"The snow doesn't give a soft white damn whom it touches."
- E.E. Cummings• • •
Satu sekolah pagi ini geger begitu melihat seorang cowok tampan memasuki koridor sekolah. Melihatnya saja efeknya sudah bisa membuat kaki lemas dan tubuh bergetar.
"Verarii!"
Sudah jelas, siapa lagi jika bukan Thalia dan Ika.Keduanya berlari kecil dan duduk di tempat yang berada didekat Vera.
"Kenapa sih." Tanya Vera yang mengetahui jika kedua sahabatnya ini baru saja berlari dari lantai satu dan berakhir ngos-ngosan.
Thalia menghela nafasnya terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Apaan? Gue kepo nih." Tanya Vera lagi.
"Jadi gini, kan gue sama Ika tadi abis dari toilet, trus kita ga sengaja liat ada anak baru lagi scan fingerprint sama pak Anang. Dan lo tau siapa? Dia Aldo, Ver! Aldo Maddison. Si cogan salju yang terkenal di SMA sebelah." Jelas Thalia panjang lebar.
"Hah? Salju?"
"Iya, ibarat dinginnya salju. Aldo pantes dapet julukan itu karna dia orangnya cuek, setau gue, Aldo gapernah yang namanya pacaran. Jadi ya gitu, kalo masalah cewek dia gapernah peduli.""Eh eh, itu tuh si Aldo lewat." Ika menunjuk ke arah dimana Aldo berada. Kelakuan Ika yang menggebrakkan meja sontak membuat kedua temannya hampir jantungan.
Oh iya ya. Dia kan Aldo yang waktu itu. Dingin? Menurut gue enggak deh kayaknya. Bahkan waktu itu dia senyum ke gue.
Batin Vera."Ganteng sekali makhluk ciptaanmu itu Yatuhan!"
"Bunuh adek bang, bunuh!" Kata Ika."Iyaa bang. Bunuh aja tuh Ika." Sambar Thalia disertai cengiran di wajahnya.
"Ewh lebay Jijik gue lama-lama sama lo berdua." Ejek Vera kepada kedua temannya yang menurutnya sama-sama awkward itu.
"Lebay an mana sama si preman cabe sekolah." Balas Ika.
Yang dimaksud Ika ialah Yuna, Adel, Vina, dan Hani. Bak preman, mereka tak jarang mengganggu Vera maupun kedua sahabatnya.
Vera sungguh risih jika bertemu dengan mereka. Lebih tepatnya seperti nyamuk DB. Pengganggu sekaligus penyakit.Vera, Thalia, dan Ika berjalan melewati koridor menuju kantin. Vera merasa ada langkah kaki yang mengikutinya dari belakang. Tepat saat ia berhenti melangkah, seseorang menabrak punggungnya dengan keras. Bahkan setelah itu terdengar suara sesuatu jatuh. Vera langsung menoleh dan mendapati Yuna yang sepertinya sengaja melakukan itu kepada Vera.
"Lo ngapain deprok di lantai? Macem cicak jatoh." Tanya Thalia.
Gadis dengan rambut pirang itu pun mendongak dengan wajah cemberut."Gara-gara temen blagu lo tuh. Tolongin kek."
Vera menatapnya tajam, "Lo sengaja ya Na?"
"Kalo iya emang kenapa? Sewot banget lo. By the way, kalo lo semua gamau gue ganggu lagi, gue punya syarat."
"Apa!?" Tanya Ika sebal, dengan nada yang sengaja ditinggikan.
"Lo semua jangan pernah nyoba ganggu apalagi deketin Aldo. Terutama lo Ver! Kalo ada salah satu dari kalian ngelanggar, liat apa yang bakal terjadi."
Tak ada yang menjawab ocehan Yuna. Yang ada, Vera, Thalia, dan juga Ika hanya menatap gadis sok cantik itu dengan tatapan tajam. "Dasar lombok." Ucap Thalia saat melihat Yuna yang akhirnya pergi meninggalkan mereka.
Langkah Vera terhenti. Matanya menyapu seisi kantin, mencari dimana letak teman-temannya yang tadi sudah janjian untuk bertemu di tempat ini. Vera menoleh kesana kemari dan didapatinya Arga, Kevin, Vino dan Vano sedang berkumpul di meja pojok kantin. Dan, satu lagi, Who is he?
"Eh Ver, sini dong." Panggil Kevin. Segera Vera menghampiri mereka dan duduk di bangku kosong.
"Gimana, lo gak lagi PMS lagi kan Ver?" Ceplos Arga disusul dengan cengengesan bersama temannya yang lain.
"Pasti tadi lo abis marah-marah lagi ketemuan sama Incess Yuna." Ejek Vano, "Keliatan dari muka lo Ver. Kayak abis ngusir setan."Mendengar cibiran dan tawaan teman-temannya yang tak ada hentinya, Aldo yang ada di hadapan Vera sedari tadi hanya diam tak bersuara. Bahkan kehadiran Aldo seperti bayangan yang tidak bisa dilihat.
"Bisa diem gak!? Lama-lama pengen gua potong anu lo semua, SATU SATU." Ancam Vera.
"Jiwa witches nya Vera udah balik lagi nih ceritanya. Atut ahh."
Lagi-lagi mereka tertawa. Vera kemudian bangkit dari kursi, hendak pergi dari kantin. Ia sedikit kesal dengan kelakuan teman-temannya itu. Apalagi, ia baru saja bertemu dengan moodbreaker nya, Yuna."Oh iya Do, gue lupa ngenalin lo tadi. Cewek yang barusan pergi darisini namanya Velera. Kita sering banget tuh gangguin dia. Lo tau kan, dia kalo lagi marah lucu banget."
"Oh, Velera." Jawab Aldo seadanya.
Yap. Dia Velera. Dari dulu hingga sekarang, gak berubah sama sekali.
•
Bel sekolah berbunyi. Menandakan jam pelajaran telah berakhir. Kali ini, Dava tidak bisa menjemput Vera seperti biasa. Sepertinya Dava ada urusan penting. Terpaksalah Vera harus berjalan dan mencari angkot di dekat sekolah.
Vera bukanlah gadis manja karena memiliki keluarga yang kaya raya. Vera tidak pernah mengeluh jika harus melakukan sesuatu yang jarang dilakukan remaja seusianya.
Belum ada 20 meter Vera berjalan, ia sudah kena sial. Seseorang membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Vera menunduk menatap seragamnya. Kotor sekali, mana warnanya putih. Mobil Jazz hitam itupun berhenti.
Vera sedikit mundur ketika pintu mobil itu terbuka. Seorang cowok berpawakan tinggi dengan kulit putih bersih keluar dari mobil tersebut.
Dengan wajah tanpa ekspresi yang selalu ia pamerkan. "Maaf." Kata cowok itu lesu.
Vera membasahi bibir, emosinya mulai tersulut. "Maaf, maaf pala lu peyang. Ini gimana seragam gue? Lo mau ganti rugi?" Tegas Vera, "Udah deh lo pergi sana. Kalo kehadiran lo cuma buat nontonin doang."
Dengan tampang angkuh cowok itu menatap Vera kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Yaudah." Balasnya singkat, padat, dan jelas. Kemudian Ia pergi dengan wajah polosnya tanpa dosa.
Vera berkacak pinggang, memandang tak percaya. Oh, kini Vera tidak bisa menahannya lagi, tangan Vera sudah mulai gatal ingin menjambaki rambut cowok tinggi itu.
Entah cowok itu buta atau apa Vera tidak tahu. Yang ia tahu seragamnya kini telah ternodai.
[TBC]
• • •
Ditunggu part selanjutnya ya! :)
With love, Silva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maddison
Teen Fiction[DALAM PROSES REVISI] Mengenal sosok Aldo Maddison membuat Velera tersadar. Seiring berjalannya waktu, kebencian Velera pada Madd justru menumbuhkan rasa takut kehilangan yang semakin mendalam. "Yaudah." "Maaf." "Bawel." "Hm." "Ya." Madd bukanlah...