Aku
Tidak bisa menembus batas lautan yang biru
Tidak juga samudera itu
Aku
Tidak dapat mengirim sebentuk perhatian untukmu
Tidak bisa meskipun keberanianku terisi penuh
Aku
Bisu dihapanmu
Kau menjadi seperti angin untukku
begitu cepat, lalu mejauh
Aku
Ingin menghapusmu seperti hujan menghapus gersang
Ingin mengakhirimu seperti sebilah pedang mengakhiri hidup musuh-musuhnya
Tetapi aku
justru menjelma harapan untuk sepi
entah di malam siapa
di mimpi dimana aku dapat mencapaimu
Atau di sebentuk doa yang diam-diam ada untukmu.
Adakah engkau untukku?
*Bulan Biru, 02/05/2013 00.07 wib
Karang tercenung membaca puisi itu. Ia menahan nafasnya sejenak lalu menghembuskannya. Sekarang ia tahu siapa Bulan Biru yang membantu adiknya menulis karangan yang sama indahnya. Ini semua karena Karina malam itu mengetuk pintu kamarnya. Tidak seperti biasa, anak itu kemudian masuk dan duduk di ranjang milik Karang. Mengayun-ayunkan kakinya iseng.
"Ada apa?" Karang bertanya. "Tumben kesini"
"Abang Surya nggak marahin bang Karang?" Karina bertanya polos.
Karang menaikan bahunya, "Abang kan pulangnya malam terus, kalau malam bang Karang udah tidur"
Karina ber-Ooh pendek. Ada yang ia ingin sampaikan untuk Karang. "Bang, tadi perempuan yang ada di meja makan namanya siapa?"
Karang melirik Karina, lelaki itu tengah sibuk merapihkan catatan pelajarannya. "Yang mana?"
"Yang.. uhm.." Karina mengingat-ingat. "Yang pakai sweeter biru"
"Ayasa?" bola mata Karang melebar. "Kenapa?"
"Oh namanya Ayasa"
"Emang kenapa, Karina?"
"Dia Bulan Biru"
Karang terdiam untuk sesaat. Ia saja hampir lupa tentang karangan milik Bulan Biru itu, tiba-tiba malam ini adiknya datang dan memberitahukan siapa pemilik nama itu.
"Karina mau bilang terimakasih tadi, tapi kayaknya Abang lagi ngomong serius ya sama teman-teman Abang?" Tanya Karina. Ya, seandainya saja tadi suasananya tidak setegang itu, ia ingin sekali ngobrol banyak dengan Kaka Bulan Birunya. "Jadi nanti pagi Karina mau bikinin kak Ay... siapa tadi?"
"Ayasa"
"Ya, kak Ayasa, bekal!" Karina semangat.
"Bekal apa?"
"Nasi goreng. Sebagai tanda terimakasih"
Karang hanya bisa mengiyakan permintaan adiknya. Dan malam ini, entah mengapa ia ingin mengenal sosok Ayasa lebih jauh. Tidak, Karang tidak akan menelepon gadis itu karena Ayasa masih terlalu dingin untuknya. Karang juga tidak akan mengajak gadis itu untuk saling bertukar pesan dengannya, karena itu sama sekali bukan Karang. Jadi dengan cepat ia membuka laptopnya dan menyalakan koneksi internet.
YOU ARE READING
Grey Under The Rain-bow!
Fiksi RemajaGrey Under The Rain-bow! adalah naskah yang beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari judul, setting cerita, maupun penokohan. Naskah ini pertama kali digarap oleh saya sendiri pada tahun 2013, berawal dari ide-ide yang saya tuang dalam buku dra...