Bab 5 ; "...Itu jajan gue seminggu!"

19 5 0
                                    


“Tanah Abang, Tanah Abang, yo!”
Suara kondektur itu semangat sekali, ia turun dari kopaja dan melambai-lambai pada semua orang, berharap mereka naik ke angkutannya. Seorang ibu-ibu gemuk masuk dengan belanjaannya yang banyak, terlihat repot karena satu tempat yang harusnya diisi dua orang jadi penuh akibat dirinya sendiri, juga belanjaannya.
Okanaya menatap resah keluar jendela. Duapuluh menit lagi jam sembilan, sementara sewa angkutan ini masih sepi. Kopaja ini tidak akan jalan sebelum semua bangku terisi, puh.. Apa ia minta dijemput oleh kekasih barunya saja? Ah, jangan. Rino sudah bilang kalau hari ini ia juga akan mencari tempat magang. Hmm, Okanaya mencari alternative lain.
Bagaimana kalau di jemput oleh Hanif, pacar lima langkahnya? Eh, tapi tadi ia melihat Hanif sibuk membantu ayahnya di bengkel. Bagaimana, ya? Ahya, bagaimana kalau minta dijemput oleh Gilang? Rizky? Maulana? Malik? Dan sederet nama laki-laki lain yang ada di benak Okanaya. Percuma saja, jikapun semua lelaki itu bersiap mengantarnya, harus ada sesuatu yang ia jaga. Ia tidak mau keempat anggota kelompoknya tahu kalau ia punya banyak laki-laki lain selain Rino, pacar sebelah kelasnya. Apalagi kalau sampai Sam dan Ayasa tahu, tamat sudah riwatnya.
“Argh!” Okanaya meremas ponselnya, masih memandang keluar jendela. Kelompoknya benar-benar membuatnya tidak punya pilihan lain selain…
“Oka!” seseorang memanggil namanya. Suara yang tidak asing untuk Okanaya. “Okanaya!”
“Siapa, sih?” gumamnya pada diri sendiri. Ia mengedarkan pandangan keluar jendela dan mendapati, “Ayasa?”
“Bareng gue aja” Ayasa ada di seberang sana, lengkap dengan sweeter biru dan helm mini yang menutupi kepalanya. Ia menepuk-nepuk motor maticnya, tersenyum. “Itumah ngetemnya bakalan lama”
Okanaya berpikir sejenak, ia melihat arlojinya dan.. lima menit lagi jam sembilan! “Lo beneran bisa naik motor?”
Ayasa mendesah, jelas-jelas ia bisa. “Ya emang lo pikir gue lagi ngendarain bajaj?”
“Eh?” Okanaya dengan cepat mengambil keputusan, daripada menunggu lama, jadi. “Yaudah, gue ikut”
Okanaya dengan cepat turun dari kopaja, melirik kondektur yang tengah tercenung menunggu penumpang. Kondektur itu melihat Okanaya turun dari kopajanya dan berpindah naik motor di seberang jalan, kemudian berlalu. Kondektur itu mendecakkan lidah, melongokkan kepalanya dan menatap sang supir dari spion depan, “Udahlah bang, jalan aja!”
“Sabar” ucap sopir itu kalem, “bentar lagi juga rame”
“Rame-rame, ndasmuh!

*

Drim, drim…
Suara dari beberapa motor terdengar menepi. Gadis kecil dengan kunciran boneka yang melilit rambut panjangnya itu menyibak gorden jendela untuk mengintip. Siapa mereka?
Gadis itu tidak mengenali orang-orang yang kini tengah menatap heran ke arah rumahnya, tetapi kemudian mereka memanggil nama yang gadis itu kenali dengan baik. Maka dengan hati-hati ia membuka pintu, melihat orang-orang asing itu secara langsung, “Cari siapa?”
Laki-laki dengan sweeter hijau itu tertegun menangkap nada bicara dingin dari gadis kecil itu. Apa semua keluarganya misterius begini? “Ini benar rumah Karang?” Tanyanya.
Gadis kecil itu menatap sebentar untuk kemudian membanting pintu dan menghilang ke dalam rumah. Keempatnya lagi-lagi tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Nah, bener kan tebakan gua!” laki-laki ber-sweeter hijau itu Sam, bulu kuduknya bergidik hanya dengan menatap mata sayu gadis kecil itu. “Itu pasti anak majikannya Karang!”
Nandaru manggut-manggut. “Hmm, bisa jadi. Rumah ini cukup megah, kalau Karang pemiliknya, gue ragu. Tapi masa, sih, Karang tega ngajak kita kerumah majikannya?”
Sam setuju dengan persepsi Nandaru, “Iya juga. Bisa jadi rumah aslinya jelek, terus dia malu”
Mendengar semua pembicaraan percuma itu, Ayasa jadi geli sendiri. “Kalian bisa berhenti berpikir seolah-olah ini sinetron nggak, sih?”
Nandaru menoleh, “Lha, tapi emang bener, kan?”
“Bener apanya? Kita aja yang nggak pernah dekat sama Karang, jadi kita nggak tahu apa-apa” Ayasa memberi opsi pemikiran lain. “Karang kan, misterius?”
“Sok horror lo” Sam menimpali.
Tapi Ayasa hanya meliriknya sebal.
“Tapi,” Okanaya yang kali ini bersuara. Matanya menatap serius bangunan bergaya klasik di depannya. “Gue nggak tahu ya, tapi kalau rumah megah ini emang punya Karang, gue mau kok jadi pacarnya”
Nandaru, Sam, dan Ayasa seketika punya pemikiran yang sama, “Dasar cewek matre!”

Grey Under The Rain-bow!Where stories live. Discover now