bagian 1

3.1K 146 1
                                    

"Om Arief sama tante Rifka kapan pulang?" Tanya Iqbaal pada gadis di sebelahnya yang sejak beberapa jam lalu menatap fokus pada layar laptop. Iqbaal melirik sekilas, melihat aktor dan aktris bermata sipit dengan kulit seputih salju sedang berdebat, menggunakan bahasa yang begitu asing di telinganya. Entah apa yang mereka ucapkan, Iqbaal sungguh tidak mengerti, tapi saat pria itu mengatakan 'mianhae' gadis di hadapannya menangis, bersamaan dengan terdengarnya suara isak gadis di sebelahnya.

Gadis ini menangis lagi, heh?

"Kenapa lo nangis, (namakamu)? Emangnya lo ngerti mereka ngomong apaan?" Iqbaal tak pernah mengerti dengan (namakamu), gadis itu selalu saja menangis, tertawa terpingkal-pingkal, atau senyum-senyum seperti orang tolol saat menyaksikan Drama Korea.

Iqbaal kemudian melihat (namakamu) menangkup wajahnya dengan kedua tangan, menangis sesegukkan seakan-akan apa yang di rasakan aktris di drama itu benar-benar dia rasakan. Perempuan memang seperti itu ya? Terlalu mendramalisirkan keadaan? Ini kan cuma tontonan.

"(Namakamu)," panggil Iqbaal. Tak ada sahutan, jadi alih-alih sebagai menyadarkan gadis itu, Iqbaal menarik-narik pelan lengan (namakamu). "Gue pulang ya? Udah malem," selesai mengucapkan itu, Iqbaal malah mendengar suara tangisan (namakamu) semakin kencang. Gadis ini kenapa?

(Namakamu) mengusap wajahnya, menyenderkan lebih dalam punggungnya pada sofa lalu menatap sekilas lelaki di sebelahnya, yang sedang memandangnya dengan bingung. Ya, ekspresi seperti itu selalu Iqbaal perlihatkan jika melihat (namakamu) menangis saat menyaksikan sebuah drama atau pun film yang berakhir sad. (Namakamu) mengalihkan pandangannya ke arah laptop, layar laptopnya sudah menghitam dan memperlihatkan tulisan hangul yang dia tak mengerti bergelincir ke atas. Dramanya sudah selesai.

"Haus," kata (namakamu) mengadu, dia menggosok lehernya yang terasa mengering. "Baal! Gue haus!" (Namakamu) merengek merasa yang dimintai bantuan tidak merespn lantai dia gantian menarik-narik lengan Iqbaal.

Iqbaal mengerjap. "Lo manja banget sih, (namakamu)," gerutu Iqbaal, tapi dia tetap beranjak dari sofa, berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air untuk (namakamu).

Sahabat perempuannya ini memang selalu manja padanya. Sahabat yang sudah dia kenal sejak kecil ini hampir selalu menghabiskan waktu bersama-sama dengannya. Kedua orang tua mereka adalah patner bekerja dan sudah bersahabat lama, seakan tak ingin persahabatan di antara kedua orang tua mereka terputus, Iqbaal dan (namakamu) yang memang anak satu-satunya dari orang tua mereka seolah menyambung tali persahabatan itu. Iqbaal selalu berpikir kalau (namakamu) adalah sahabat terbaiknya, gadis manja yang serba bergantungan dengan orang-orang terdekatnya itu memang tampak rapuh dan cengeng. Seperti tadi, gadis itu selalu menagis saat menonton drama korea. Ada banyak hal yang membuat Iqbaal berpikir kalau (namakamu) memang membutuhkannya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue,"

Meletakkan gelas kosong di meja, (namakamu) menoleh pada Iqbaal. "Apa?"

"Orang tua lo kapan pulang?"

"Katanya besok, tapi gue nggak tau kapan mereka sampe di rumah. Memangnya kenapa? Lo udah bosen nemeni gue terus di rumah?" (Namakamu) memicing matanya ke arah Iqbaal, membuat lelaki itu menggeleng cepat. Seolah tak mau membuatnya marah atau merasa sedih. "Terus?"

"Gue nanya doang, nggak usah marah-marah, " Iqbaal nyengir seraya mengusap puncak kepala (namakamu). Hal yang paling sering dia lakukan saat (namakamu) hendak marah padanya.

"Siapa yang marah," (namakamu) mendengus.

"Lo,"

"Sama lo?"

EmotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang