Berkeluarga.
Berkeluarga tidaklah semudah seperti kalian mengucapkannya. Ketika kalian sudah mempunyai keluarga, kalian harus rela kehilangan beberapa moment dalam hidup kalian. Mungkin kalian berpikir dengan aku berkata seperti ini, aku menyuruh kalian untuk tidak berkeluarga–No, aku tidak menyuruh kalian seperti itu. Aku hanya ingin memberi tahu kalian sesuatu bahwa menikah–membangun istanamu sendiri tidaklah mudah. Mungkin terlihat mudah, tapi ketika kalian sudah memasuki jenjang seperti ini, kejujuran dan pengertian adalah material paling penting dijenjang ini. Aku sudah menikah dan kini aku sudah dikaruniai dua orang anak.
Ya, Joey yang kalian dulu kenal tidak seperti dahulu lagi.
Kulit mulai berkeriput, helaian rambut putih mulai menghiasi kepalaku, mataku selalu merah, tentu semua itu tidak ada di daftar cita-citaku–tapi menikah, itu lain lagi. Kini Rey kecilku sudah menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Penampilan imutnya kini terisi dengan ketidak pedulian–aku tidak akan bertanya dia mendapatkan itu dari siapa–tapi walaupun begitu, Rey mempunyai sifat yang cukup jauh berbeda dari aku dan Olivia. Lalu, ada satu lelaki yang datang ke dalam keluarga kecilku dan namanya adalah Arthur. Arthur adalah jagoan kecil yang begitu periang, dia suka berlari di taman bersama dengan anjing peliharaan kami dan dia juga sangat menyukai kartun Cars.
Baiklah...
Aku sudah seminggu bekerja di kantor, untuk menyelamatkan bumi ini sekiranya. NASA tidak mengizinkan aku pulang dan begitu juga nasib beberapa pekerja yang lain. Seminggu ini kami berbincang bagaimana membuat Planet Mars menjadi sebuah planet yang bisa kalian―manusia―tempati, tetapi pada akhirnya kami tahu itu tidak mungkin dan semua anggota rapat saat itu seperti "Biarkan bumi membunuh kita, sepertinya itu pembalasan yang bagus setelah apa yang kita lakukan dahulu dengan bumi." .Hanya saja... selama rapat berlangsung, pikiranku tidak tenang. Seminggu sebelum rapat berlangsung atau lebih tepatnya seminggu sebelum aku mengetahui jika aku harus menginap di kantor, aku sudah berjanji dengan kedua anakku dan istrikku jika kami akan liburan dan sekarang aku tidak pulang ke rumah selama seminggu. Olivia sudah mulai mengirimkan sms-sms yang tidak waras, seperti mencurigaiku jika aku tidur sama perempuan lain atau hal-hal lainnya, kami bertengkar di dalam SMS dan itu terlihat lucu sebetulnya, yang terakhir dia meminta cerai padaku.
Well, untuk yang satu itu tidak lucu.
Aku tidak menyangka bahwa ini akan seperti itu. Man, aku tidak akan mengkhianati Olivia dengan perempuan yang tidak jelas di luar sana. Mendapatkan Olivia membutuhkan perjuangan naik dan turun. Dia adalah ratu di SMU dan semua orang jika melihatnya akan mengatakan seperti "Damn girl" , siapa yang akan rela melepaskannya? Hanya lelaki bodoh yang melepaskannya–maafkan aku Erick, aku tidak bermaksud mengatakanmu bodoh.
Kini aku sudah berada di dalam mobil, menyetir dengan perasaan gundah-gelisah. Aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi nantinya, aku tidak ingin kami bertengkar di depan anak-anak, setidaknya aku tidak ingin bertengkar ketika kami berada satu atap dengan anak-anak kami. Aku memarkirkan mobilku di depan garasi rumah, membawa tas kerja dan cetak biru yang berada di bangku belakang. Aku menekan tombol bell rumah dan berdiri tegak sembari mengatur nafasku.
"Ayah!!!" Arthur membuka pintu dan langsung memelukku dengan erat.
"Hallo, Arthur!" balasku dengan semangat dan membalas pelukannya.
Aku melihat Olivia yang muncul di belakang Arthur, mimik wajahnya sudah tidak bersahabat. Dia melipat kedua tangannya. Aku masuk ke dalam rumah, menaruh seluruh bawaan kerja di ruang kerjaku dan Olivia mengikutiku. Dia menutup pintu dan menguncinya. Aku berdiri di belakang meja kerjaku sembari melihat dia.
