5.Kepompong

32 9 5
                                    

Nostalgia tentu berharga, dari masa ke masanya memiliki kesan luar biasa.
Tak hanya mengukir garis bahagia, namun juga menggores luka.
Air mata mewakilinya.

--------------------------------------------------

    Semua berawal 3 tahun lalu. Ketika seorang pria bertubuh tinggi sering menarik kerudungku setiap kali bertemu. Awalnya ia seperti misteri, ketika aku membalikan bahu dengan kerudung yang masih berantakan, tak ada yang nampak.
Sialnya, saat aku kembali berjalan kedepan, kini ia menarik kerudungku lagi.

"Aduh, siapa sih?" ucapku sambil membetulkan kerudung 'lagi'

"Hahahaha" seorang pria berlari dengan ledakan tawanya, yang kemudian diakhiri dengan juluran lidah.

  Kepalaku terasa mendidih, darahku naik. Nafasku tak beraturan, pertanda suasana hatiku berantakan tak karuan.

"Tamaaa"

Teriakanku menggegerkan seisi kelas. Mulanya senyap. Pecahlah tawa mereka menatap wajahku yang nampak kesal kemerahan.

***
  Keesokan harinya. Lusa. Esok lusa. Tama masih sering melakukannya. Kerudungku dibuat rusak oleh tangan jahilnya.

   Karena terbiasa, untuk pertama kalinya aku diam dan menunduk. Tak lagi mendengar teriakanku, Tama mengembalikan kerudungku pada posisi semula. Meski tetep saja berantakan.

"Eh, kenapa?"

"..."

"Hey, kenapa?"

   Aku masih saja diam dan menunduk.

"Ra, ngambek ya?"

"Jelas lah, kerudungku longgar kalo kamu tarik terus"

"Udah, beli lagi aja lah, ra"
Jawab Tama sambil menarik kerudungku 'lagi'

"Tamaaa"

*****
   Waktu mengantarkan kami hingga penghujung semester. Ku kira, masa akan menjauhkan ku dari Tama. Tapi ternyats, takdir ditentukan yang maha kuasa. Kami ditempatkan 'lagi' dikelas yang sama.

    Namun semua mulai berbeda. Berubah seiring berjalannya masa. Ketika timbul sebuah rasa yang tak semestinya ada. Hingga Tama menunjukan penolakan melalui gelagat dan tingkahnya. Tak ada lagi tawa yang seindah tahun pertama.

"Rara"

   Seperti ada yang memanggilku. Atau mungkin hanya sekedar naluriku. Sepasang earphone menjejali kedua telingaku dengan melodi dari lagu favoritku.

"Na na na na na.. Jadi sayap pelindungmu"

"Rara"

   Tunggu. Suara seseorang yang memanggilku semakin tinggi frekuensinya.

"Aduh" seseorang menepuk bahuku.

"Ra.. Safira.." ia memanggilku dengan kerasnya.

"Tama"

"Safira"

"Maaf ya, Tam"

"Kenapa minta maaf? Kita tetep jadi temen ko"

    Mungkin itu adalah kali terakhir Tama mengajakku bicara. Esok harinya. Lusa. Dan esok lusa. Kami hanya tersenyum tanpa sapa saat berjumpa.

*****
  Hari ini adalah tahun ketiga. Waktu sungguh memisahkan aku dan Tama. Membuatku semakin jauh dari pria itu. Meski kadang aku bertanya kabar di social media tanpa bicara nyata.

   Kini tak hanya suasana yang berbeda. Lingkungan membuatnya tak lagi sama.
Hingga sering kujumpai, ia mengejar 3 orang wanita.
Tama memanggipnya dengan sebutan yang tak asing di pendengaran.

"Rara"

   Ku kira, panggilan itu hanya untuk seorang Safira. Tapi ternyata, itu pun berlaku untuk ketiga sahabat barunya.

*Readers, ini real:"

Ranah HayatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang