Tujuh Belas

4.4K 610 66
                                    

DITTO

"Gimana, udah ada hasil?" Tanya Bian pas kita lagi keluar makan siang. Gue ngegeleng pelan, tahu persis apa yang Bian tanyain.

"Baru juga jalan enam bulan kan lo sama Nada." Kata Chakra coba menengahi.

Iya, lo gampang bilang gitu Chak, anak lo udah lahir, sedangkan gue. Belum ada tanda-tandanya sama sekali.

Emang sih, gue sama Nada baru jalan enam bulan nikah, wajar aja kalo belum di kasih. Tapi masalahnya Nada gak pasang alat kontrasepsi apapun, gak ada acara nunda-nunda juga.

"Udah ah, jangan dipikirin. Apalagi ngomongin ini sama Nada, nanti dia tertekan gak baik."

Gue gak pernahlah bahas ini sama Nada, gue jelas tahu gimana cara buat dia senyum di saat orang lain nanyain soal penyebab udah enam bulan nikah tapi belum juga dapetin anak.

Gue gak masalah sih, cuma Nadanya, Nada suka pesimis.

Babyboo : Pulang langsung pulang, jangan keluyuran. Makan malem dirumah :*

Gue : iya sayang, jangan lupa makan siang. Love you :*

"Nada?" Gue ngangguk, terus ngabisin makan siang biar bisa balik ke kantor dan supaya kerjaan gue hari ini cepet selesai.

"Pak Tegar, bisa ke ruangan saya sebentar." Panggil Pak Anto, atasan gue pas gue baru aja masuk ruangan.

Gue jalan ngikutin beliau ke ruangannya. Entah mau ngapain, ikutin dulu ajalah.

"Tolong kerjain dokumen ini terus kalau sudah selesai, tolong minta OB antar dokumennya ke kantor yang di Gatot Subroto temui saja Pak Dzaki. Yang minggu lalu kontrol ke sini." Gue ngangguk, nerima dokumen dari beliau.

"Saya permisi," pamit gue sambil ngebungkuk sopan.

Lembur dong gue kalau gini caranya.

.

Jam setengah sembilan malam gue baru nyampe di apartemen, janjinya mau pulang cepet, tapi malah melempem dijalan, gue dapet tugas tambahan, di tambah niat nyari jalan pintas biar cepet, malah apes kejebak macet. Sialan!

Gelap.

Satu kata itu yang bisa gue tangkep pas gue masuk ke apartemen, cuma ada cahaya temarama dari arah dapur. Pas gue samperin, ada Nada lagi telungkup di atas meja makan, lilin-lilin yang mulai mencair, sama tumpukan kado berukuran kecil di samping Nada.

Gue gak ulang tahun, btw. Hari ini juga bukan ulang tahun dia.

"Nad, sayang, bangun." Kata gue pelan sambil usap lembut rambutnya.

"Nad, bobo di kamar yu."

"Hanada..."

Dia ngelenguh, sebelum beralih natap gue dengan mata yang masih merem.

"Aa baru pulang? Udah makan?" Tanya dia sambil ngucek-ngucek mata ngantuknya. Tetep gemesin.

"Tadi magrib udah, tapi sekarang laper lagi. Kamu masak apa hm?"

"Masak opor ayam kesukaan Aa, bentar Nada angetin dulu ya." Dia bangkit dari duduknya, masukin ayamnya kedalam microwave, matanya masih belum kebuka sempurna.

"Nad, ini kado buat siapa?" Tanya gue sambil merhatiin salah satu kotak pink yang di iket pita dengan warna senada.

"Jangan di pegang!" Dia lari ke arah gue terus ambil kota kado yang lagi gue pegang.

"Sekarang Aa mandi dulu sana. Nanti kalau udah selesai mandi baru boleh liat."

Gak butuh waktu lama buat gue mandi, dan balik lagi ke meja makan. Buat liat Nada yang lagi mainin sendok sama garpunya.

"Ada apaan sih?" Tanya gue sambil cium kepalanya, sedikit buat dia terperanjat.

"Duduk buruan. Makan yang kenyang." Dia yang nuangin nasi sama opornya ke dalam piring gue.

"Yang, serius semangat banget sih kamu, ada apaan?" Tanya gue agak curiga.

"Abisin dulu makannya, baru Nada ijinin buka kado-kadonya."

"Kadonya buat, Aa?" Tanya gue makin bingung. Dia ngangguk pasti.

"Ya udah, Aa makan. Kamu juga."

"Suapin tapi sama Aa, ya?" Gue ngangguk terus nyuapin sesendok nasi ke mulutnya dia.

"Udah boleh buka kadonya sekarang?" Tanya gue setelah kita selesai makan, dia ngangguk.

"Boleh yang mana aja?" Sekali lagi dia ngangguk.

Gue pilih satu, kotak persegi yang berwarna biru, mata dia berkilauan diterpa cahaya lilin yang hampir meleleh seutuhnya.

"Ini apa?" Tanya gue pas liat satu stik tipis warna putih, dia angkat tangan. Terus gue buka satu lagi, kali ini bentuknya kotak.

Gue sama sekali gak ngerti.

"Nad, ini apaan sih? Kenapa Aa di kasih kaya gini banyak banget." Kata gue pas buka satu terakhir yang kotak.

Jumlahnya ada lima, tiga yang bentuknya stik, dua lagi yang kotak. Gue tau benda ini, tapi gue gak ngerti cara bacanya.

"Strip merahnya dua. Usianya baru enam minggu, kata dokter itu yang buat Nada suka mual kaya masuk angin."

Gue diem sejenak, nyoba mencerna apa yang dimaksud Nada.

"Nada hamil, Aa. Gak peka banget Ya Allah."

"Nad, gak lagi bercanda kan?" Dia narik idung gue kenceng, super kenceng.

"Ngapain Nada bercanda. Masa hamil dipake bercandaan."

"Alhamdulillah." Ucap gue sambil ngusap wajah pake telapak tangan gue.

"Aa seneng?"

"Senenglah Nad, seneng banget. Aa harus kasih tau Mama, Papa, Teh Tiara, Aa Bagus, Tania, si kembar, Chakra juga sama Bian, kamu juga kasih tau keluarga kamu, atau Aa yang telfonin mereka." Gue gak bisa nyembunyiin rasa bahagia gue, gue pengen semua orang tau, gue mau jadi ayah.

"Aa, berisik udah malem. Besok lagi aja ngabarinnya ya."

"Tapi Aa seneng banget, Nad. Peluk sini." Gue bangkit sambil ngerentangin tangan yang langsung disambut sama Nada.

"Makasih Ya Allah, atas kebahagiaan melinpah yang Engkau berikan pada kami."

Karena hasil tidak pernah menghianati usaha.

"Nanti malem, tahajud bareng lagi ya, Aa." Bisik Nada di telinga gue, gue ngangguk sambil mempererat pelukan gue.

Gue mau jadi Ayah. Hahaha

Next~

Insyaallah, ini chapter terakhir manis-manisannya.. konflik bakal muncul di chapter berikutnya ya :)

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang