Hembusan langit sore dipenghujung hari sabtu, menyibak sedikit jilbabku hingga sejuk menenangkanku. Dibahu jalan, aku masih berlari kecil sambil merentangkan kedua tangan. Udara mengalir deras dalam rongga paruku. Bahkan alunan musik menambah irama langkahku. Kenikmatan ini tak lain hanya kudapat dikota kelahiranku,kota penuh cinta, Palangkaraya.
Langkahku terhenti. Dering ponsel disaku kanan mengejukanku. Tertera dilayar Incoming call:Bang Faiz. Ku usap layar perlahan, dan segera memutar balikan badan. Tapi belum sempat aku memulai langkah seribu, sesosok pria berbadan tegap membuatku tersentak. Wajahnya gelap karna siluet matahari senja. Jangan-jangan ini sosok penculik yang sedang ramai dibicarakan belakangan ini. Lututku gemetar. Dengan keaadaan lengan yang baru saja mencabut telepon genggam dari telinga, tiba-tiba ia angkat suara. “Buruan pulang, lagi musim culik juga”. Ucapnya sambil menghancurkan sodong jilbabku sedemikian rupa.
Kusunggingkan senyum peps*d*nt terlebar yang kupunya, aku bersyukur pria itu bukan penculik, tapi abangku. Belum lagi aku membetulkan jilbab yang berantakan, ia menarik lenganku, membawaku berjalan dengan kecepatan kilat. Dalam hitungan kurang dari 10 menit, kami telah tiba dan langsung terduduk di teras rumah untuk meluruskan kaki. Dengan nafas terengah, aku melihat wajah Bang Faiz yang gelisah. Belakangan ini, ia sangat sibuk. Bukan hanya karena ia duduk ditahun terakhir bangku Sekolah Menengah Atas, tapi juga karena rencananya untuk masuk satuan Tentara Nasional Indonesia. Bahkan Bang Faiz jadi mendadak hoby berenang, padahal tingginya 20cm diatasku yang masih duduk ditahun pertama Sekolah Menengah Atas. Dan…
Buugh.
Belum juga tuntas lamunanku,ternyata aku tertangkap basah menelaah wajah abang dengan dahi mengkerut-kerut. Kali ini sasarannya bukan lagi jilbabku, tapi wajahku ditutupi dengan telpak tangannya yang besar dan lebar. Bersama bantuan lengan satunya, ia menarik kepalaku hingga berdiri.
“Shafa.. abangmu memang ganteng. Udah cepet sana mandi”
Ucapnya sambil melepaskan cengkraman dikepalaku dan bergaya bak model sampul majalah. Aku tak tinggal diam,dengan reflex aku menjulurkan lidah yang ditambah dengan mata juling. Mungkin terhitung beberapa mili sekon saja abang langsung mengejarku. Kakiku rasanya seperti hampir patah karena menghindarinya. Sadar bahwa posisiku tak aman, aku segera berlari menuju dapur menghampiri ibu. Melihat tingkah anaknya, ibu hanya tersenyum dan menggelengkan kepala saja. Rumah yang hanya dihuni 4 orang, terasa sangat ramai karna teriakanku yang sudah pasti mejadi korban kejahilan Bang Faiz.
Sampai akhirnya Bang Faiz harus pergi ke Jawa untuk ikut berbgai macam tes menjadi tentara. Meskipun aku sering dibuat teriak bahkan menangis, pada hakikatnya aku rindu abang. Setelah satu minggu, abang belum juga pulang. Ayah jatuh sakit sejak semalam dan harus dirawat di klinik. Padahal aku harus berangkat ke tempat perkemahan yang jaraknya cukup jauh. Terpaksa aku berangkat sendiri. Dengan berbekal doa’ dari Ibu dan Ayah, aku bergegas menuju titik pertemuan peserta perkemahan. Beberapa pembina menyampaikan beberapa pengarahan, salah satunya memastikan data diri para peserta. Kemudian kami diarahkan untuk segera menaiki bus.
Berdasarkan informasi yang kudapat, bus peserta perkemahan akan melakukan perjalanan selama 3 jam. Di jam pertama, aku langsung tertidur pulas setelah kenyang melihat pemandangan dari jendela. Setelahnya aku terbangun karena getaran ponsel disaku, aku jadi ingat ketika beberapa hari lalu abang menelpon. Mataku masih berat dan remang-remang menatap layar ponsel. Hingga tertera Incoming call:Bang Faiz. Dengan segera aku mengusap layar ponsel. Tapi belum sempat aku angkat bicara,bus berhenti mendadak dengan suara berdecit yang nyaring. Pintu terbuka dan menampakkan gerombolan pria berbaju hitam tertutup dengan senjata dan alat tajam ditangan mereka. Aku kaget bukan main, seisi bus berteriak ketakutan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku saat salah satu dari mereka menodongkan pistol ke kepalaku. Tak kuasa rasanya aku menahan tangis. Samar terdengar dari ponsel yang sedari tadi kpegang, terdengar suara Bang Faiz memanggil-manggil. Aku tak bisa lagi memastikannya setelah si penodong pistol mengambil ponselku dan…
Krakkk. Si penodong menginjak ponselku.
Dalam keadaan panik, aku terus berusaha komat-kamit berdzikir dibalik tangis. Suasana semakin mencekam saat si penodong benar-benar menggunakan senjatanya. Penodong itu melepaskan peluru tepat dikepalaku. Semua berteriak dan entah apa yang terjadi selanjutnya.
Kini yang nampak hanya wajah ibu dengan kantung mata bengkak membelai dahiku, Ayah yang terus menunduk menyangga wajah dengan kedua tangannya. Dan berlari seorang pemuda dengan wajah lelah bersetelan rapi, langsung memeluk ragaku yang telah terbujur kaku. Kali ini Bang Faiz menangis dan bukan aku yang menjadi korban kejahilannya. Ia nampaknya sangat rindu padaku hingga tak sempat melepas ransel cembung dan sepatunya, abang langsung memeluk aku. Dengan tergesa abang mengeluarkan selembar kertas dari saku, dan besar sekali tulisan disana bahwa abang DITERIMA. Rasanya Shafa juga ingin sekali memeluk Bang Faiz, mungkin tidak sekarang. Kelak ketika kita bersama bisa bertemu kembali di Syurga-Nya, kita bisa sepuas hati meplas rindu ini. Rindu yang hakiki.----------------------------------------
Maaf baru update><
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranah Hayati
Short StoryHidup berliku menjadi jalan dari kenyataan semu, tak ada lagi ragu ketika aku dekat dengan pencipta semesta yang tak pernah keliru Mencoba menjadi seorang hayati..