Payung Hitam #part 2

4 0 0
                                    

"Sudahlah akang, aku tak percaya lagi sama akang!" bentakku dengan muka merah padam.
"Camani, dengarkan penjelasan akang dulu" tangan kanannya masih memegang setir. Sedangkan tangan kirinya memegangi tanganku.
"Hentikan perdebatan ini. Akang tega berselingkuh" akunya sedikit was-was dengan mobil yang sedang dibawanya. Mobil hitam yang tidak terlalu mahal ini melaju dengan kecepatan sedang. Bukan, bukan milik akang Topan. Tapi, mobil sewaan untuk kencan kami. Kencan? ... Mungkin lebih tepatnya bisa disebut dengan pertengkaran.
"Cemani, dengarkan akang dulu. Akang mencintai Cemani. Sangat mencintai. Mana mungkin akang selingkuh"
"Akang bohong. Buktinya tadi, akang duduk berduaan dengan Titis. Anak tukang ledeng dari kampung sebelah" aku naik pitam.
"Cemani..."
"Sudahlah, kita putus. Putus! Putus! Putus!" itu adalah kata terakhir untuk kekasihku, sebelum bus dengan kecepatan tinggi menabrak mobil kami.
Hilang sudah semua angan bersanding dengannya. Darah dimana-mana. Aku mati rasa, Begitu pula dengan jiwaku. Sejak saat itu mendung telah tiba. Luka dan kesedihan hinggap tak terkira. Kenapa putus yang terujar? Aku ingin bersamannya. Tapi, takdir memisahkan kita. Maut yang singgah mengambil semua nafas kehidupanku. Hanya kabut kelam yang mewarnai. Mulut mungilku melantunkan puisi sendu.

Kekasihku, genderang luka telah bertabuh
Bertalu-talu membuat hati pilu
Lengkingannya memekakkan setiap sudut telingaku
Aku rindu akan hadirmu
Tapi apa daya,
Ketika mendung telah menjemput
Petir telah menyambar
Dan guntur telah berujar
Raga ini tidak akan pernah bisa lagi denganmu
Senyum ini tak akan tampak lagi padamu
Namun, aku tahu kita akan bertemu di alam yang sendu
Dimana senyum akan abadi
Dan tetes-tetes luka akan sirna
Aku akan menunggu waktu istimewa itu
Ketika aku bisa merasakan kembali hangatnya nafasmu dan kekarnya rangkulanmu

Malam semakin larut. Hujan telah berhenti. Menyisakan butiran-butiran air lembut diatas nisan. Aku masih berdiri disamping nisan itu. Nisan yang belum genap sehari di tancapkan. Bahkan tanahnya masih merah merekah. Tubuhku kaku dan dingin. Seluruh sarafku mengeras dibalut malam. Mataku muram menatap nisan. Nisan yang bertuliskan 'Cemani binti Rohim'. Namaku yang indah itu akhirnya menemukan tempat untuk bertandang selamanya. Diatas nisan.

"Sudah saatnya kita pergi, nak" suara serak si Renta menyadarkanku.
"Baiklah aku akan pergi bersamamu. Sebagai tanda terimakasihku karena kau bersedia memberi payung hitam padaku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang