Kelanjutan cerita, aku dan dia berawal dari dia yang memberikan senyum itu untukku. Sebuah senyuman manis yang entah apa artinya. Senyuman yang sejak lama aku impikan tertuju untuk diriku.
Pagi ini, rintik hujan menemani perjalananku menuju sekolah. Jaket hoodie berwarna biru putih melekat pada tubuhku. Mengurangi hawa dingin yang menerpa.
Rambut hitam panjang dan lebat milikku aku kucir kuda. Agar saat pembelajaran nanti, tidak sedikitpun menggangguku. Mau itu memperhatikan guru di depan kelas, ataupun saat aku melirik ke arah dia. Dia yang duduk berselisih dua bangku dengan tempat aku duduk.
Sikap dingin yang dia tunjukkan seolah membuat hati ini memantapkan pilihannya. Dia baik, dia pintar, dia punya segalanya. Dia punya cara agar membuatku tersenyum di kala aku merasa tidak nyaman dengan keadaan sekitar, tanpa perlu ada di dekatku.
Dia hanya sebatas tahu siapa aku. Hanya sebatas teman sekelasnya. Yang tidak cukup pintar bila dibandingkan dengan dia.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, aku keluar dari mobil. Berlari memasuki gedung sekolah.
Bruk.
Baru saja berhenti dan mengatur nafas, punggungku tertabrak seseorang dari belakang. Aku hampir saja jatuh, bila saja orang yang menabrakku tidak membantu.
"Lo nggak pa-pa kan?" tanyanya.
Aku kenal jelas siapa pemiliknya. Aku berbalik arah agar bisa melihat dan meyakinkan bahwa orang yang menabrakku itu adalah dia.
Yap!
Dan ternyata benar. Itu adalah dia. Dia yang sejak awal aku ceritakan.
Aku menggeleng seraya menjawab, "Gue nggak pa-pa."
Dia lantas mengangguk, "Kalau gitu gue duluan, Ra." ujarnya. Aku hanya membalas dengan anggukan. Lalu aku mengikuti langkahnya. Menuju kelas yang berada di lantai 2.
Dia menaiki tangga, aku pun sama. Dia berjalan dengan santai, aku juga. Namun, baru saja menginjak anak tangga ke-12, kepalaku terasa sakit. Aku berhenti sejenak dengan tangan kanan yang memegang kepala juga tangan kiri yang berpegangan pada sisi tangga.
Sebelum benar-benar ambruk, aku merasa ada yang berlari kearahku sambil berteriak memanggil namaku.
***
"Ra, lo udah sadar?"
Aku mengerjakan mataku beberapa kali. Suara itu, kok?
"Gue--d-dimana, Ca?"
"UKS Ra, Iqbaal yang bawa lo ke sini," jawab Caca--sahabat sebangku diriku di kelas. Iqbaal yang membawaku ke sini? Tapi, kemana lagi dia?
"Tapi selanjutnya dia manggil gue, dia mau ke kelas Zidny dulu katanya." sambung Caca.
Hmm..
Sudah kuduga.
Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Beri aku kesempatan untuk bisa jalan berdua dengan dia sebelum hari itu tiba."Ra? Raina? Kenapa jadi ngelamun? Lo ngelamunin apa?"
Aku menggeleng lalu tersenyum dengan bibir pucatku ke arah Caca, "Lo nggak ke kelas, Ca? Bentar lagi bel, kan?" tanyaku.
"Gue mau bareng lo, di sini." jawab Caca.
"Gue mau ke kelas juga kok, ayo!" ajakku. Caca hanya berdiam di tempatnya setelah aku menggenggam tangannya.
"Lo itu lagi sakit, Ra. Mending balik lagi tiduran, ya?" bujuk Caca. Aku menggeleng, "Ini gak seberapa, Ca. Mending ke kelas, yuk? Nambah ilmu," ujarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shoot
FanficUntuk yang rindu Iqbaal Dhiafakhri :) Setidaknya mengurangi rasa rindu. #585 in Short Story at January, 12th 2017. #880 in CJR at June, 13th 2019. #551 in iqbaaldhiafakhri at January, 26 th 2020.