Pagi tiba, sinar mentari mendarat dengan sempurna ke lantai kabin. Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan pergi ke kamar mandi, aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku. Setelah mandi dan memakai pakaian, aku membangunkan Rey dan Arthur, bersyukur mereka tidak begitu sulit untuk bangun pagi hari ini.
Kami membereskan pakaian kami dan semua benda yang kami bawa, setelahnya, kami membawa tas dan koper kami ke depan kabin. Jamie sudah menunggu di depan sana, dia membantu kami menaruh semua barang bawaan kami ke dalam bagasi mobil. Aku menyuruh Rey dan Arthur untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Aku dan Jamie berdiri di belakang mobil menatap satu sama lain untuk beberapa detik sebelum akhirnya aku mengucapkan sesuatu sebelum berpisah.
"Jamie, terima kasih telah membantuku beberapa hari ini." Ucapku tak lupa dengan senyuman yang menghiasi wajahku.
"Tidak masalah, itu sudah bagian dari pekerjaanku." Balas Jamie, lalu ia memegang pundakku. "Tuan Alexander, aku tau pekerjaanmu adalah segalanya bagimu, tapi keluargamu membutuhkanmu juga. Keluarga adalah nomor satu di atas segala hal di bumi ini. Jangan sampai kau kehilangan orang yang kau sayangi lagi."
Aku terdiam, senyum di wajahku perlahan menghilang. "Dari mana kau tahu kalau―"
"Karena aku selalu mengawasimu." Lanjutnya dan dia menjeda beberapa saat. Jamie mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. "Ini kunci kabinmu dan ada hadiah dariku. Ngomong-ngomong sudah ketetapan perkemahan agar penginap atau pengunjung yang mengembalikan kunci."
"Y―y―ya, aku akan mengembalikannya. Terima kasih Jamie." Lanjutku dan Jamie tersenyum lalu mengangguk.
Perempuan itu memutar tubuhnya dan berjalan menjauhiku. Dia tak melihat atau menoleh kembali ke arahku sama sekali. Aku masuk ke dalam mobil dan berkendara hingga tempat pembookingan. Aku meminta anak-anak untuk tetap di dalam mobil, selagi aku turun dan mengembalikan kunci kabin.
"Sudah ingin pulang Tuan Alexander?" Tanya lelaki yang pertama kali menyambutku. "Baiklah tidak ada layanan tambahan, kau hanya perlu mengembalikan kunci kabinmu." Balasnya sembari melihatku.
Aku merogoh kantung bajuku, menberikan kunci itu kepadanya. "Hei... kau tahu aku sangat berterima kasih atas pelayanan kamp ini. Terutama pelayan perempuan bernama Jamie. Aku mempunyai tip―"
"Perempuan?" Tanya lelaki itu dengan intonasi bingung dan juga matanya sedikit menyipit kearahku."Kau yakin? Perkemahan kami tidak sama sekali mempekerjakan seorang perempuam, Tuan."
"Tetapi tiga hari―"
Aku menarik nafasku. Seketika dunia ini menjadi hampa. Dengan perlahan aku mengambil hadiah yang Jamie berikan kepadaku di kantung celanaku. Aku membuka perlahan kertas putih yang membungkus pemberian hadiah Jamie. Sebuah figuran Tom Redfille kini berada di tanganku.
"Tidak mungkin..." Lirihku dan aku segera berlari.
Lelaki itu memanggil namaku, hanya saja aku tidak menggubrisnya. Aku berlari ke kabinku tetapi tidak ada lagi orang di sana. Dunia di sekitarku terasa berputar dengan cepat seiring nafas yang aku hembuskan. Aku terdiam menatap dermaga kecil yang aku kunjungi dengan Arthur kemarin. Aku melihat seseorang sedang duduk di ujung dermaga. Aku berjalan perlahan mendekatinya. Decitan kayu tua dan mulai lapuk terdengar dan dia sama sekali tidak terganggu.
"Jamie―" Aku terdiam sebentar. "―atau aku bisa memanggilmu Devonna." Lanjutku.
Aku bisa melihat perempuan itu mengangkat wajah. Perlahan dia menoleh ke arahku, walau kini aku hanya bisa melihat setengah bagian wajahnya. Dia perlahan bangkit berdiri dan memutar tubuhnya, berjalan mendekatiku hingga akhirnya aku bisa melihat wajahnya berada di depanku .
