Dua

13.5K 866 35
                                    

Menginjak bulan keenam kehamilanku, aku mulai sering merasakan apa itu yang dinamakan ngidam.
Hal yang tak pernah kurasakan bulan-bulan sebelumnya. Aku mengalami morning sickness, tetapi nafsu makanku tidak juga bertambah. Obat dan vitamin dari dokter kandungan sudah kuminum sesuai anjuran, tetapi tetap saja, ukuran janin di dalam kandunganku tidak berubah banyak.
Aku memang khawatir, tapi ketika menjalani USG, aku bersyukur janin perempuanku tetap mendapat gizi yang cukup meski ukuran tubuhnya kecil. Sampai aku mengenal Matcha. Aku sangat menyukainya, bahkan dalam sehari aku bisa menghabiskan bergelas-gelas Matcha. Ini semua berawal dari keisenganku membeli satu bungkus bubuk minuman Matcha di supermarket.

"Ya ampun Vi.. Biasa aja kali kalo minum Matcha. Suka amat lo." Mia mengernyitkan dahinya saat aku meminum ini, lagi dan lagi.

"Ga tau juga nih. Gue suka banget... Padahal gue gapernah sekalipun suka sama ini sebelumnya. Aneh aja gitu ya ternyata."

"Itu sih katanya bawaan bayi Vi. Malah tante gue ada yang ngidam nanas. Padahal kan nanas ga baik buat janin."

"Ya kan beda Mi, tiap orang hamil."

Aku mendudukkan diriku dengan lembut di tempat tidurku setelah sebelumnya mencuci gelas kosong bekas Matcha ku. Kupegang perutku yang hanya membuncit sedikit, bahkan tidak terlalu terlihat jika aku mengenakan kaos oversize seperti sekarang ini.
Mia ikut duduk disebelahku, memandangi perutku juga.

"Perut lo kecil banget yah Vi untuk ukuran hamil enam bulan... Lo yakin udah makan yang cukup? Gizi terpenuhi? Lo bulan ini udah ke dokter belum?" Mia memberondongku dengan ekspresi wajahnya yang khawatir. Aku tersenyum pilu.

"Gue udah makan banyak Mia. Lo ga usah khawatir. Dokter emang bilang kandungan gue ini lemah, janin gue kecil... Makanya gue ga boleh kecapekan. Susu hamil juga ga pernah telat gue."

"Udah dikasih vitamin? Diminum kan vitaminnya?"

"Pasti dong, udah abis malah. Dua minggu lagi sih jadwal gue ke klinik..."

"Yaudah, gue anterin ya. Oh ya Vi, by the way... Gimana persidangan lo?"
Mia bertanya hati-hati. Dia memang jarang mengunjungiku karena kesibukannya bekerja, dan juga karena jarak yang tidak dekat dari tempat tinggalnya. Tetapi hari ini, dia menginap di apartemenku.

"Gue ga tau juga. Kan gue ngilang tuh dari Damian.. Semua sosial media gue, gue nonaktifin. Nomer juga ganti. Ya semoga diselesaiin cepet lah sama dia, gue ga mau ngurusin itu." Jawabku lirih.

"Vi gue mau mandi dulu ya. Abis gitu kita keluar cari makan sama beli susu hamil lo yang abis."

Aku mengiyakan perkataan Mia. Lalu mulai bercermin di meja rias. Akhir-akhir ini memang aku sering bekerja double shift di supermarket. Membuat tenagaku terkuras lebih dari seharusnya.
Tetapi apa boleh buat? Aku membutuhkan uang untuk biaya persalinan, dan juga memenuhi kebutuhanku dan calon anakku nanti. Tidak mungkin aku bisa bekerja ketika dia masih beberapa bulan... Untung saja aku juga sering menerima order desain. Jadi kupastikan tabunganku akan cukup untuk kebutuhan ke depan.
Aku juga mantap untuk tidak memberitahu kakakku tentang kehamilanku sekarang. Bisa-bisa kakak marah dan menuntut Damian untuk tidak menceraikanku, lalu keadaan akan menjadi semakin rumit. Aku akan memberitahunya saat anakku sudah lahir ke dunia.
.
.
.
.
.

"Vi, beli baju ini deh. Lucu banget sumpah warnanya pink gitu cocok buat anak lo pasti." Mia memperlihatkanku baju bayi kecil di tangannya. Saat ini aku dan Mia sedang berbelanja di pusat perbelanjaan.

"Ih belum boleh, tau. Katanya pamali kalo beli beli perlengkapan sebelum tujuh bulan. Nanti malah kenapa-napa lagi anak gue." Balasku sambil memasukkan peralatan mandi dalam troli.

"By the way anak lo pasti cantik banget nanti. Gue ga sabar buat liat keponakan gue ini hihi."

Aku membalasnya dengan senyuman, lalu berjalan ke arah rak berisi susu ibu hamil. Dan ketika aku akan memasukkan sekotak susu dalam troliku...

"Viany?"

Kutolehkan kepalaku, dan kulihat dia.
Damian.
Ia melihat kearahku, perutku, dan susu hamil di genggamanku. Matanya membulat tak percaya.
Jantungku, berdegup kencang tak beraturan. Perutku menegang, tubuhku mendingin seketika.

Tuhan, tolong hapuskan drama dalam hidupku. Aku hanya ingin hidup berdua dengan calon anak yang tumbuh dalam rahimku.

.
.
.
.
.

"Oh halo. Ngapain disini?" Tanyaku dengan senyum canggung. Sudah jelas dia disini untuk berbelanja. Tapi maksudku, di pusat perbelanjaan kecil di pinggir kota? Untuk apa? Oke. Sungguh pertanyaan basa basi yang aneh.

"Kamu... Hamil? Sejak kapan?" Tanya Damian pucat. Entah kenapa dia pucat. Gurat keterkejutan masih setia menghiasi eskpresinya.

"Oh.. Iya. Ngomong-ngomong, keputusan cerai kita udah fix kan? Aku udah kirim balik surat cerai yang udah aku tanda tanganin ke alamat kamu dari lama." Sungguh, kalimat itu terlontar begitu saja. Aku hanya ingin tidak berurusan lagi dengan lelaki di depanku ini.

"Kamu hamil? Berapa bulan?" Tanyanya lagi. Otakku berputar memikirkan jawaban. Hatiku sakit, rasanya seperti tercubit sesuatu tak kasat mata.

"Baru 3 bulan ini... Tenang ini bukan anak kamu kok." Dustaku. Inilah yang terbaik. Aku benar-benar tidak ingin menambah masalah.

"Oh..." Gurat tegang ekspresinya mulai melemas, tetapi matanya tidak berhenti memandangi perutku.

"Yaudah ya, aku duluan." Ucapku seraya mendorong troli dan menjauh darinya. Tersenyum kecut, menyesali mengapa Tuhan begitu senang mempermainkan jalan hidupku.

.
.
.
.
.

"Terus terus, lo bilang kandungan lo baru tiga bulan?" Tanya Mia antusias sembari menyetir pulang.

"Ya iya.. Mana mungkin gue jawab enam bulan, makin panjang itu urusan..."

"Ya tapi perut lo emang sih kecil untuk ukuran enam bulan, tapi ga tiga bulan juga kali Vi."

"Ya itu kan yang paling masuk akal, gue kan tiga bulan pisah... Kalo gue bilang empat bulan, dia bakal tau dong ini anak dia."

"Lo tuh aneh banget sih. Banyak banget perempuan diluar sana yang nangis parah minta anaknya ada bapaknya. Lo malah ngehindar.. Ga ngerti gue."

"Mi. Sekarang emang kalo misal gue bilang, lalu gue ga jadi cerai. Gue cuma maksa Damian bertahan buat anak ini. Which is, ga menjamin Damian bakal bahagia ngejalanin hidup sama gue. Belum tentu dia ninggal si Karin juga. Dan belum tentu suatu saat, dia ga ninggal gue sama anak gue nantinya. Gue cuma ga mau, sakit yang gue rasain semakin dalam. Lebih baik anak gue ga kenal bapaknya seumur hidup, daripada kenal, tapi ntar di sia-sia in, lalu ditinggal pergi. Gimana nantinya anak gue ga lebih kesiksa lagi? Gue lebih egois lagi kalo mikir cuma buat sekarang doang." Jelasku panjang lebar.

"Ya, emang lo bener sih..." Akhirnya aku berhasil membuat Mia bungkam.

Ada sebersit perasaan kecewa ketika dia percaya bahwa anak yang kukandung adalah anak dari pria lain. Padahal aku bukan wanita yang gampang menghabiskan malam dengan seorang pria. Tetapi, apapun akan kulakukan asal aku bisa hidup tanpa perasaan sakit, nantinya.
.
.
.
.
.

Voment:)

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang