Tiga

13.4K 822 38
                                    

Kondisi tubuhku benar-benar buruk. Aku terbangun setiap tengah malam, merasakan mual tak tertahankan, lalu baru bisa memuntahkannya menjelang pagi. Hanya ada perasaan mual ketika jam makan sehingga aku kesusahan mengisi perutku dengan makanan. Emosiku sangat labil dan kondisiku kian melemah, alasan utamaku untuk berhenti bekerja di supermarket.
Kandunganku berusia tujuh bulan, masih dua bulan lagi menuju persalinan, tetapi dokter tidak bisa menjamin aku dapat melahirkan secara normal dan mencapai bulan kesembilan, hal itu dikarenakan begitu banyak faktor.
Tubuh kecil dengan pinggang mungil, stress dan tekanan batin, kondisi yang lemah, fisik yang selalu kelelahan akibat kurang tidur dan terlalu lama bekerja dan usiaku yang masih sembilan belas tahun- menjadi pengaruh yang sangat fatal.
Aku menangis setiap kali melihat keadaanku, padahal baru kurasakan sebulan lalu keadaanku baik-baik saja meskipun ukuran janinku yang tidak terlalu besar.
Hanya sebulan dan keadaanku berubah drastis. Dokter bahkan menyuruhku untuk kontrol setiap satu hingga dua minggu sekali. Ya Tuhan, sungguh aku ingin janin dalam rahimku ini dapat berkembang dengan baik, selayaknya bayi sehat diluar sana..
.
.
.
.
.

Sembari meminum susu kotak untuk ibu hamil, aku tersenyum mengamati anak-anak kecil yang bermain dengan riang di taman dekat apartemenku. Hari ini hari Minggu sore, banyak orang tua menemani anak mereka bermain di taman. Taman ini lumayan ramai, dan aku suka melihat keramaian taman ini. Hatiku damai ketika memandang anak-anak kecil yang sedang menikmati permainan mereka. Tetapi hatiku merasa ngilu ketika melihat seorang anak yang bermain bersama kedua orang tuanya dengan tawa yang lepas. Mereka terlihat bahagia, membuatku melamunkan keluarga kecil yang tidak pernah aku rasakan. Dan suatu saat nanti anakku juga tidak akan merasakan mempunyai orang tua yang lengkap. Maafkan mama nak...

"Permisi ya.." ucap seorang wanita ketika duduk di sebelahku. Aku mengangguk dan ketika aku menoleh...

"Viany? Lo Viany kan?"

"Fina??" aku terkejut.

"Ih Viany lo kemana aja sih?! Lo tau gak gue kangen banget sama lo! Lo ngilang gitu aja abis lulus, katanya lo dah nikah tapi ga ngundang! Duh Vi.." Fina memelukku, dan berkata histeris.

"Fin gue juga kangen banget sama lo, maaf gue waktu itu banyak masalah makanya gue ngilang gitu aja..."

"Vi, lo hamil? Berapa bulan? Gue ga nyangka banget ketemu lo disini, terus suami lo mana?" pertanyaan terakhirnya menusukku, sedikit.

"Tujuh bulan ini Fin... Gue cerai hehe." jawabku sambil mengelus perutku.

"Im sorry to hear that... Lo tinggal dimana sekarang Vi?"

"Gue tinggal di apart deket sini.. Lo sendiri? Oh ya lo apa kabar? Sekarang sibuk apa?"

"Gue baik. Sekarang gue kuliah aja sih.. Lo ngapain disini Vi?"

"Gue nyantai aja sih. Pengen cari angin. Lo sendiri ngapain disini Fin?"

"Gue nganterin ponakan gue beli es, sama main disini. Lo sendirian aja kesini?"
Aku mengangguk, dan kami mulai bercerita dan bernostalgia tentang jaman SMA, dan tak sadar langit telah berganti menjadi gelap.
Finna menceritakan tentang kehidupannya, tentang rencana pertunangannya dengan pacar sekaligus anak dari relasi kerja Ayahnya, dan apa yang akan dilakukannya setelah lulusnannti. Aku tahu dia tidak berani bertanya alasan mengapa aku bercerai, dan mengapa aku menikah tak lama sesudah lulus. Ia hanya mengucapkan salam perpisahan dengan nada serius -"Vi, lo kalo butuh apa-apa. Jangan sungkan untuk kontak gue. Gue bakal bantu sebisa gue. Ini nomer gue." Dan aku mengucap terima kasih, menerima kebaikan hatinya itu.
Aku memandang kepergiannya bersama Marsha-keponakannya.
Sosoknya begitu bersinar, karir gemilang yang menunggunya, lelaki baik, serta kehidupan yang sudah jauh berbeda dengan kehidupanku. Aku iri dengannya yang dapat merasakan pendidikan tinggi, keluarga yang selalu ada untuknya, dan karirnya yang akan gemilang.
Sungguh sangat tidak bisa dibandingkan denganku.
Tetapi, aku juga bersyukur. Aku akan memiliki seorang bayi, dan pasti ia akan mewarnai hariku.
.
.
.
.
.

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Aku terbangun dengan rasa kram dan mulas di bagian perut. Keringatku mengucur membasahi seluruh tubuh dan tempat tidurku. Aku mengerang tertahan. Perutku menegang, dan mulas luar biasa. Aku tidak sanggup berjalan, hanya mampu menangis.

"AAHHHH!!" teriakku. Kuharap dan aku terus berdoa akan ada tetangga, atau siapapun, membuka pintu apartemenku, dan menolongku.
Handphoneku berada di meja makan, dan aku harus berjalan untuk mengambilnya.
Tak lama, aku merasakan sesuatu yang licin membasahi kedua paha dalamku.

Darah.

Aku menjerit tertahan, ini masih dalam bulan ketujuh kandunganku, tapi mengapa? Apakah anakku akan terlahir prematur? Tidak, tidak. Hatiku tidak kuat. Disini keselamatan anakku akan dipertaruhkan. Kumohon jangan..

Dengan seluruh tenaga, aku mulai berdiri, berpegangan pada apapun. Tak kupedulikan barang yang berjatuhan karna terus berusaha menggapai bidang apapun, aku hanya butuh handphone untuk menghubungi Mia, atau siapapun.
Berhasil menggapainya, tak lama aku memencet kontak Mia, sembari berjalan menyeret ke pintu apartemen. Aku harus mencari pertolongan diluar.

"Halo iya apa Vi?"

"Mih.... Ini gue pendarahan... Perut gue sakit banget Mi ya Tuhan gue ga kuat..."

Berhasil membuka pintu, aku merosot ke lantai dan menyeret tubuhku keluar.

"Lo tunggu disana, gue bakal telfon ambulance! Kalo gue kesana butuh waktu banyak, lo sabar, lo kuatin Vi!" Ucapnya khawatir.

"Cepet Mi... Perut gue... Akhh..." Aku terus menangis dan mengerang.
Oh tidak.
Jangan.
Pandanganku mulai menggelap.
Ya Tuhan, jangan. Jangan. Anakku.

Aku mulai mencoba berteriak, dan pandanganku semakin mengabur. Yang kuingat terakhir kali adalah, saat seseorang menggendongku, dan mulai membawaku pergi.
.
.
.
.
.

Langit-langit putih. Masker oksigen. Kulihat sekeliling, tidak ada orang. Di tanganku terpasang selang infus. Sakit di perutku sudah tidak ada lagi, tapi aku merasa tenagaku terserap habis.
Anakku.
Aku melihat perutku yang masih membesar. Kuelus dengan rasa penyesalan sekaligus takut kehilangan. Maafkan mama, nak.. Mengapa mama selemah ini?
Dan apakah keadaan anakku baik-baik saja?

Tak lama, dokter masuk ruanganku, diikuti dengan seorang pria berkemeja putih, dan seorang wanita berambut pendek yang sangat kukenal.

Itu Mia. Dan, lelaki berkemeja putih itu,
Damian?
.
.
.
.
.
Voment :)

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang