Jealousy

2K 62 0
                                    

“Mau kemana, Sweety?” Aku mendengus mendengar teguran itu. Kakiku tetap melangkah melewati dia yang sejak tadi senderan di samping Volvo miliknya itu. Sejak keluar dari gedung, aku emang udah ngeliat dia. Tapi aku pura-pura gak liat. Dan sekarang aku mau pura-pura gak denger. Tapi sayangnya tiba-tiba dia mencekal tanganku. Sial.

“Ngapain sih?” Tanyaku galak. Aku menepis tangannya dari tanganku. Dia menyeringai. Menyebalkan.

“Jemput kamu pulang kerja lah, Yang. Ngapain lagi?” Katanya. Aku mendengus.

“Gue bisa pulang sendiri.” Kataku.

“Mobil kamu kan di bengkel, mau pulang naik apa, Agni Aureen?” Ucapnya. Nada bicaranya benar-benar menyebalkan. Sok-sok watados dari tadi. Sebel.

“Banyak taksi, tuh. Kenapa harus bingung?!” Ucapku sinis.

“Aku gak bakal biarin kamu naik taksi, Sweety.” Katanya. Laki-laki ini malah melangkah ke arah punggungku dan mendorong bahuku pelan sekarang. Menuntunku masuk ke dalam Volvonya.

Argh, aku gak mau pulang sama dia. Enak aja. Selama dia pasang ekspresi wajah-tanpa-dosa gitu, pokoknya aku gak mau.

“Gue mau naik Trans Jakarta aja.” Ucapku kemudian. Aku menepis kedua belah tangannya yang berada di bahuku kemudian berbalik, ada tubuhnya yang menghalangi jalanku sekarang. Aish. Kenapa tubuhnya seharum ini sih? Aku jadi kangen. Tapi, argh, gak boleh.

“Kamu nolak lagi, itu sama dengan kamu ngijinin aku buat cium kamu sekarang juga.” Katanya santai. Lagi-lagi ancaman kayak gitu. Aku mendengus kesal. Dia ini, bukannya minta maaf, malah bersikap kayak gak pernah terjadi apa-apa. Ngeselin.

“Ih, siapa elo mau cium-cium gue? Minggir ah, gue mau pulang!” Kataku. Mencoba menggeser tubuhnya dari hadapanku. Tapi sial, tubuh jangkungnya bener-bener susah buat disuruh minggir. Aishh.

“Sama aku. Kamu pulang sama aku, oke?” Katanya lembut. Dia menggamit lenganku.

Aku menghela napas. Tiba-tiba aku jadi malas naik taksi begini. Trans Jakarta apalagi. Aku capek. Aku kangen. Tapi aku juga kesel.

I really want to punch your mouth, you know?!” Gerutuku akhirnya.

With your own mouth? Do it, Babe!

Ish. Dasar mesum.

***

Kali ini gue menang. Si mungil sexy ini akhirnya mau juga gue jemput pulang. Udah tiga hari ini dia gak mau balik ke rumah. Mana tahan gue ditinggal sendirian. Gak ada yang masakin, gak ada yang bantuin gue siap-siap pergi ngantor, dan yang paling penting sih gak ada yang bisa gue peluk-peluk pas tidur. That is the most important one, ofc. Istri gue ini kalau udah ngambek susah dibaikin ternyata. Apalagi ngambeknya gara-gara cemburu, dia suka bertingkah ngga kenal sama gue. Kayak tadi. Juga kemaren.

Padahal menurut gue, seharusnya dia udah ngerti kalau punya suami ganteng kayak gue ini harus tahan lahir batin. Kalau ngga, ya susah. Apa-apa di cemburuin. Gue meeting sama klien cewek, dia uring-uringan. Gue punya sekretaris cewek, dia gak setuju. Gue senyum sama cewek-cewek di mall yang pada senyum ke gue, dia juga ngambek. Padahal kan gue cuma berusaha bersikap ramah, iya nggak? Sama halnya kayak menjalin silaturahmi sama mantan. Menurut gue itu gak salah. Tapi istri gue malah ngamuk dan pergi ngungsi ke rumah nyokapnya.

“Anterin gue ke rumah Mama aja!” Katanya. Gue menoleh. Gue kira dia mau pulang bareng gue itu tandanya pulang ke rumah. Rumah gue sama dia. Bukan nyokapnya.

“Pulang ke rumah ajalah, Babe.” Bujuk gue.

“Rumah Mama.”

“Rumah kita.”

“Kita? Lo aja.” Ucapnya ketus. Istri gue ini judes banget. Tapi kenapa gue bisa cinta, ya?

“Kenapa marahnya belom abis juga sih, Yang?” Kata gue bego.

“Menurut lo?” Katanya pedes.

Dia masih gak mau nengok ke arah gue.

Truly madly deeply sorry, Sweety. Kamu udahan dong marahnya. Apa gak kasian ninggalin aku sendirian di rumah? I feel lonely, Babe.” Kata gue selembut mungkin. Semelas mungkin. Dia mendengus.

“Ajakin aja mantan lo itu ke rumah! Ish.” Tuh kan, masih soal mantan. Dia ini cemburu.

“Ya gak mungkin lah, Sweety. Aku gak mungkin ajak mantan ke rumah kita.”

“Apa bedanya sama ketemuan di kafe, hm?” Katanya. Istri gue ini, ya beda lah rumah sama kafe. Ckck.

“Itu cuma silaturahmi. Aku kan udah bilang dari kemaren-kemaren. Kamunya aja gak ngerti-ngerti.”

“Oh ya? Silaturahmi terus pake lunch bareng segala, gitu? Cuma berdua lagi. Uh. So sweet!”

“Itu kebetulan aja, Babe. Pas aku lagi nyari makan siang gak sengaja ketemu sama mantan. Kan gak sopan kalo aku gak ajakin makan sekalian.” Jelasku. Toh emang begitu cerita aslinya.

“Basi. Itusih emang maunya lo aja ditemenin makan. Sama mantan.” Katanya. Astaga. Gue jadi pusing sendiri ngadepin istri gue ini. 

“Iya, iya, terserah apa kata kamu deh, Yang. Aku pusing. Aku cuma mau kamu pulang ke rumah kita, oke? Terserah kamu masih ngambek apa ngga.” Kata gue akhirnya. Sebagai cowok, gue harus bersikap gentleman. Kata-kata gue tadi cukup gentleman, kan?

Gataulah. Pusing. Yang penting bini gue pulang.

***

Aku mendengus geli. Kebiasaan. Pasti selama aku tinggal di rumah Mama kemaren, tiap pagi dia cuma bisa peluk guling. Astaga. Poor you, My hubby.

Untung aja kemaren mobilku masuk bengkel. Kalau ngga, mungkin aku masih tinggal di rumah Mama sekarang. Dan dia, masih peluk guling, bukan aku. Dan untung aja kemaren itu aku udah ngga marah-marah banget sama dia. Gara-gara kangen juga kali ya dipeluk sama dia. Halah.

Tapi aku gengsi. Makanya aku terus-terusan jutek sama dia. Lagian aku heran, dia itu mantan playboy, tapi bujuk aku doang aja dia ngga bisa. Payah. Jadinya selama beberapa hari kan dia peluk guling sebagai pengganti aku. Rasain. Emangnya enak? Salah sendiri juga, udah tau bininya lagi hamil muda, tapi sempet-sempetnya bikin cemburu.

***

Gue mengerjap, ternyata udah pagi. Senyum gue mengembang. Pagi ini yang gue peluk ternyata guling hidup. Gue pandangin lama punggung sexy istri gue. Walaupun dia cuma pake piyama, bukan lingerie, entah kenapa pesona dia ini tetep sexy. Dan kayaknya dia belum bangun. Puas-puasin ajalah mandangin punggungnya. Takutnya kalau dia udah bangun, malah ketus lagi kayak kemaren. Gue gak sanggup.

Gue perhatiin rambut istri gue yang digelung asal-asalan itu. Anak-anak rambut yang jatuh di lehernya bener-bener bikin dia tambah sexy. Menggoda iman. Kalau gue ini Edward Cullen, kayaknya gue udah keringetan ngga karuan nahan hasrat buat gak gigit leher bini gue sendiri. Astaga.

Tapi untungnya gue manusia. Meskipun tetep aja sama, gue harus mati-matian nahan hasrat gue. Hasrat buat ngga ngecup dia dan bikin dia bangun. Iseng, gue tiup pelan lehernya. Dia menggeliat pelan. Gue semakin mempererat pelukan gue di perutnya. Untung aja hari ini libur. Bisa lama-lama deh pelukin istri gue.

“Kalo mau peluk, peluk aja. Gak usah tiup-tiup leher gitu deh. Geli tau, Babe.”

Istri gue udah bangun ternyata.

“Oke, Wifey.” Kali ini gue kecup beneran deh tuh lehernya. Kayaknya dia udah gak ngambek.

By the way, Cakka Cullen kece ngga? Aishh. Lebih kece Cakka Maharadza ah. Tapi kenapa rasanya gue jadi pengen gigit leher istri gue sekarang?

End.

Short Stories of Cagni!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang