Matcha and Bookstore

19.5K 927 37
                                    

Satu.

Aku menangis bahagia saat benda putih kecil itu menunjukkan dua garis yang berarti aku positif hamil. Bahagiaku tak terbendung kala membayangkan di rumah ini akan ada malaikat penyelamat di saat rumah tanggaku berada di ujung tanduk.
Hai, namaku Viany Mariska. Di usiaku yang masih 19 tahun ini, aku telah berumah tangga, lebih tepatnya dinikahkan.
Kakakku memergoki aku keluar dari salah satu kamar hotel bersama suamiku sekarang, Damian. Kuakui aku sering melakukan hubungan terlarang dengannya. Dan saat kakakku mendesak kami, kami mengakuinya. Aku yang yatim piatu ini akhirnya menikah, sesaat sebelum kakakku pindah ke luar negri
Setiap hari tidak ada waktu untuk tidak bertengkar, sampai ia mengajakku bercerai dua kali. Tentu saja aku tidak pernah menyetujuinya. Aku mencintainya, hanya saja di usiaku yang masih belia membuatku belum cukup pintar untuk mengendalikan emosiku sendiri.
Perbedaan usia yang cukup jauh menjadi pokok inti dari awal masalah, ketika aku masih bersifat kekanakan dan tidak siap, sedangkan dirinya tidak suka jika disibukkan olehku yang selalu egois dan egois.
Bulan kemarin, aku melihatnya berpelukan dengan sekretarisnya, Karin. Ini membuat aku dan dia bertengkar hebat, saat ia bilang jika ia mulai menyukai Karin, dan bilang tidak betah bersamaku yang masih kecil ini. Aku mengerti ini salahku, dan sekarang aku sudah berusaha untuk berubah. Aku memaksanya untuk memindahkan wanita itu ke divisi lain, dan aku melarang keras mereka untuk bertemu lagi. Aku yakin sekarang ia tak akan meninggalkanku atau ada pertengkaran hebat lagi. Karena anak ini akan menyelamatkan rumah tangga kami.

.
.
.
.
.

"Malam mas, gimana hari ini kerjanya?" sambut Viany ramah.
"Capek... Oh ya Vi, aku mau ngomong."
Ujar Damian serius.
"Iya mas Viany juga mau ngomong, sini deh kita duduk dulu." Viany berbalik, tetapi Damian sepertinya tidak bisa menunggu.
"Vi, aku mau cerai."
Langkah kakinya terhenti. Viany terhenyak. Ini sudah ketiga kalinya Damian mengajaknya untuk bercerai.
"Mas.... Viany sudah berubah gak egois lagi.. Dan Viany juga gak kayak anak-anak lagi mas..."
"Vi.. Aku udah gak tahan sama kamu. Kita gak pernah cocok dari awal. Hanya karna aku yang ngambil perawanmu, kamu gak sadar sebenernya kita gak cocok dan gak bisa sama-sama lagi..."
Ekspresi Damian sangat serius, sekaligus menyesal. Guratan lelah itu, menandakan ia benar benar ingin lepas dari Viany.
"Mas.... Viany udah berubah mas, percaya... Viany bakal nyenengin mas dan ga akan cari gara-gara lagi.... Viany janji..." airmata wanita hamil itu mulai menetes dan mengalir, ini kali pertama Damian mengajak bercerai dengan serius tanpa terbawa emosi.
"Maaf ya, aku ga bisa... Aku ga cocok sama kamu... Daripada dipaksain nantinya lebih lama... Aku lebih nyaman sama Karin..."
Ketika nama Karin terdengar, Viany merasa jika dunianya telah berakhir. Ia diam tanpa suara, menyadari jika ia juga tak bisa mempertahankan keadaan rumah tangga yang seperti ini. Damian memang tidak pernah mencintainya, semua hanya berdasar oleh nafsu.
"Urus surat cerainya, aku bakal tanda tanganin..."
.
.
.
.
.

Aku menangis tanpa suara. Niatku memberi tahu kehamilanku, sirna sudah. Tanganku bergetar saat melipat bajuku yang akhirnya kumasukkan pada tas besar milikku.
Malam ini juga, aku pergi. Rumah ini, milik Damian. Sudah tidak ada hak untuk tinggal disini. Toh cepat atau lambat aku akan berpisah dengannya secara resmi.
Lantas, bagaimanakah nasib anak di kandunganku?
Air mataku mengalir makin deras saat mengingatnya. Aku mulai berpikir untuk menggugurkannya, dan memulai hidup yang baru. Tapi... Apakah itu tindakan yang pantas? Saat kuhitung hari terakhir menstruasiku sudah 3 bulan yang lalu.
Selesai mengepak barang-barangku, segera kutelfon taksi. Hari ini, aku akan menginap di hotel. Memikirkan sendiri jalan keluar untuk kelanjutan nasib janin ini.
"Nanti kukabarin alamatku yang baru, biar kamu kirim surat cerainya disana." Serak suaraku menghentikan ia dari lamunannya.
"Kamu yakin ga mau tinggal disini untuk sebentar lagi? Seenggaknya sampai kamu dapet hunian baru..." is nampak bingung dengan cepatnya keputusanku meninggalkan rumah hari ini juga. Ia tahu, aku tidak punya tempat untuk pulang ataupun pergi. Saudaraku satu-satunya tidak tinggal di Indonesia. Mungkin aku akan memberi tahu sahabatku soal ini, nanti.
"Makasih dan maaf untuk semuanya.. Semoga bahagia." tidak menghiraukan pertanyaannya, aku memasukkan tas-tasku dalam taksi yang baru saja datang dan membukakan pintu.
Aku tidak sanggup melihat wajahnya lagi. Bayanganku akan dirinya tidak akan pernah terhapus.
.
.
.
.
.

"Vi, lo yakin mau ngebesarin anak sendirian?" tanya Mia dengan raut wajah heran dan khawatir.
Mia yang merupakan sahabat Viany sedang menemani Viany memakan nasi goreng di apartemen baru Viany.
"Yakin Mi... Usia kandungan gue sekarang udah masuk 4 bulan. Udah bahaya juga kalo mau ngegugurin tau." jawab Viany.
"Tapi, ngebesarin anak sendirian dari lahir itu ga gampang. Okelah gue bakal berusaha selalu ada buat lo, tapi lo kan juga butuh pendamping." jelas Mia panjang lebar. Ia heran dengan kelakuan sahabat sedari sekolah menengah pertamanya itu.
"Yah emang susah, tapi gue bisa apa lagi. Lagian enak kan kalo udah ada anak, gue ga sendiri lagi. Kerjaan gue sebagai desainer juga ga ninggal-ninggal anak gue nanti kok, gue kan bisa ngedesain dimana aja gitu."
"Vi, kasih tau Damian lah.. Gitu-gitu itu kan juga anaknya."
Ekspresi Viany mulai mengeras.
"Ga, ga akan. Untungnya apa emang? Gue ga mau dia tau. Stop bahas ini buat yang ke seribu kali oke."
"Emang ga bisa rujuk gitu ya? Kalo lo dateng sidang kondisi hamil gini emang boleh?"
"Ya gue ga tau... Tapi gue kan emang ga akan dateng sidangnya. Ga mau tau sidangnya berapa lama sampe cerai, tapi gue ga mau dia tau kalo gue lagi hamil."
"Terus buat biaya ngebesarin anak lo gimana? Biaya buat ngelahirin sampe nyekolahin?"
"Ya gue abis gini bakal cari kerja. Toh gue ada tabungan. Gue nyari kerja yang ga makan tenaga. Apartemen gue ini juga lebih mirip rumah susun kok dan ga mahal juga."
Viany menaruh piring kosongnya, sementara Mia menghela nafas panjang.
"Ya udah deh... Gue bakal bantu lo pas lo butuh. Inget kalo lo butuh apa tinggal ngomong aja. Gue bakal usaha semampu gue."
"Thanks Mi. Lo emang peduli banget sama gue. Tapi lo jangan kerepotan gitu ah. Toh gue masih bisa sendiri."
"Oke.. Ya udah gue balik dulu ya Vi. Uda malem."
"Oke Mi, thanks ya mau main ke tempat gue dan perhatian gini.."
"Ga masalah, lebay deh lo Vi."
.
.
.
.
.

Aku telah tinggal di apartemen ini. Apartemen ini berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Gajiku sebagai desainer membuatku memiliki tabungan yang jumlahnya lumayan besar, meksipun akan habis jika aku tidak mencari kerjaan lain.
Dan inilah keputusanku, yaitu membesarkan janin yang tumbuh di perutku, sendirian. Aku tidak ingin Damian tahu, aku akan menanggung semua sendiri.
"Nak.. Temani mama ya.. Semoga kamu selalu jadi semangat mama untuk hidup.."
.
.
.
.
.

TBC

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang