PROLOGUE (REVISI SESUAI NOVEL A&A)

8.1K 434 34
                                    

Follow me on
IG: @rachmafadil

Vote & komen please!
Jangan jadi silent readers!

Happy reading... 😊

Banyak orang bilang bahwa pertemuan pertama hanyalah sebuah kebetulan. Tapi jika ada pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya, apakah itu masih bisa disebut kebetulan? Atau justru merupakan permainan takdir karena campur tangan Tuhan?

A&A by Rachma

Adis berjalan tergopoh-gopoh menuju gerbang sekolah barunya. Di hari pertama MOS, dia malah telat karena kakaknya, Ardhan, tiba-tiba sakit. Terpaksa dia harus menunggu bus di halte yang ternyata lama banget datangnya.

Jarak beberapa meter yang makin lama makin terhapus langkah kakinya tidak juga membawa keberuntungan berpihak padanya. Berdiri di depan gerbang dengan muka angkuh dan sorot mata terhunus lurus, seorang panitia MOS cewek menatapnya dengan tatapan yang bisa bikin semua siswa baru jiper. Di sampingnya, seorang panitia cowok mengikuti langkahnya dengan tatapan tegas. Sikapnya biasa. Tapi Adis yakin, dibalik ketenangannya, tersimpan amunisi yang jika disentuh—bahkan dengan sentuhan sehalus helaian bulu sekalipun—akan meledak kapan saja karena sifat balistiknya.

Ketika hampir mencapai pintu gerbang, langkah Adis memelan. Mendekati kedua panitia penjaga yang hanya berjarak beberapa rentangan tangan, kepalanya tertunduk rendah. Dia sudah pasrah kalau pada akhirnya omelan akan didapatkannya sebentar lagi.

"Namamu siapa?"

Suara panitia cewek­­—yang ketajamannya bahkan mengalahkan bayonet—mengintimidasi Adis. Menderingkan sinyal bahaya dalam kepala dan mengirimkan pesan bahwa kini kepatuhanlah satu-satunya hal yang menjadi senjatanya untuk bertahan.

"Adista, Kak," jawabnya pelan.

"Nama lengkap!" sentak cewek itu.

"A-adista Da-dahayu Dhipa." Suara Adis mendadak tergagap saking takutnya. Panitia cowok yang berdiri di sebelah panitia cewek itu menulis namanya di buku catatan keterlambatan siswa.

"Kamu tau ini jam berapa?"

Adis mengangguk. "S-saya tau, Kak."

"Jam berapa sekarang?"

Dilihatnya jam di pergelangan tangan. "J-jam tujuh ku-kurang lima me-menit, Kak."

"Trus jam berapa kamu disuruh wajib ada di sini dan harus udah siap di lapangan?"

"Jam tu-tujuh kurang lima belas m-menit, Kak."

"Kalo udah tau, kenapa masih telat?"

"Maaf, Kak, tadi busnya la-lama dateng. Ja-jadi saya nggak bisa sampe sini t-tepat waktu."

"Alasan!" gertak panitia cewek itu. Adis menunduk dalam-dalam. "Karena kamu murid pertama yang telat dateng, sekarang kamu saya hukum keliling halaman sebanyak lima kali putaran."

Mata Adis terbelalak. Lima kali? Berlari di halaman sekolah yang luasnya bahkan hampir mirip lapangan sepak bola? Itu nggak mungkin banget bisa dia lakukan, mengingat pagi ini secuil makanan dan seteguk susu belum sempat masuk ke perutnya. Adis yakin, belum satu putaran pasti dia sudah tepar duluan.

"Tunggu apa lagi?" Suara panitia cewek itu menyentak kesadarannya. "Sana lari!"

"B-baik, Kak."

Pasrah, Adis masuk ke halaman sekolah dengan langkah gontai. Dilihatnya beberapa anak sudah berjajar rapi membentuk barisan. Beberapa panitia meneliti atribut-atribut MOS yang wajib mereka bawa. Ternyata banyak di antara para siswa yang tidak membawa atribut lengkap. Mereka pun mendapat hukuman. Ada yang disuruh beryanyi di samping tiang bendera. Ada yang disuruh mengumpulkan daun kering sebanyak seratus lembar di halaman belakang. Ada yang diperintah untuk lari mengelilingi lapangan basket outdoor atau voli. Ada pula yang diperintah untuk meminta tiga puluh tandatangan kakak kelas, bukan termasuk panitia MOS, yang nama-namanya sudah disebutkan di dalam lembar HVS. Sialnya, ketiga puluh nama itu sudah terkenal suka mempersulit para siswa baru agar bisa mendapat tandatangan mereka.

Misalnya seperti tahun lalu, Zahra—cewek paling cantik di kelas sebelas—disuruh naik ke rooftop gedung kelas dua belas. Di sana dia diperintah buat meneriakkan pernyataan cinta ke Edo, cowok yang menyuruhnya, dengan suara sekeras mungkin. Sebenarnya dia keberatan. Tapi mau gimana lagi? Mending iyain aja perintah kakak kelas berotak geser itu daripada kena perpanjangan hukuman kalau nggak bisa menyelesaikan dalam waktu yang sudah ditentukan.

Dari sekian murid peserta MOS, sepertinya Adislah yang paling apes. Perintah panitia cewek yang berjaga di pintu gerbang tadi benar-benar menyiksanya. Gimana enggak? Halaman depan sekolahnya terdiri dari satu lapangan basket, satu lapangan voli, satu lapangan futsal, dan satu lapangan badminton. Ini namanya bukan MOS, tapi perploncoan yang biasa digunakan sebagai ajang balas dendam mereka ke adik-adik kelas.

Karena nggak mau mendapat teguran lagi, Adis akhirnya mulai lari. Ditahannya perut yang sudah mengeluarkan asam lambung. Kini setengah putaran sudah sukses dia lewati. Tapi mendadak kepalanya berdenyut sakit. Perutnya pun terasa perih. Pandangannya makin lama makin mengabur. Berat tubuh yang tadinya masih bisa ditopang oleh kedua kaki, sekarang jadi tambah berat. Untuk sepersekian perputaran jarum jam, Adis masih bisa memaksa kakinya tetap melangkah. Tapi di detik-detik kemudian, gaya gravitasi seakan mencengkeram badannya kuat-kuat dan menariknya ke arah di mana bumi ingin mendekapnya. Dan di detik terakhir, kegelapan pekat seketika menyergap. Adis sudah tidak tahu apa yang terjadi. Tapi di saat pejaman mata masih menyisakan sedikit ruang pandang, dia melihat sosok yang terbalut kecemasan pada wajahnya yang terpahat sempurna.

Dialah bumi yang menangkapnya.

***

Adis terbangun beberapa saat kemudian. Kepalanya masih terasa pening. Dia lalu memindai ruangan di mana dirinya berada sekarang. Dilihat dari bentuk ranjang dan alat-alat yang ada di dalamnya, bisa ditebak kalau ruangan ini ruang UKS. Dengan mengerahkan sisa tenaga, Adis memaksa dirinya bangkit dari posisi tidur dan duduk di atas tempat berbentuk persegi panjang yang didominasi warna putih. Pada sandaran ranjang di belakangnya, cewek itu mengharapkan sedikit topangan untuk menyangga beban tubuhnya.

Adis menoleh ke kanan. Dilihatnya segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng tergeletak di atas nakas di sampingnya. Dengan ragu, diambilnya gelas itu kemudian diminumnya beberapa teguk. Rasa hangat langsung menjalar di seluruh badan. Kemudian diletakkan kembali gelas itu di tempat asalnya. Cewek itu lalu mengambil piring berisi nasi goreng yang masih menyisakan sedikit uap, menandakan kalau nasi itu masih hangat. Baru saja Adis menggeser piring, sebuah hand band hitam yang sering dipakai para pemain basket muncul di balik piring tersebut. Penasaran, diambilnya benda itu dan dibawanya mendekat. Satu nama merek perusahaan terkenal yang banyak menyediakan alat-alat olahraga terpampang di permukaan luarnya. Adis lantas membolak-balikkan benda itu. Saat melihat sebuah nama terukir kecil di sana, cewek itu membacanya dengan saksama.

Aditya Kavin Parabawa

***

Adista & AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang