Empat

13K 784 27
                                    

Merutuki apa yang terjadi, kenapa harus ada drama lagi di hidupku? Kenapa takdir begitu senang mempermainkan, menjatuhkan mental dan merusak hati dan pikiranku?

"Nyonya Viany sangat lemah. Saya takut janinnya tidak dapat bertahan sampai hari H. Saya juga tidak bisa melakukan operasi caesar karena janin belum siap sepenuhnya." Jelas dokter itu.
Airmata menggenangi pelupuk mataku, ya Tuhan aku hanya ingin bahagia dengan bayiku, tapi kenapa harus ada skenario seperti ini? Aku sudah lelah dengan berbagai kejadian buruk dalam hidupku, aku sudah mencoba bertahan sekuat mungkin, tapi kenapa harus seperti ini? Akupun tidak sedang dalam stress berkepanjangan, ataupun depresi. Hanya ya, kadang aku sedih. Tetapi kesedihan saat kehamilan adalah wajar kan?

"Vi.. Lo kuat dong.. Lo harus kuat.. Sabar ya.." ucap Mia mendekatiku.

Dan Damian, masih berdiri disana, berada beberapa meter di seberangku, bahkan setelah dokter itu pergi.
Tatapannya penuh rasa kasihan, dan aku tidak suka itu.
Melepas masker oksigen, aku bertanya lirih,

"Kenapa kamu bisa disini?"
Damian melangkah mendekatiku, tetapi suara Mia lebih dulu kudengar.

"Tadi itu Damian yang bawa lo kesini. Dia di depan apart lo, jadi bukan ambulance yang gue pesen yang nanganin lo." jelas Mia.

Apa maksud dari kedatangannya ke apartemenku?

"Vi.. Kamu yang kuat ya.. Sebenernya aku datengin kamu karna ada sesuatu yang mau kubahas, tapi I will talk about it later when you get well." suara berat nan tegas Damian menyapa telingaku.
Suara ini, suara yang kurindukan jauh didalam lubuk hatiku. Aroma tubuh Damian yang kuhirup menambah rasa pilu di dadaku. Ya Tuhan. Betapa aku mengagumi ciptaanMu yang satu ini. Damian memang nyaris sempurna. Pantas saja dia meninggalkan aku, seorang yatim piatu, tidak bisa menjaga kehormatan, dan bersifat kekanakan ini. Aku tahu, dan aku paham benar tentang ini. Mestinya dari awal aku sadar, sehingga aku tidak harus berbaring disini, dengan keadaan menyedihkan. Aku memang calon ibu yang gagal. Batinku menjerit tak karuan...

"Okay.." sahutku singkat.
Aku kembali memakai masker oksigenku, lalu menutup mata. Tubuhku, batinku, dan pikiranku sudah lelah. Semua kulakukan mati-matian demi biaya persalinan dan kebutuhan calon anakku nanti. Tapi tubuh ringkihku tidak sekuat itu meski hati dan pikiranku terus menyemangati agar dapat mencari pundi pundi rupiah yang kubutuhkan nantinya. Aku tidak tahu, berapa biaya yang kuhabiskan untuk rawat inap di rumah sakit ini sekarang. Aku hanya berharap, bayiku tidak apa-apa. Dan pastinya aku berdoa agar uang tabunganku masih cukup untuk membiayai persalinanku nanti.
.
.
.
.
.

"Vi, gue udah nelfon Damian, minta tolong jemput lo. Maaf ya gue gabisa nemenin lo, gue ada kerjaan banyak banget nih." Jantungku berdetak lebih kencang.

"Mi. Lo tau kan gue ngehindar dari Damian? Lo kok gini banget sih?"

"Halo Viany. Gue ga mau lo kenapa-napa. Gue udah ga mikirin lo mau ngehindar kek apa kek. Lo itu butuh Damian. Seenggaknya buat sekali ini. Lo ga inget kemaren nyaris keguguran?" Mia menjawab tanpa melihat ke arahku.
Airmata mulai menggenang di pelupuk. Emosiku mulai naik.

"Tapi lo tau kan, gue itu ga mau lagi deket Damian. Gue tersiksa Mi, lo ngertiin gue sekali..."

"Vi. Bisa kan sedikit aja jangan egois, minggirin itu perasaan, dan mulai mikirin tentang anak lo. Gue tau ini bakal susah. Tapi masa lo selamanya bakal selemah ini? Ini buat anak lo. Lo hampir aja kehilangan anak lo, dan lo masih egois kayak gini? Come on, babe." Mis menoleh padaku dengan tatapan memohon.

Sesaat perasaan takut dan gelisah itu hilang, digantikan perasaan bersalah.
Memang benar kata Mia. Mungkin aku terlalu egois.
Tapi aku mengerti maksud sebenarnya dari Mia. Ia ingin Damian tahu jika anak dalam kandunganku adalah darah daging Damian.

Matcha and BookstoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang