Bab 8 ; Langkah Pertama

10 3 0
                                    

"Jaga depan!"

"Sam!"

Sam mengikuti arah suara, jauh diatas kepalanya sebuah bola melayang, namun belum sempat ia menggapai bola itu, seseorang telah lebih dulu menabraknya. Sam jatuh tersungkur, ia mengaduh pelan. Lawan yang menabraknya punya badan yang besar yang tidak bisa ia tahan.

"Yo, bangun" sebuah tangan terulur. "Kita ulur waktu biar kedudukannya tetap 3-2"

Sam menyambut uluran tangan kawannya tadi, kemudian kembali berlari menuju lapangan. Ia tidak perduli jika kini badannya penuh dengan debu dan kotoran, keringat yang lepek dan lengket, ia hanya perlu beberapa menit untuk membuat timnya menang dalam pertandingan ini.

Diseberang perpustakaan, sepasang mata dengan iris cokelat menatapnya jenuh. Kalau siswi-siswi lain menatap Sam yang berkeringat seperti itu dengan penuh gairah dan rasa kagum, berbeda jauh dengan gadis yang sejak satu jam yang lalu duduk di depan perpustakaan. Ia tidak berteriak, tidak juga ikut bersorak-sorai layaknya siswi-siswi yang lain, yang ia tunggu adalah kapan pertandingan itu selesai. Dan rasanya lama sekali.

"Hei," Karang mendekatinya, mencoba mengalihkan pandangan mata cokelat itu dari sosok Sam."Belum mau dimulai juga?"

Ayasa menoleh dan mendesah pasrah. "Susah jelasinnya kalau nggak ada Sam"

Karang diam sejenak untuk kemudian duduk di samping Ayasa, ia mengamati gadis itu, dan buku yang dibawanya. "Memangnya penting sekali? Menyangkut pelajaran, atau magang?"

"Magang" Ayasa menjawab singkat, tidak mengalihkan pandangannya dari lapangan.

Karang menyerah untuk mengajak gadis itu bicara. Karang tahu, ia mengagumi sepasang mata milik Ayasa. Matanya sama seperti mata mendiang ayahnya, teduh dan penuh perhatian. Ia tidak bicara, hanya diam. Sampai kemudian lembaran-lembaran buku yang dipegang Ayasa tersingkap angin.

Tulisan itu, bentuk tulisan itu... Seperti Karang pernah melihatnya, tapi dimana?

"Karang" itu suara Nandaru. Lelaki bertubuh tinggi besar itu masih sibuk menyeka peluh yang membanjiri jersey bolanya, sambil mengipas-ngipas badan ia mendekat. "Gimana nih, jadi?"

Ayasa hanya menaikkan bahunya. Jenuh karena terlalu lama menunggu.

Nandaru tahu, ia bersitatap dengan Karang dan anak itu hanya menaikkan satu alisnya. "Sam masih mandi dibelakang, bentaran lagi palingan"

"Kamu nggak mandi?" Karang menatap Nandaru dari atas sampai bawah. "Bau asem. Ya, Ayasa?"

Yang ditanya hanya geleng-geleng sambil ber-puh pelan.

"Nanti aja dirumah, lagian juga Ayasa kasian udah nunggu lama. Kita mau ngomongin ini dimana, Sa?"

Ayasa melirik Nandaru sekilas, "Dimana, ya? Udah sore, nggak mungkin juga kalau di sini. Tadinya gue mau ajak kalian ngomongin ini di perpustakaan"

"Ayasa, di rumah saya aja" Karang menawarkan. "Nggak apa-apa kok, kamu izin aja sama ibu kamu nanti pakai telepon ru—"

"Ayasa doang?" tiba-tiba, Sam sudah disana. Mengacak-acak rambutnya yang basah dengan handuk, aroma wangi menguar dari tubuhnya, berlawanan dengan aroma tubuh Nandaru.

"Ya, maksudnya kalian" Karang meluruskan.

"Yaudah" Ayasa menyetujui tawaran Karang. "Tapi omong-omong, Oka mana?"

Ahya, sedari tadi mereka berbincang-bincang, sedari tadi Ayasa menunggu Sam di depan perpustakaan, mereka sama sekali tidak melihat batang hidung Okanaya. Kemana anak itu?

"Lagi pacaran kali sama Rino" Nandaru nyeletuk asal. "Emang dari kemarin-kemarin juga dia yang paling nggak perduli"

"Rino kelas sebelah?" Sam penasaran, "Yang ganteng itu?"

Grey Under The Rain-bow!Where stories live. Discover now