Bab 10 ; Peluk

17 3 0
                                    


Rapat Osis itu berjalan sedikit alot, yang banyak berbicara hanya Sam, Ayasa sesekali menambahkan. Anggota-anggota yang lain sibuk membolak-balik profil restoran itu, sedikit tidak tertarik, namun mau apa lagi? Mereka tidak bisa berbuat banyak, sebab ketua mereka yang meminta agar program ini dijalankan secara berdampingan dengan bazar sekolah.

"Sam," di sudut meja, seorang anak lelaki mengangkat tangannya. "Boleh tanya sesuatu?"

"Silahkan"

"Di luar sana, masih banyak resto-resto yang belum bangkrut, bahkan boleh jadi masih lebih berkualitas, dan kita bisa membuat program ini berdampingan tanpa mengambil resiko. Kenapa lo ngambil resiko dengan memilih resto yang hampir bangkrut itu?"

Pertanyaan yang panjang, dan sangat-sangat logis, benak Ayasa. Matanya tidak lepas menatap anak lelaki itu, sementara pertanyaannya semakin membuat Ayasa tersudut oleh dirinya sendiri. Ia sudah cukup jauh melibatkan teman-temannya-yang pada dasarnya baru sebentar merasa sebagai teman-dan sekarang ia sudah melibatkan satu organisasi untuk ikut pusing bersamanya, sementara urusan resto itu adalah urusan pribadi pada dasarnya.

"Hary," Sam berkata tenang. "Lo nggak paham bagaimana prospek resto ini. Resto ini punya prospek yang benar-benar berbeda, pas buat kantong organisasi sekolah, sekaligus, konsepan mereka juga bisa kita atur, jadi nanti saat bazar, kita bisa masukin satu program lagi yang sebelumnya nggak pernah kita keluarin"

"Program apa lagi, Sam?" kali ini Gia yang bertanya. Mata beningnya menyorot sosok Sam, pria yang berdiri di depannya semakin mengagumkan ketika ia sedang terlihat penuh semangat. Seperti tidak ada satupun yang dapat menghentikannya.

"Pertama, kita bisa masukin Pensi di proposal kita. Nggak usah muluk-muluk ngundang siapa, sekolah kita punya band yang bagus punya, iya nggak, Re?" Sam berkata begitu sambil melirik ke arah Reno, si gitaris band.

"Sip, Sam!" Reno mengacungkan ibu jarinya.

"Di sekolah kita banyak kok yang keren-keren, soal budget, nggak usah khawatir" Sam mencoba meyakinkan seluruh anggotanya. "Dengan ini, kita bisa menjalankan program kedua. Café goes to School, kalau udah begitu, kita bisa buka bazar ini lebih luas lagi"

"Maksudnya lebih luas lagi?" kali ini nada Hary sedikit lebih menurun dari sebelumnya, merasa antusias dengan penjelasan Sam.

"Kita bisa undang sekolah lain, siapa saja, kita jual tiket. Via SMS Rp.10.000, On The Spot Rp. 15.000" Sam tersenyum brillian, ia sungguh telah memikirkan ide itu dari jauh-jauh hari. "Ini yang sekolah-sekolah besar lakukan, dengan budget yang tinggi. Kita bisa sama seperti mereka, dengan resto yang nggak kalah keren. Dan kalau ini goal, resto itu akan kembali buka!"

Ayasa ragu-ragu menambahkan, "Bisa sekalian bantu orang, kan?" tersenyum kaku.

"Nah iya, itu!"Sam tambah bersemangat. "Bantu orang, man! Kapan lagiii?"

Di ujung meja yang lain, Gia tidak pernah melihat Sam seantusias itu terhadap sebuah program yang ia jalankan. Ia tidak pernah melihat Sam sebahagia itu dengan apa yang dijalankannya, senyumnya, caranya berbicara. Tetapi Gia juga tidak pernah melihat Sam tersenyum setulus itu kepada orang lain, bahkan kepada dirinya. Senyuman yang baru hari itu ia lihat, senyuman yang penuh arti. Jantung Gia berdetak bersebab melihatnya, tetapi bukan karena Sam tersenyum seperti itu untuknya, Sam terus tersenyum sambil memandang perempuan di sebelah bahunya.

Betapa ia tahu yang dilihat Sam saat istirahat tadi adalah perempuan yang sama. Ayasa.. Penyakit hati pelan-pelan menyusup, ada apa?

*

"Oka, ayolah" Nandaru mensejajarkan langkahnya dengan langkah Okanaya yang lebar-lebar mirip seorang paskibraka. "Lusa lo harus ikut! Lo tahu nggak? Osis juga udah nyetujuin ngegandeng resto itu pas baz-"

Grey Under The Rain-bow!Where stories live. Discover now