"Seminggu kau tidak pulang?!" Ucap ha memulai semua ini.
"Aku sudah bilang padamu, aku bekerja Olivia..." ucapku dengan nada pasrah.
"Apa itu menghalangimu untuk bertemu keluargamu?" Tanya Olivia dengan menekan kata terakhir.
Aku menggeleng kepalaku. Menopang tubuhku dengan kedua tangan yang kini berada di pinggir meja kerjaku. "Olivia, aku baru pulang dan aku tidak mengharapkan pertengkaran. Aku tidak mau anak-anak mendengarnya. Aku melakukan ini untuk kita."
"Kita...? Kau bahkan lupa kau punya janji dengan kita." Balas Olivia.
Aku berjalan mendekati pintu, mendorong tubuh Olivia pelan ke sisi kiri ruangan dan keluar dari sini. Ia mengikutiku sembari berbicara hal-hal yang tidak jelas. Aku mencoba mengabaikannya tetapi semua yang terlontar dari mulutnya tidaklah relevant.
"Alexander, lihat aku!" Seru Olivia dan aku menggeram malas.
"Baiklah kalau begitu." Aku menatap langsung ke kedua matanya. "Kiddos berkemaslah. Kita akan pergi." Lanjuku melihat kedua anakku yang melihat diriku dengan mimik bingung.
"What?! Apa yang kau lakukan?!" Ucap Olivia sembari mengikutiku. "Alexander."
Aku berjalan ke kamar, mengambil tas ranselku, memasukkan pakaian ganti dan alat-alat yang kemungkinan aku butuhkan nanti. Olivia menutup pintu kamar dia berdiri di sana dan menatapku tajam.
"Kau pikir kau akan pergi?" Tanya dia dengan nada yang tidak menyenangkan sama sekali. "Membawa anak-anakku? Mereka milikku, jangan―kau―"
Olivia mendekatiku, ia memberikan pukulan terbaiknya kepadaku tetapi itu semua tidak berguna, maksudku emmang tubuhku lelah tapi pukulan itu malah terasa seprti pijatan di punggungku yang begitu rapuh ini. Aku membalik tubuhku, mencoba menghentikan pukulan Olivia kali ini.
"Olivia, Olivia... . Aku tak akan pergi meninggalaknmu, okay?! Aku mencintaimu―" balasku. "Hentikan okay?"
"BULLSHIT!!" Ucapnya di depan wajahku dan kini ia mendorong tubuhku.
Aku memeluk tubuhnya dan dia tetap memberikan perlawanan, tapi aku tak peduli. "Olivia, aku akan membawa anak-anak menuju tempat liburan hanya itu. Aku rasa mereka butuh liburan dan aku juga, serta kau juga." Lanjutku.
"Alexander, jangan mengajak anak-anakku jika kau ingin bertemu dengan istri barumu." Ketusnya.
Aku memutar bola mataku dan mendesah, here we go again. "Olivia... aku tidak mempunyai istri baru. Kau satu-satunya yang aku punya, apa yang kau pikirkan?"
"Benarkah, Alexander? Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Jika ayahmu bisa, maka kau juga bisa!"
"Aku bukan ayahku Olivia. Dia juga bukan ayahku! Sekarang mohon permisi karena kau menghalangi jalan orang tampan yang kelelahan dan lebih baik bebaskan pikiran itu ketika aku dan anak-anak liburan. Aku tak ingin setelah kami selesai liburan pikiranmu masih tetap sama, mengerti? Love You."
Aku keluar dari kamarku. Rey dan Arthur sudah menunggu, mereka melihatku dengan tatapan yang sama, tercekam. Aku melempar kunci mobilku kepada Rey dan menyuruhnya untuk memanaskan mesin mobil. Olivia, dia masih bersikap drama. Dia mengoceh bagaimana aku tidak pengertian padanya atau lain-lainnya.
"Baiklah Olivia, aku sekarang mengerti. Seminggu dengan anak-anak membuatmu tidak waras, aku akan mengajak mereka liburan dan ketika aku kembali lebih baik hilangkan pikiran itu." Ucapku lalu memberikannya kecupan. "Love you..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Until the dawn
Teen FictionKau tidak tahu betapa berharganya orang disekitarmu, hingga mereka semua pergi. ['Not Kind Of That Story' Bonus Continuity Story.] Joe, 39. Sibuk dengan pekerjaannya hingga terjadi pertengkaran di dalam rumah tangganya. Tidak tahan mendengar oc...