Selalu Ada

14 1 2
                                    

Yang tertunduk hanya bisu. Hanya sesekali bergoyang berirama. Masih sipu wajahnya terbias embun dan seolah gemetar. Dia pasrah. Tulus. Ikhlas. Tak ada keluh dihatinya. Tak ada amarah yang bertandang. Pasrah. Hanya itu saja. Hari-harinya diisi dengan dzikir dan doa. Kerelaannya membuat kokoh batangnya. Menebalkan setiap saraf-saraf di akarnya. Gulma tetap menghimpitnya. Tapi, dia tetap rela dalam hati. Dan sebut saja namanya "padi".
Dipagi yang cerah itu sawah kembali liar. Beriak bagai hujan yang binal. Sebinal rimba di hutan. Belalang menyapa yang tertunduk. Ucapannya yang manis berhasil menyusup di hati yang tertunduk. Hingga dia menyambut dengan raut senyum yang mengembang. Lalu sang belalang bertanya.
"Wahai engkau yang tertunduk, aku adalah seorang pengelana. Aku lapar sekali. Jika engkau berkenan bolehkah aku sedikit saja meminta makanan darimu? Agar hilang rasa laparku. Sungguh aku tidak akan berniat jahat padamu"
"Kalau memang begitu. Baiklah aku tulus memberikan beberapa bulir padamu. Tapi jangan terlalu banyak"
"Tentu tidak, kawanku. Lihatlah betapa kecilnya perutku ini! Dua gigitan saja sudah membuatku kenyang"
Dengan rasa iba dan ketulusan, padi rela dikoyak tubuh kurusnya. Marah? Tidak. Dia tak punya rasa marah dalam dirinya. Tapi, belalang kalap. Dia mempermainkan ketulusan yang tertunduk. Dikala padi semakin tak berdaya, dia meluncurkan aksinya. Dengan brutalnya mulut itu mengoyak dan merobek tubuh tak berdaya. Awalnya hanya satu, tapi lama-lama jadi seribu. Makhluk kecil yang mengaku sebagai "pengelana" itu tumbuh menjadi seorang penjahat. Malang, yang tertunduk semakin tak berdaya. Tapi tetap berserah pada-Nya. Berharap semua penderitaan ini digantikan dengan yang lebih berharga.
Dan disaat itulah, sosok asing muncul dari udara. Sayapnya yang legam membentuk siluet cantik di angkasa. Meliuk-liuk diantara bisikan angin dunia. Satu per satu belalang lari terbirit-birit. Berusaha menyelamatkan hidupnya. Belalang panik tidak terkira. Burung riang menyantap sarapannya. Padi bersujud syukur diatas sajadah dunia. Mengira bantuan telah tiba. Tapi, gulma disana. Tetap diam dalam aksinya. Tetap menghimpit yang terlena, mencuri setiap serat nutrisinya. Dan yang tersujud telah diperdaya.
Kini belalang sudah habis dimakan. Burung liar masih kelaparan. Dan perut besar itu makin lapar dan tak tertahankan. Hingga...
Burung kehilangan akal dan berbalik menyerang. Padi terkejut akan serangan. Bulir-bulir padi yang semakin menguning dan terisi penuh itu harus direlakan. Panik? Ya, panik menyergapnya. Ingin sekali lari. Ingin sekali pergi. Tapi sayang dia tidak bisa menghindar. Dia tak bisa lari dari kenyataan. Gulma menghimpit dan menjepit sampai ke akar. Membuat padi semakin tersiksa. Burung semakin liar dan brutal. Petani pun sadar akan apa yang telah terjadi. Dan dia pun berjuang mati-matian mengusir burung-burung itu.
Porak poranda!
Sawah yang tenang itu jadi porak poranda!
Keliarannya telah pada puncaknya. Lalu dengan tenangnya penyusup datang dalam diam. Belalang turut meramaikan kembali pesta yang digelar. Ternyata selama ini mereka bersembunyi dalam menungnya gulma. Dan sekaranglah saatnya. Ketika sang predator alaminya bertarung habis-habisan dengan sang petani. Dia melaksanakan strategi busuknya. Padi bergoyang lirih terhempas derita. Tak disangka sang penghianat datang kembali dalam hidupnya mengacaukan dan mengoyaknya. Semakin liar. Perang itu semakin karut-marut. Tak tahu siapa yang akan jadi pemenang. Petani mulai kerepotan. Padi semakin bingung dibuatnya. Tak tahu mana kawan dan mana yang lawan. Semua sama. Menghancurkan tenang. Keriuhan itu memekakkan telinga. Dan
Ssstt... Coba dengar kawan!
Coba tajamkan inderamu dan coba rasakan yang samar itu.
Seseorang tersungging kecut disana. Menyaksikan siaran langsung dengan camilannya. Dia tampak bahagia. Tawanya memenuhi ruang persembunyian. Dia terkekeh riang memegangi perut buncitnya. Bulunya yang lebat membentuk siluet seperti dasi. Tikus berdasi nan licik itu gembira sekali akan perang yang sedang berlangsung.
"Bukankah asik sekali disana, sayangku? Pesta yang sangat meriah, bukan?"
"Kenapa kita tidak bergabung juga?"
"Turun langsung ke medan perang? Tidak, sayangku. Kita akan mati terinjak oleh petani yang tubuhnya lebih besar itu. Lagipula kita terlalu cerdas dan berkelas untuk melakukan hal yang tidak berguna seperti itu. Biarkan kroco-kroco itu yang bekerja"
"Lalu kapan kita beraksi? Padi yang semakin gemuk terisi tampak lezat sekali"
"Jaga liurmu agar tidak menetes, sayang. Kita akan mendapatkannya sebentar lagi. Kita hanya perlu waktu yang tepat"
"Menunggu itu membosankan"
"Sabar sayangku. Kita lakukan secara berkelas"
Peperangan itu telah berakhir dengan petani sebagai juaranya. Para burung telah pergi meninggalkan sawah rusak itu. Dan ratusan belalang telah mati. Terbasmi dan habis. Senja menyapa. Petani terkuras tenaganya. Hening. Petani pulang dengan lelahnya. Tak banyak bulir padi yang tersisa. Tapi itu cukup untuk menyalakan tungku dapur rumah tangga. Dan padi masih tertunduk berdoa. Betsyukur "penjaga" nya bisa memenangkan peperangan. Dan dengan ketulusan juga kepasrahan mereka beristirahat dikala malam menguasai jagad raya.
Dan disaat itulah para tikus 'berdasi' melancarkan aksinya. Mencuri beberapa bulir padi yang tersisa. Beringas, tak nampak lagi berkelas. Padi yang resah hanya bisa pasrah. Derita tak juga reda. Tapi, padi terus berdoa dalam tunduknya.
Para tikus merusak, meradang, dan menerjang. Sudah bisa dipastikan dia akan kenyang. Tapi, mereka lalai akan satu hal. Yaitu mereka terlalu senang hingga tidak waspada. Dari balik kelamnya malam. Dua mata merah mengintai si tikus binal. Lidahnya yang bercabang menjulur ke depan. Desahannya membuat kumbang pergi dari tandangan. Dia meliuk-liuk diantara rerumputan. Dan hanya dalam hitungan detik saja, si tikus tercekik lehernya. Dia teriak tapi tak terdengar suaranya. Dia menggigit tapi tak daya mulutnya. Dia berontak tapi kaku yang terasa.
Hanya rengek yang menggema. Ular kenyang dibuatnya. Sekali lagi, padi sujud syukur dalam tunduknya. Keikhlasan dan doa menyelamatkan dirinya.
Hidup ini bagaikan rimba.
Detaknya menggetarkan sendi-sendi semesta. Kau hanya perlu menyelaminya. Dan rasakan bahwa pertolongan itu selalu ada. Selalu ada.

Bukan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang