ini selalu ingin Jungkook dengar.

"Ya. Aku juga. Sangat mencintaimu."

Dan telepon itu terputus. Bersamaan dengan turunnya butiran kecil yang terasa dingin. Tangan Jungkook meraihnya sembari mengeratkan syalnya. Ia tersenyum miris.

"Ah, salju?"

Sebuah pesan masuk ke ponselnya.


'Selamat atas ujianmu! Aku tahu kau pasti bisa! Jangan lupa tersenyum!'
***








Holaaaaaa!
Here I am, akhirnya mempublish ff series vkook pertama yang saya publish di IG.
FF ini sudah jauh sebenernya cuma sempet berhenti update dan sekarang saya mau kembali melanjutkan.
But, sebelum itu, saya bakal publish semua chapter yang pernah ada sebelum saya update chapter baru.

So, enjoy!
See you soon!

Beet regards,
Rere Kim.

FAITH (KTH +JJK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang