"You are like dentures, because I could not smile without you."
- Unknown• • •
Hujan deras turun sore ini. Vera tengah berdiri diam di balkon SMA The Academy, menunggu kakak laki-laki Vera datang menjemput. SMATA merupakan salah satu sekolah elite yang ada di Jakarta.
Sekolah sudah mulai sepi. Sedikit demi sedikit, teman Vera sudah pulang. Begitu juga dengan Thalia dan Ika yang sudah pamit di awal tadi karena orang tua mereka datang menjemput. Vera menolak secara halus kala di tawari menebeng di mobil ayah Ika agar tidak terlalu sore sampai di rumah, tetapi Vera bilang tidak apa-apa karena ia ada yang menjemput setelah ini.
Perhatian Vera tiba-tiba sepenuhnya tertuju pada seorang cowok asing yang baru saja menghentikan langkah tepat di sebelah Vera. Sepertinya, orang itu juga sedang menunggu jemputan.
Beberapa cowok kelas 11 IPA 3 menyapa Vera, berharap mendapat perhatian darinya. Maklum, Vera cukup cantik-sebenernya memang cantik-untuk remaja seusianya.
Setelah membalas sapaan mereka dengan cengiran, Vera kembali menatap cowok misterius itu dengan sungguh-sungguh.
Siapa cowok ini? Kok seragamnya beda?
Batin Vera ingin tahu.Vera melihat bedge di bawah pundak cowok itu. Oh, namanya Aldo.
Vera mengamati penampilan Aldo dengan seksama. Dari atas hingga bawah.
Aldo hanya mengerutkan alis ketika menyadari gadis berambut hitam lurus di sebelahnya sedang sibuk memperhaatikannya. Sebenarnya, Ia sudah melihat gadis itu saat Aldo berkeliling di sekolah barunya.
Setelah sekian lama menunggu, kakak laki-laki Vera, Dava, akhirnya datang menjemput. Vera membuka payung kecilnya perlahan-lahan. Sebelum meninggalkan balkon, Tanpa aba-aba, Vera maupun Aldo menengok bersamaan. Aldo memberanikan diri membentuk seulas seyum tipis. Sesuatu mengganjal di hati Aldo. Entah mengapa, Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya.
Deg.
Bagi Vera, dunia terasa sempat berhenti seketika. Seyuman Aldo membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Vera pun membalas seyuman Aldo.
Vera kembali melangkah pergi meninggalkan Balkon, tempat dimana Vera dan Aldo bertemu.
•
Di rumah Vera kali ini terasa sepi sekali. Hanya ada suara rintikan air hujan. Sewaktu hujan seperti ini, memang paling enak bermalas-malasan sambil meminum susu hangat.
"VERA!" Teriak seorang yang menghebohkan seisi rumah.
Orang yang dipanggil Vera tersebut mencari darimana suara itu berasal. Didapatinya Dava yang sedang bermain salah satu game online di ruangan sebelah kamar Vera."Dek, bantuin gue dong. Lanjutin nih war gue."
"Ish dasar lu kak. Gue kira apaan." Aku meraih laptop dihadapan Dava.
"Gue mau ke toilet bentar. Awas lo sampe kalah."
"Bodo amat." Jawab Vera singkat.
Vera dan kakak cowoknya memang memiliki banyak kesamaan. Terutama dalam hal hobi bermain game online. Tak sedikit yang mengatakan mereka terlihat selalu akur. Nyatanya tidak.
•
Balasan senyuman seorang gadis mungil tadi sungguh membuat Aldo tak bisa berhenti memikirkannya. Tadinya, Aldo enggan tersenyum. Nggak pernah sekalipun Ia berpikiran untuk tersenyum kepadanya.
Kau juga harus tahu, Aldo tidak pernah menyukai atau menjalin hubungan dengan gadis manapun. Bahkan Aldo jarang untuk tersenyum. Dia sedikit dingin dan cuek. Catat itu-kalau perlu garis bawahi.
Banyak sekali yang ingin mendekatinya. Namun, Aldo merasa semua cewek yang berusaha mendekatinya hanya sekedar terobsesi saja. Mungkin karena ketampanannya. Bukan karena tulus dengan hati.
Aldo membuka buku diary pada halaman yang kosong dan mulai menuliskan beberapa kalimat. Tak sampai dua menit, Aldo sudah menyelesaikan satu paragraf.
"Gue inget waktu pertama kali ngeliat senyum manis itu, waktu pertama kali menatap wajah itu."
Begitu Aldo beranjak pergi meninggalkan meja tempat ia menulis, kepalanya tiba-tiba terasa pening hingga Aldo tidak dapat mengontrol pandangannya.
Aldo segera mengambil antibiotik yang sempat ia beli di poliklinik. Pandangannya semakin lama semakin buram. Antibiotik yang sudah lama dikonsumsinya itu pun langsung Ia telan dengan air putih yang ada di dekatnya.
Seketika Aldo dapat mengembalikan pandangannya. Walau hanya sebentar, Aldo yakin sakit itu akan kembali lagi sewaktu-waktu.
Rasa sakit pada kepalanya bermula sejak Aldo pulang dari outbond tahun lalu.
Aldo berubah panik saat seorang wanita paruh baya memasuki kamarnya.
"Aldo, kamu kenapa sayang?" Tanya Modena, ibu Aldo.
"Ng-gak papa ma." Elak Aldo."Kok muka kamu pucet gitu? Kamu sakit?"
"Mungkin cuma kecapean aja kok ma."
"Kalo sakit jangan diem aja lho ya."
"Iya mamaku sayang. Udah nggak usah khawatirin Aldo. Mama khawatirin diri mama sendiri dulu. Besok aku anterin ke dokter lagi ya ma." Pinta Aldo.
"Udah deh. Mama udah gak papa kok. Oh ya, gimana udah liat sekolah barumu belum?"
"Udah dong ma. Hayuk ma aku anterin ke kamar. Kata Dokter Ari mama harus banyak istirahat."Aldo sudah mengurus surat kepindahannya ke SMA The Academy sore tadi. Modena sengaja memerintahkan anak semata wayangnya itu untuk pindah sekolah. Ia ingin Aldo dapat lebih berbaur dengan yang lain. Sekaligus ingin mendekatkannya dengan anak dari sahabat Modena.
Setelah suaminya meninggal saat Aldo masih berumur 8 tahun, Modena adalah seorang single parent hingga saat ini.
Setelah selesai mengantarkan Modena, Aldo kembali melanjutkan kegiatan menulisnya.
"Hari-hari gue selalu diliputi dengan rutinitas dan kesibukan. Sampai gue lupa, seseorang yang pernah ada dikehidupan gue, yang jadi alasan gue buat ngelanjutin hidup. Saat yang gue takutin terjadi, 10 tahun lalu.
Gak sedikit waktu tersisa buat urusan perasaan. Nggak perlu tanya apa penyebabnya. Sebab sosok menawan yang gue lihat beberapa waktu lalu, yang kini kerap menghantui pikiran gue. Gue harap ada kesempatan di mana waktu dan tempat yang akan mempertemukan kita lagi, walaupun mungkin lo udah lupa sama gue."[TBC]
• • •
Terima kasih untuk semua pembaca wattpad yang sudah menyempatkan berkunjung ke work saya!
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara Vomments di seluruh part dalam story ini-
kasih saran dan kritik nya juga yaa!!Hope you like it❤️
With love, Silva.
![](https://img.wattpad.com/cover/94588089-288-k846822.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Maddison
Подростковая литература[DALAM PROSES REVISI] Mengenal sosok Aldo Maddison membuat Velera tersadar. Seiring berjalannya waktu, kebencian Velera pada Madd justru menumbuhkan rasa takut kehilangan yang semakin mendalam. "Yaudah." "Maaf." "Bawel." "Hm." "Ya." Madd bukanlah...