Hari yang cerah…
Untuk siapa? Lelaki itu bergumam sendiri. Ia masih menyesali dirinya, seandainya waktu itu ia bisa berpikir lebih lama untuk memilih. Hidupnya tidak begitu tertuju, ia juga tidak tahu akan kemana jikapun diberi kesempatan kedua untuk memilih. Lelaki itu tidak begitu tertarik untuk tetap bernafas, tetapi ia juga tidak begitu mampu untuk meniggalkan dunia.
Ia membetulkan letak kacamatanya, menatap sekeliling. Membosankan… lihat, buku perkenalannya masih bersih. Ia merasa tidak perlu mendapatkan sederet tanda tangan itu, kan? Membuang-buang waktunya saja. Jadi ia memutuskan untuk menepi dari keramaian, meski sayang sekali tidak ada tempat atau sudut sepi yang bisa ia temukan.
Kecuali koridor lantai dua.
Yah, meski masih terdapat beberapa orang, tetapi lantai dua tidak begitu ramai seperti dibawah. Lelaki itu juga menyesali peraturan ospek yang begitu neko-neko, mengapa ia tidak bisa langsung mengenakan seragam putih abu-abunya? Seragam lama ini terlalu memuakkan untuknya. Akhirnya, ia menemukan tempat untuk bersandar, tidak perlu menunggu lama, ia duduk dan dapat memisahkan diri dari…
“Gue nggak botak, ya! Lo nggak bisa bedain mana potongan tentara dan mana potongan botak?”
“Tapi buat gue itu botak”
Tunggu, suara ribut-ribut apa itu? Lelaki itu menoleh, mengintip sisi belakang tembok tempatnya bersandar. Ahh, darimana dua manusia ini? Mereka mengenakan seragam dengan warna yang sama, dan mereka tengah berseteru? Jangan bercanda, ini baru hari pertama ospek! Masih ada dua hari lagi.
“Nilai rata-rata lo berapa, sih? Lo beli LJK ya?”
“Kok…? ngajak ribut?”
Anak lelaki yang berpotongan layaknya tentara itu melotot, sementara anak perempuan yang membelakanginya sudah mengepalkan tangan, memasang posisi untuk meninju.
“Apa saya boleh gabung?” Lelaki itu akhirnya bersuara, pelan, namun masih mampu membuat aktivitas kedua anak itu terhenti. Mereka saling menatap. “Nama saya Karang”
Anak perempuan itu menurunkan kepalan tangannya, tersenyum. “Ayasa”
Sementara anak laki-laki berpotongan tentara itu dengan acuh tak acuh kembali ke posisi duduknya tanpa menatap Karang, memperkenalkan diri. “Sam”
Dan suasana tiba-tiba hening.*
Karang menyalakan lampu belajar di mejanya. Melihat-lihat catatan sekolahnya hari itu, dan ia tiba-tiba terdiam ketika membaca catatan pengingat yang dibuatnya sendiri. Kelompok magang dan belajar; Nandaru, Okanaya, Sam, Ayasa.
Ia jadi teringat tadi, saat sekertaris membacakan nomor undian lima dan dengan cermat ia mengamati anggota-anggota kelompoknya. Okanaya yang kemudian membenamkan wajahnya ketika ia melihat Nandaru dan Ayasa ikut mengangkat tangan, Nandaru yang histeris ketika ia tahu ia berada dalam satu kelompok yang sama dengan Sam, Ayasa yang memasang wajah datar atau mungkin lebih terlihat putus asa ketika melihat keempat anggota kelompoknya adalah komposisi yang tidak begitu bagus, dan Sam yang seperti orang kerasukan ketika mendapati nama Ayasa ada di daftar anggota kelompok lima.
Yah, sepertinya hanya Nandaru yang bahagia dan dirinya sendiri yang berpikir bahwa semua itu bukan masalah.
“Hai, Karang” itu suara Ayasa yang pertama kali mengambil inisiatif untuk menghampirinya. “Kita satu kelompok”
“Mm-hm” Karang kikuk. “Semoga kita bisa bekerja sama dengan ba—“
“Mustahil,” kata-katanya dengan cepat dipotomg oleh Okanaya yang entah kapan sudah berada di samping mejanya. “Gue sibuk, kadang-kadang bantu Mam di salonnya, jadi mungkin gue bakalan nggak bisa ikut belajar bareng”
Eh, tidak perduli juga sebenarnya… gumam Karang dalam hati. Ia melihat sekeliling dan mendapati raut wajah bahagia dari murid-murid lain, mengapa sepertinya aura mendung melingkupi kelompok lima?
“Saran gue medingan kita tukeran nomor, deh” suara yang dirasanya maskulin itu terdengar. Sam juga tiba-tiba duduk di depannya, menghadapnya langsung. “Biar kita bisa koordinasi dulu kalau mau cari tempat magang”
“Kalau bisa, yang dapet gaji..” Eh.. Nandaru? Sejak kapan ia ada disampingnya?
Karang menatap meja belajarnya lengang, itu percakapan alot tadi siang. Karena kalau semua kelompok sibuk tertawa-tawa dan berkhayal bagaimana asiknya praktek menjadi seorang pekerja, kelompok mereka justru hanya mengeluarkan satu dua patah kalimat yang saling susul menyusul dengan hening.
“Huh, magang ya?” Gumamnya, pada diri sendiri. Dan pertanyaan itu dijawab oleh suara perutnya sendiri, ia lupa kalau ia belum makan malam.
Karang keluar dari kamarnya, menuju dapur dan membuka tudung saji. Lagi-lagi nasi goreng, dan itu pasti khas buatan adik perempuannya. Nasi goreng keasinan. Akhirnya ia hanya menyeduh kopi dan membawa beberapa jajanan, kembali ke kamarnya. Ini akan menjadi hari-hari yang sulit, karena mau tidak mau Karang harus bersosialisasi dengan orang baru, dan ia tidak terlalu suka itu.
Karang menyesap pelan kopinya, saat itu ponselnya berdering. Satu panggilan masuk, Nandaru.
Untuk pertamakalinya, ia mendapat telepon lain selain dari Abangnya. Karang segera menekan tombol hijau dan, “Halo?”
“Udah dapet sms dari Sam?”
Alis Karang bertaut, kemudian melepas sebentar ponselnya dan benar saja, ada satu pesan masuk. “Sudah, tapi saya belum baca”
“Oh gitu,” Karang bisa merasakan Nandaru yang mendesah pelan “Besok kan libur, jadi rencananya kita bakalan mulai cari tempat magang”
“Ohya?”
Diseberang sana Nandaru sedang mengutuk Karang yang pasifnya bukan main. “Ya”
“Nggak perlu,” ucapnya datar. “Saya sudah tahu dimana tempat kita akan magang, dan saya bisa urus semuanya sendiri”
“…”
“…”
“Halo? Nandaru?”
Klik! Sambungan terputus.
Karang menatap aneh ponselnya, kenapa diputus? Tapi bukan masalah, ia memang yakin jika ia sudah mendapatkan tempat magang itu. Jadi dengan begitu ia tidak perlu lelah-lelah untuk mencari tempat magang sendiri, berkeliling kota dan harus susah payah mengenal orang baru. Begitu merepotkan.
YOU ARE READING
Grey Under The Rain-bow!
Novela JuvenilGrey Under The Rain-bow! adalah naskah yang beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari judul, setting cerita, maupun penokohan. Naskah ini pertama kali digarap oleh saya sendiri pada tahun 2013, berawal dari ide-ide yang saya tuang dalam buku dra...