Bakar. Bakar saja dia! Aku tidak peduli dengannya. Sekalipun dia memohon dan merangkak di hadapanku. Dia tidak bisa diampuni. Aku yakin semua orang disini juga setuju dengan pendapatku. Betapa tidak, perbuatan kotornya itu telah merugikan banyak orang. Aku emosi, ingin rasanya mematahkan tulang-tulangnya dan membuangnya seperti sampah. Aku masih ingat akan nurani. Aku masih bisa menahan emosi yang tak bertepi. Tapi, aku ragu dengan segerombolan warga ini. Aku rasa dia benar-benar tidak akan menerima kata ampun dari warga ini. Biarlah. Bukan urusanku untuk peduli padanya. Aku bukan emaknya yang bisa dimintai makan setiap hari. Yang selalu siap siaga memandikan dan merawatnya. Aku hanyalah orang asing yang telah merugi banyak akibat ulahnya. Lihatlah sekarang, anak-anakku kelaparan. Istriku tak bisa beli perhiasan. Dan semua jerih payahku sia-sia.
Sore yang mencekam. Para warga mengaraknya dengan paksa. Mata mereka menyala-nyala. Seolah terbakar akan rasa benci. Dia hanya bisa tersungkur tak berdaya. Meringkuk bagai anak kecil jalanan. Darah segar mengalir di beberapa bagian tubuhnya. Tergores parang dan belati warga.
"Bakar! Bakar! Bakar!" teriak warga lantang. Sore berganti malam. Mereka menyalakan obor dan membuat barisan. Masih mengarak yang tidak berdaya.
"Tunggu! Jangan dibakar! Itu hanya akan menyiksanya saja. Kita tidak boleh menyiksa makhluk yang tidak bernyawa. Itu sudah ada dalam tuntunan" cegah seseorang yang berbaju merah. Dia berusaha menghentikan rombongan.
"Heh Dul, tahu apa kamu soal tuntunan? Mentang-mentang lulusan dari pesantren kamu mau melawan kita?" kepala desa menjawab dengan keras.
"Bukan itu maksudku. Tapi..." belum selesai ucapan Abdul, ki jebat menimpali.
"Terus maksudmu apa? Lagipula apa yanv kita lakukan ini adalah tindakan terpuji"
"Bagaimana bisa dibilang terpuji? Jika kita membakar hidup-hidup ciptaan-Nya. Itu sama saja kita menyiksanya. Membunuh secara perlahan itu dosa besar. Jika..."
"Sekarang coba pikir, bukankah dia juga membunuh kita secara perlahan? Merampas hak kita. Padahal susah payah kita berusaha untuk hidup mencari makan. Lantas kamu tidak memikirkan nasib kita? Nasib kampung kita? Kita kelaparan! Butuh makan. Dan membunuhnya adalah satu-satunya cara agar kita tetap hidup" kini giliranku yang ambil bagian. Sungguh pemuda ini perlu diberi penjelasan mengenai bertahan hidup.
"Ya benar, bakar! Bakar! Bakar! ..." warga lain menyetujui perkataanku. Tangan mereka teracung keatas dengan membawa golok dan parang.
"Maksudku begini bapak- bapak, saya tidak melarang bapak- bapak sekalian untuk membunuhnya. Dan saya tahu perasaan warga sekalian. Perbuatannya memang tidak bisa diampuni. Tapi, saya mohon sekali agar tidak membakarnya hidup-hidup. Jika kita ingin membunuhnya, bunuh secara langsung" yang tersungkur terbelalak. Kaget akan jawaban Abdul. Bagaimana bisa seseorang yang tadi membelanya, kini berubah ingin membunuhnya?
"Kalau begitu kita sembelih saja dia. Kita kuliti dia. Lalu kita bakar dia!" ki jebat menendang si pemeran utama. Dia yang tak bedaya meringis ketakutan. Badanya bergidik. Nyawanya semakin diujung tanduk.
Golok diasah hingga mengkilap. Para warga menyiapkan kayu bakar dan semua keperluan. Bukan acara perkemahan, tapi acara pengorbanan. Antara hidup dan mati. Dan tentang gelar kepahlawanan yang akan diterima. Bukan perang, tapi pembunuhan. Ketika api telah dinyalalakan. Dan golok siap diandalkan. Para warga bergerombol mengelilingi sang korban. Ada yang memegangi kaki yang telah terikat. Dan ada pula yang memegangi kepalanya. Abdul telah siap dengan goloknya. Membacakan doa, yang entahlah doa itu berguna untuknya atau tidak. Dan aku juga tidak tahu doa itu bisa melindungi kita dari dosa atau tidak. Bahkan aku juga tidak tahu tindakan ini dosa atau tidak. Satu hal yang pasti yang aku tahu , bahwa hidup sang korban hanya tinggal menunggu hitungan detik saja. Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Aku harus melihatnya dengan jeli. Walau sebenarnya tak tega rasanya. Golok itu menempel dilehernya. Dengan sekejap, darah mengalir dengan derasnya. Usai sudah perjalanan hidupnya. Hidup yang selalu merugikan kami semua.
Sekitar dua bulan yang lalu dia datang ke kampung kami. Tak ada yang tahu akan kedatangannya. Hidupnya selalu menyendiri. Bersembunyi dari warga. Dan ketika kami lengah. Dia mengambil semua milik kita. Awalnya kami biarkan karena tak seberapa. Tapi, ketika ternak kami mulai hilang lebih banyak dari biasanya. Kami mulai curiga. Ketika harga pangan naik. Kami semakin tersiksa. Istri mulai mengeluh kehabisan beras. Dan anak- anak menangis minta makan.
Akhirnya kami bertindak. Berminggu - minggu kami mengawasi, membuntuti, dan menyelidiki. Dia selalu lolos saat kami memergokinya. Gesit sekali dia menghindar. Tapi kini, perjuangan kami menahan lapar dan bersabar untuk menangkapnya lunas sudah. Selesai prosesi penyembelihan, kami melanjutkannya dengan menguliti dan membakarnya. Selanjutnya kalian pasti tahu sendiri apa yang terjadi, bukan?
Kami memakan dia. Sungguh malang nasibnya.
"Heem... Nikmat sekali daging biawak ini. Benarkan kang Awan? Sungguh lezat" Abdul menyikut lenganku. Aku hanya mengangguk setuju. Ketika kayu bakar kami mulai habis terbakar dan hanya menyisakan arang yang masih menyala. Kami bersiap untuk pulang dan beristirahat.
![](https://img.wattpad.com/cover/92896811-288-k577604.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Manusia
Short Storydesingan misterius apa itu? memekakkan. monster apa itu? dia punya tiga jantung yang berdetak. jeritan aneh apa itu? membuat bulu kuduk berdiri. tidakkah kau sadar sobat, betapa misteriusnya hidup ini. kau bisa menyelaminya sekarang juga. disini. di...