Mata coklat itu menatapku dengan hangat, rona merah di pipinya, freckle coklat di bawah kulit putihnya yang bersinar dan bibir pink kemerahan yang kini membentuk simpul senyum. Aku terjatuh di atas kedua lututku. Seakan oksigen kini hilang di muka bumi, yang bisa ku lakukan hanyalah menghela ketika menlihat wajahnya. Tangannya menyentuh pipiku perlahan, aku memejamkan mataku, merasakan setiap sentuhannya di atas kulitku.
"It's you" Gumamku.
"Joey, mengapa kau tak pernah mengunjungiku?" Tanya dia dengan nada sedih. "Aku telah menunggu lama dan sangat kesepian tanpa leluconmu."
Aku melihat wajahnya yang bersinar, senyumannya kini menghilang. Hanya mimik kesedihan yang terpasang di wajahnya. "Aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk melupakanmu. Aku bodoh, aku sahabat terbodoh. Aku telah mengecewakanmu dan Olivia. Aku benar-benar bodoh..."
Devonna menghela nafasnya dan kini senyuman kembali terpancar di wajahnya. Dia menggenggam kedua tanganku perlahan, menyuruhku untuk bangkit dan aku melakukannya. Aku dan dia kini bertatap mata, dia sama sekali tak berubah sejengkalpun.
"Kau tidak sebodoh yang kau pikirkan. Tenang saja." Ucapnya dan aku terkikih. Telapak tangannya kini kembali menempel di pipi kiriku dan air mata keluar dari kedua matanya. "See? Sekarang kau sudah bertambah tua dan mempunyai keluarga."
"Ya dan nanti kita semua akan bersama lagi, bukan begitu?" Tanyaku
Tanpa menghilangkan senyumnya, ia mengangguk "Hanya saja waktu kalian masih lama. Kau. Kau masih mempunyai keluarga yang membutuhkanmu. Alexander, ingatlah... Selalu bersyukur dengan apa yang kau punya, keluarga adalah nomor satu. Aku tak ingin kau kehilangan orang yang kau cintai lagi... ."
"All this time... Kau selalu mengawasiku." Lirihku
Alexander tertawa lalu dia mengangguk. "Kau tahu sejak kau muda, kau tak bisa mengatasi sesuatu. Aku atau sahabatmu harus ikut turun tangan. Aku yakin kau dan Olivia akan terus bermusuhan jika aku tak membantumu." Lanjutnya.
Aku tersenyum. "Thank you, Dev."
Devonna menarik nafasnya dan ia menepuk pundak kiriku dua kali. "Baiklah Alexander, kau harus pergi dan begitu juga denganku. Simpan Tom Redfille dengan baik, okay? Aku butuh usaha mengambilnya dari kakakku."
"I will." Singkatku.
"Dan Alexander, ehm... aku tau kau tak selalu bisa melihatku―hanya saja―percayalah aku selalu bersamamu." Demi tersenyum lalu menarik nafas panjang. "Baiklah sudah saatnya, berikan aku pelukan terbaikmu."
Aku memeluknya dengan erat. Aku merasa berat sekali untuk meninggalkannya kembali, tapi aku tahu, aku tak bisa melakukan itu. Dia harus kembali dan aku juga. Aku berjalan kembali menuju mobil, tetapi padanganku tak lepas darinya. Aku masih bisa melihat dia berdiri di dermaga sembari melihatku dan melambaikan tangannya, hanya saja setelah aku melewati pohon pinus dia menghilang, dia tak lagi berada di dermaga dan melambaikan tangannya untukku.
"Ayah, kenapa lama sekali?" Tanya Arthur yang mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Maafkan ayah, ada urusan sebentar. Sekarang ayo kita pulang." Lanjutku dengan senyuman dan semangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Until the dawn
Подростковая литератураKau tidak tahu betapa berharganya orang disekitarmu, hingga mereka semua pergi. ['Not Kind Of That Story' Bonus Continuity Story.] Joe, 39. Sibuk dengan pekerjaannya hingga terjadi pertengkaran di dalam rumah tangganya. Tidak tahan mendengar oc...