One – Tuan dan Nona
Siang tadi Atan mengirim pesan singkat ke ponsel Ginta. Isinya meminta Ginta untuk menemaninya pergi ke pantai. Atas permintaan pemuda yang telah mengisi relung hatinya dua tahun terakhir, Ginta duduk di atas pasir pantai sore ini, menunggu Atan sejak sepuluh menit lalu.
Kebetulan sekali Atan meminta Ginta menemaninya ke pantai. Ginta tidak perlu bersusah mencari alasan mengajak Atan ke suatu tempat untuk membicarakan banyak hal. Di antara hela napas yang berkejaran dengan suara deru ombak dan angin sore, Ginta memejamkan mata, membuat kisah khayalan tentang apa yang akan menjadi topik obrolannya dengan Atan sore ini. Yah, mungkin dengan suatu inti obrolan mengenai dia dan Atan.
Atan datang sepuluh menit kemudian dengan seulas senyum manis terpatri di wajahnya. Gaya berpakaiannya—celana jins cino dan kaus polos dengan luaran kemeja polos—tidak pernah berubah sejak bertemu dengan Ginta di masa orientasi mahasiswa baru dua tahun lalu. Mungkin tidak berlebihan kalau Ginta bilang dia sudah hapal semua warna jins, kaus, dan kemeja Atan.
Yang pertama kali ditanyakan oleh Atan adalah berapa lama Ginta sudah menunggunya dan Ginta menjawab seadanya: tidak sampai setengah jam. Lalu Atan minta maaf karena tidak bisa menjemput Ginta untuk pergi bersama karena ada urusan yang harus Atan selesaikan. Dan jawaban Ginta adalah tidak apa-apa karena Atan tidak punya kewajiban untuk selalu mengantar dan menjemput dirinya. Dua jawabannya diikuti senyuman manis Ginta.
"Ada apa kamu minta aku ke pantai?" tanya Ginta setelah hening beberapa menit.
"Hm .... Nggak ada apa-apa," sahut Atan yang tidur ayam di sebelah Ginta. Matanya terpejam sambil dihalangi oleh lengan kiri yang menutupi sebagian wajahnya.
Ginta menoleh. Dari dulu Atan tidak berubah. Dia tidak pernah punya alasan untuk mencari waktu bersama gadis itu. Kalau dia ingin bertemu, maka dia langsung menyampaikan pada Ginta. Dengan wajah mengernyit ia sekali lagi bertanya, "Terus kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Aku cuma kangen ngobrol tentang semua topik sama kamu."
Rona di pipi Ginta muncul, sama seperti semburat oranye dari peraduan matahari yang baru saja menerpa mata keduanya. Gadis itu terkekeh untuk menyembunyikan rasa panas yang menjalar halus di wajahnya.
Saat wajahnya kembali seperti semula, ia kembali berbicara, "Jadi topik apa yang mau kamu buka sore ini, Tuan Samudera Selatan?"
"Bagaimana kalau tentang laut, Nona Langit Gintamani?"
"Apa yang mau kamu bahas soal laut?"
Atan membuka mata sambil mengangkat lengan kirinya yang sejak tadi menutupi sebagian wajah. "Kamu suka laut?"
"Bukannya kamu udah tau?"
Kedua bola mata pemuda itu mengarah ke atas, menandakan ia sedang berpikir. Tidak lama setelahnya ia menjawab, "Belum."
"Serius?"
"Iya. Kita, kan, jarang ke pantai—eh, kayaknya ini pertama kalinya, deh."
Ginta ikut mencoba mengingat-ingat apakah perkataan Atan barusan itu benar atau hanya candaan yang tidak lucu, tapi sepertinya Atan memang benar. "Yah, aku suka laut."
"Sesuka apa?"
"Nggak tau. Pokoknya aku suka laut."
"Kenapa?"
"Menurutku, laut itu semacam lambang ketenangan meskipun terkadang dia bisa marah. Itu sama kayak manusia. Manusia yang sewaktu-waktu bisa pasang dan juga bisa reda. Kalau kamu mau memahami manusia, kamu bisa menggunakan laut." Mata cokelat kelereng Ginta menerawang ke arah matahari yang tinggal setengah, melukiskan pantulan cahaya di kedua bola matanya.
"Lalu?" tuntut Atan, tidak sabar mendengar kalimat Ginta selanjutnya.
Ginta memalingkan pandangan dari matahari ke tempat Atan yang sudah duduk. "Kalau ke laut sendirian waktu menjelang malam, kayak sekarang, aku bisa dapat ketenangan yang nggak bisa aku dapat di tempat lain. Aku merasa laut bisa paham bahwa ada yang salah sama aku."
"Kamu selalu punya kalimat yang nggak banyak orang pakai," sahut Atan berkomentar.
"Maksud kamu?"
"Kamu bisa menempatkan sesuatu dalam posisi yang berbeda. Kamu menganggap sesuatu sebagai seseorang yang sering berada dekat kamu."
"Yah, karena dengan begitu aku bisa memahami dan menghargai sesuatu itu."
_____

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Laut [6/6]
Cerita PendekLangit, laut, dan hal-hal yang tak dibicarakan. Menjadi rahasia, menyesakkan jiwa. Desember, 2016 - Maitreya Angkasa