Enam

13.1K 791 33
                                    

Kumasukkan baju-bajuku, selimut, baju-baju bayi, beserta perlengkapannya ke dalam sebuah tas besar. Dua hari lagi, aku akan pergi ke rumah sakit karena ini sudah menjelang hari perkiraan lahir anakku.

Anakku, yang pertama. Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku. Jantungku berpacu jika membayangkan kehadiran si kecil yang akan meramaikan apartemen ini.
Meskipun bayangan menakutkan tentang persalinan menghantuiku, aku berusaha berpikir positif. Dan tetap tenang tentunya, karena gambaran kebahagiaanku lebih jelas daripada kesakitan yang nantinya akan kurasakan.

"Cie.. Segitu senengnya calon mama muda ini." Goda Mia sehingga aku reflek tertawa bahagia.

"Vi.. Gue mau ngomong ya sama si kecil." Ia berlutut di hadapanku yang sedang duduk di kasur.

"Halo, Nak.. Ga lama lagi kita bakal ketemu. Kamu bakal jadi kebahagiaan aunty, dan pastinya aunty akan jaga kamu dengan penuh cinta. Sama seperti aunty berusaha jagain mama kamu, Nak. Jadi anak baik yang nurut sama mama dan aunty ya Nak. Aunty love you so much." Mia mencium perutku dan aku terhanyut dalam keharuan yang sangat terasa.

"Aunty bakalan jagain kamu sama mama.. Dan selalu bersama sampe kapanpun. Kita nanti seneng-seneng bareng, susah bareng. Aunty pikir nanti kita bisa deh jadi Power Puff Girl gitu ya hahahaha." Ia tertawa keras seusai mengucapkan seperti itu, tampak sangat bahagia.

Tapi, aku tidak. Maksudnya bersama sampe kapanpun? Jadi Mia tidak akan pernah untuk membuka hatinya selamanya?

"I think you are kidding." Sahutku datar.

"What? Do I look like telling some jokes?" Tanyanya polos sambil mengerutkan dahi.

"Are you sure you say sampai kapanpun? Things like this, are you drunk?" Tanyaku lagi, aku berfirasat buruk.

"Loh, ada yang salah ya emang? Kan bener bersama sampe kapanpun. Lo ga mau ya emang? Ga boleh?" Ia balik bertanya.

"I thought, sampai kapanpun means forever Mia."

"Ya emang." Sahutnya, cepat.

"Dont you want to get married? Or things like that for serious?" Tanyaku gamblang. Oh ayolah sampai kapan Mia akan seperti ini.

"Oh, I get it. No, I dont do kind things like that... Kedengarannya menakutkan." Mia mengernyitkan dahi. Aku tahu reaksinya akan selalu seperti ini.

"Mia.. Mia darling. My dearest Mia. Mia tersayangku... Mungkin kamu harus coba menjalin hub,-"

"No. End of conversation, mending sekarang kita cari makan deh di Mall. Lama ga ke Mall gue, pengen jalan." Jawabnya menyela.
Aku menghela nafas berat. Hah.
Seperti ini lagi.
.
.
.
.
.

Kami berjalan santai sesudah makan siang, mengitari Mall di pusat kota ini. Sudah sangat lama aku tidak berjalan-jalan di kota, biasanya semua aku dapatkan di toserba dekat apartemen.

Mia terlihat bahagia, bahkan dia terlihat lebih bahagia dariku. Mungkin itu karna ia tidak ikut merasakan ketakutanku saat melahirkan nanti.

"Vi, aduh gue lupa mau ambil duit. Lo tunggu disini aja ya, ATM centernya jauh, ntar lo kecapean. Gue cuma sebentar kok."

"Iya gapapa, gue liat-liat ke Baby Shop dulu ya."

Mia berjalan menuruni eskalator dan aku menuju Baby Shop.
Kuraih sepatu pink mungil, sembari mengelus perutku. Membayangkan kaki kecilnya memakai sepatu ini membuatku tersenyum hangat. Selang berapa lama aku mulai merasa lelah, dan memutuskan untuk duduk di kursi panjang depan Baby Shop.

"Viany?"

Kutoleh asal suara ini, dan mataku membulat tak percaya.

"Kak Richi! Oh my God how are you?!" Kami bersalaman, dan ia mengamati perutku.

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang