8.Peluh yang Sirna

15 2 0
                                    

Semua mata tertuju pada satu nama
Sosoknya luar biasa
Karisma dan aura bijaksana menyelimutinya

Bak amoeba memandang raksasa
Aku hanya bisa mengaguminya
Ingin seperti seorang diva

Kali ini aku tak mampu
Takdir membuatku buruk dihadapanmu

-------------------------------------------------------------
   
     Melangkah dengan pasti dan menghilangkan rasa peduli. Ketidakpastian yang terus menghantui diri. Semua mengenalnya, karya nya tak lagi asing ditelinga. Hanya dengan memandangnya di layar kaca, rasanya begitu luar biasa.

Inaka Soraya

   Nama itu jelas nampak di cover pembuka. Aku masih ingat jelas hari pertama ketika aku melihatnya.

Flashback on

Bruukkk!
    Tumpukkan buku yang sedari tadi berada di pangkuanku, kini menyapu sebuah koridor. Nyeri mulai terasa di lutut, penglihatanku buram. Lenganku masih meraba kesana kemari, dimana alat bantu penglihatanku? Hingga..

Krakk!!

   Samar terlihat seseorang telah menginjaknya saat tanganku hampir sampai. Kupakai dengan segera, meski tak lagi buram, jelas dikacanya nampak retakan retakan.

"Syukurlah kacamata ku tidak patah"
Ucapku sambil membereskan buku yang berserakan.

    Entah alasan apa yang harus ku utarakan pada penjaga perpustakaan. Sebagiannya kotor terinjak, dan agak terlipat. Aku berjalan agak pelan kali ini, khawatir terulang kembali, jatuh seperti tadi. Fokus mataku kini tertuju pada sepasang sepatu yang menjadi kendaraanku, menganga dibagian depan dan sampingnya. Sedikit tak terhalangi dengan rok panjang yang ku kenakan.

    Fikirku yang berkeliaran memikirkan berbagai hal, ternyata telah mengantarku dihadapan pintu perpustakaan. Ku ambil nafas panjang sebelum kaki tepat berada di ruangan.
Aku terkesiap, sangat terkesiap tepatnya. Penjaga perpustakaan menghampiriku, dan langsung mengambil buku-buku di pangkuanku.

"Aduh, Raya.. Aku sudah menunggu buku-buku ini sejak tadi, kemana saja kau? Hah?"

"Maaf, bu.. Aku sempat terjatuh di kor.."

   Belum sempat aku menyelesaikan jawabanku, langkah penjaga yang mulanya sangat tergesa, mendadak berhenti dan berbalik menatapku.
Kini ia memasang wajah simpati, diselingi helaan nafas.

"Pantas saja, salah satu dari ke empat matamu rusak"

    Mendengarnya bicara begitu, kepalaku tertunduk cepat. Seisi perpustakaan menahan tawa, aku malu.

                             ***
    Esok harinya, aku belum mengganti kacamata ku. Dari kejauhan, sedikit samar aku melihat lengan Kanaya melambai disamping papan pengumuman. Aku segera menghampirinya. Wajahnya berseri, menambah nilai kecantikannya.

"Ina.. Lihat.."
Telunjuknya mengarah pada salah satu selembaran bertuliskan pemenang lomba cipta karya sastra.

   Dibalik retaknya kacamata, aku sedikit memicingkan mata. Belum sempat aku membacanya, Kanaya mungkin tak lagi sabar.

"Ina.. Kamu jadi juara 1.. Cerpen dan Puisi mu akan dimuat di akun resmi siswa berprestasi tingkat nasional"

    Aku bahagia mendengarnya, kami bahagia. Bahkan aku dan Kanaya sempat berteriak.

"Sepulang sekolah nanti, kau harus ikut denganku"
Ia merangkul bahuku sambil tersenyum simpul.

    Tak terasa, bel tanda kegiatan belajar telah usai terdengar. Kanaya sudah bersiaga di koridor menungguku keluar.

"Kita cari makan dulu ya? Laper.."

     Aku mengangguk mengabulkan permintaannya. Tak asing lagi dengan Kanaya yang sangat senang makan.
Setelah menunggu sedikit lama di angkutan umum, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Tapi, tunggu..

"Nay, apa-apaan sih, kok kamu pakein aku penutup mata?"

"Ssssttt"

   Kanaya membawaku berjalan dan menyuruku duduk menunggu. Selang beberapa menit, akhirnya ia membiarkanku mendapat cahaya.

"Inaka Soraya.. Aku tau, matamu butuh ini"
Ia memberikan mata baru untukku.

"Terimakasih"
    Aku memeluknya. Tetesan air mata jatuh tak terasa.

Setelahnya, aku tak lagi melihat apapun.

  Hingga terbuka lagi pelupuk mataku, aku baru sadar, aku tak lagi bersama Kanaya. Kepalaku terasa sangat sakit. Sedikit terdengar isak tangis diluar ruangan.

Flashback off

   Diruang dingin yang ku tempati  2 tahun kebelakang ini, sebuah buku ditemani seikat bunga yang menemaninya disimpan diatas mejaku.
Apa dayaku yang tak lagi kokoh seperti dahulu. Sepasang kaki yang ku gunakan sebagai kendaraan, tak dapat mengantarkan karyaku. Saat aku menjatuhkan buku-buku kala itu, syaraf dilututku tak lagi bekerja seperti semestinya.

    Aku percaya pada Kanaya, ku titipkan semua karyaku pada sahabatku. Yang mereka tau, Kanaya Syahira Darma adalah Inaka Soraya.

***

Assalamua'laikum
Semoga terhibur dengan cerita kali ini, terimakasih ^^

Ranah HayatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang