1.Ada apa?

78 10 10
                                    

    Aku tak tau seberapa sering aku mengeluh dengan keadaan.
    Aku tak tau seberapa banyak tangis mengiringi kekecewaan.
    Aku tak tau seberapa pantas hati mendapat kebahagiaan.
    Bahkan..
Aku tak tau apakah kelak akan ku temu sebuah senyuman?

-----------------------------------------------------
     Semilir angin berhembus menemani langkah. Mengikuti ayunan langkah diambang batas senja. Beberapa capung beterbangan mengitari langit indramayu kala itu.
     Menjadi putri semata wayang tentunya tak selalu mudah, tak jarang kudapati keadaan rumah begitu sepi bagai bangunan tak bertuah. Decit pintu terdengar tajam memecah sepinya.
Tunggu, sepertinya ada suara tangis samar yang menggelitik telingaku saat melewati sebuah ruang. Mataku terbelalak melihat seorang wanita tua membungkukan tubuh dengan tangan menyeka air mata disertai suara paraunya.

    Kuhampiri raganya yang nampak tak berdaya.
"Ibu.. Ibu kenpa?" pertanyaan yang tak sengaja terlontar dari mulutku.

Nampaknya ia tak sanggup mengungkap teka-teki dibalik tangisnya padaku, putrinya sendiri. Namun, dengan nafas tersenggal, mulai keluar ucap lirih dati mulutnya yang masih bergetar.

"Ibu.. Baik-baik saja, nak.. Kamu baru pulang ya? Sejak tadi ibu di dapur, jadi tidak terlalu jelas terdengar."

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban ibu, dengan menambah raut wajah tersenyum bingung.

"Biar ibu masak bihun kuah kesukaanmu ya" ucapnya sambil mengelusku.

     Aku tak tau harus berkata apa, jelas semua tidak baik-baik saja. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, kupeluk ibu yang nampak begitu rapuh. Cukup lama kutenggelamkan kepala dipelukan wanita yang sangat kucinta. Hingga terdengar ketukan pintu yang melepas dekap lembutnya.

Dengan pangkah gontai kami segera menuju pintu, meninggalkan tungku dapur yang memanaskan 1 porsi bihun.

    Betapa tercengangnya ketika kulihat sosok ayah dengan seorang wanita yang cukup muda dengan begitu mesra diteras. Masa seakan terhenti. Sempat kudapati wajah ibu yang tak mampu menahan pilu. Entah apa yang terjadi selanjutnya, ibu hanya berbisik agar aku segera memastikan matang tidaknya bihun di dapur.

     Setelah kejadian itu, setiap pagi pemandangan wajah ibu yang sendu menjadi santapanku. Tak pernah ada lagi kehadiran ayah dibawah atap ini. Meski selalu kudapati senyuman ibu sebagai pengawal hari, aku tetap bisa melihatnya.
      Senyum penuh luka tak dapat menyembunyikan tumpukan kepedihan sukma. Tapi biar kulontarkan sebuah janji untukembuat hidupmu kembali indah bermandikan semerbak gaharu, ibu.




*cerita pertama semoga menghibur ya, kebetulan masih dekat dengan hari ibu.
Walaupun sebenarnya hari ibu gak cuma sehari, karna setiap hari adalah untuk ibu:)

Ranah HayatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang