Tujuh

14.7K 908 117
                                        

Sakit yang kurasakan begitu mematikan. Perutku mulas dan kram tak tertahankan. Aku berusaha untuk tetap sadar dan kuat, aku tidak memperdulikan siapa lelaki di sampingku; yang sedang menyeka keringat di dahiku, menggenggam tanganku erat. Mia mengemudi ugal-ugalan, tak hanya membunyikan klakson berkali-kali sembari mengumpat kasar, tetapi aku dapat melihat air mata mengalir dan membuatnya sedikit sesenggukan.

"Sabar ya Vi, ini udah sampai kok, lo tenang aja, tetep kuat Vi.." Mia memarkirkan mobil tepat di depan lobby, tak lama aku dibaringkan diatas ranjang dan dibawa ke ruang bersalin.
Nafasku tersengal, bahkan untuk mengaduh dan mengeluh ataupun menjerit aku tak kuat. Rasa sakit merajai dan mendera perutku, ya Tuhan sakit sekali..

"Sudah bukaan kesembilan. Proses persalinan akan dilakukan sekarang." Ucap dokter.

Pikiranku melayang, kilasan kehidupan mulai dari yang manis hingga yang pahit berputar dalam otakku. Hatiku tak karuan, kenyataan seakan menamparku. Pikiranku berputar tak henti dan memikirkan nasib anakku. Anakku, akan lahir tanpa kasih sayang seorang Nenek, Kakek, ataupun Ayah.

Anakku akan sama seperti aku, tak merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku Ibu yang tak berguna. Masih pantaskah aku disebut Ibu?
Bagaimana jika anakku akan seperti aku? Ia akan diejek. Dipanggil anak haram. Dan ia akan malu seumur hidupnya memiliki Ibu seperti aku, yang bahkan tak becus untuk mempertahankan kesehatannya sendiri saat mengandung.
Tangisku mengencang. Berbagai perasaan, dari takut, tersiksa, khawatir, semuanya bercampur menjadi satu.

Aku mengantuk, dan merasa sangat kelelahan. Perutku sakit, sangat sakit seakan tulang di tubuhku dipatahkan dengan sangat, sangat, sangat pelan.
Tubuhku basah dipenuhi keringat, air mataku tidak berhenti mengalir. Ini adalah rasa sakit yang paling parah, aku tidak kuat lagi menahannya.

"Ibu, ini sudah bukaan ke sepuluh, ibu mengejan ya sekarang." Aku menuruti instruksi dokter, tetapi rasa sakit yang kurasakan malah berkali-kali lipat lebih mematikan.

"Dokter... Apapun.. yang.. ter-ahh... Jadi... Tolong.. se-selamatkan saja.. anak.. sa-saya.." ucapku lirih.

"Baik Bu."

"AAAHHHHHHHH!!!!!!!!!" Teriakanku menggema. Aku mengejan sekuat tenaga, tetapi anakku tidak kunjung keluar.

Berkali-kali dokter memberiku arahan, tetapi nihil. Tubuhku seakan remuk.

"Suster, suruh suaminya masuk."

Aku tidak peduli saat dokter menyuruh Damian masuk, dan berada di sisiku. Ia menggenggam tanganku dan mengelus keringat yang bermuara di keningku.

"Vi.. Ayo.. Kamu harus bisa.." Damian menitikkan airmata, dan mengenai pipiku.

"Ayo Bu, coba mengejan lagi. Sudah hampir keluar kepalanya, sudah kelihatan." Dokter seakan meringankan rasa sakitku.

Anakku.
Anakku, sebentar lagi akan lahir ke dunia. Aku harus kuat..

Aku mengejan sekuat tenaga, saat kulihat wajah Damian, ia ikut menangis. Ia menemani proses persalinanku. Kehadiran anaknya.

Takdir. Apa lagi setelah ini?

Mataku mulai menggelap. Kesadaranku menipis. Rasa sakit kembali mendera tubuhku, aku merasa diambang hidup dan mati. Seakan aku dipaksa pasrah. Dan memang aku selalu pasrah.
Kukumpulkan kekuatanku, dan kuatur nafasku sesuai instruksi. Ini kemampuan terakhirku. Batasku.

Aku pasrah.

Dengan sisa kekuatan yang aku miliki, aku mengejan sekuat tenaga.
Dan sebelum aku kehilangan kesasaran, aku mendengar suara tangisan seorang bayi.

Anakku.

.
.
.
.
.

Bayi dalam dekapanku ini, sedang menyusu dengan lahap. Airmataku tak hentinya mengalir, aku tak percaya bayi mungil ini adalah darah dagingku.
Hampir saja aku mati kehabisan darah dan energi saat persalinan. Aku nyaris koma. Untung saja aku bisa tetap ada di dunia ini, untuk merasakan kebahagiaan yang baru.

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang