Mimpi Buruk

1.2K 53 8
                                    

JAKARTA, 1 JANUARI 2017

"Tidak.. jangan.. aku gak mau.. tidaaakkkk!!!" Johara langsung bangkit terduduk dengan dahi penuh keringat, nafasnya ngos-ngosan seolah baru saja berlari marathon 10 km. Mata kelincinya melihat jam di dinding kamarnya dan jarum jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi, ini sudah keratusan kalinya ia mengalami mimpi buruk yang sama dalam satu tahun ini, dan hal itu cukup membuat Johara merasa stress dan tertekan.

Gadis cantik itu  pun langsung meraih gelas di atas nakas di sisi tempat tidurnya lalu menenggak habis tak bersisa isi di dalamnya. 

"Sorry... I can't do this," ucapnya lirih pada sebuah kotak yang tersimpan rapi di sudut buffet kamar tidurnya. Kemudian ia bangkit menuju kamar mandi untuk bersiap memulai harinya.

Sementara itu, di belahan bumi lain, tampak seorang pria tengah duduk termenung bersandar pada kepala tempat tidurnya dengan nafas terengah. Keringat dingin membasahi wajah tampannya. Sebuah awal pagi yang selalu sama selama satu tahun ini, bangun dengan teriakan karena mimpi yang sama. Beruntung ia tinggal di apartemennya sendiri sehingga tidak ada yang tahu kejadian mengerikan yang ia alami tiap bangun dari tidurnya. Ia tak tahu sampai kapan harus mengalami kejadian yang sama tiap paginya, berbagai upaya ia lakukan agar bisa bangun pagi dalam keadaan damai namun semua usahanya nihil hasilnya. Yang jelas, hal itu kini menjadi sesuatu yang terpaksa ia anggap biasa, ia akan terbangun dengan teriakan dan bermandikan keringat setelah itu ia akan menjalani rutinitas hariannya seperti biasa. Pergi ke kantor, meeting, lalu menghabiskan waktu dengan laptop di depannya dengan berbagai angka dan huruf yang setia memanjakan mata elangnya.

CAFÉ AMORA

"Siang, Helen."

"Masih idup loe!" sambut Helen saat melihat kedatangan Johara.

"Hehehe... masih, dong. Nih liat, kaki gue masih napak di tanah, sehat dan cantik."

"Eh.. sekali pun loe pemilik café ini, yang on time donk!!! Ini jam berapa bos?!? Jangan alesan karena party semalem loe bisa molor!!!"

"Eits... dilarang protes! Bos berhak mau datang jam berapa pun. Gimana café, rame???"

"Loe liat aja ndiri!!!" Dengan tampang tanpa merasa bersalah, Johara mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut café dan mendapati semua meja hampir terisi oleh tamu yang sedang menikmati makan siang mereka.

"Hahahaha... I love you, Helen. You're my best friends ever, mu..mu..muach!"

"Ih.. Najong! Sono buruan jaga meja kasir! Gue mau layanin tamu."

"Siap braaiii!!"

Café Amora adalah café milik Johara. Sejak ia lulus kuliah, ia langsung memutuskan untuk berwirausaha. Dengan berbekal ilmu dan pengalamannya selama hidup diluar negeri, akhirnya Johara memutuskan untuk membuka café disalah satu mall terbesar di Jakarta. Dibantu oleh sahabatnya Helen sebagai manager marketing, café Amora milik Johara berkembang pesat dan menjadi salah satu café yang paling banyak dikunjungi oleh anak muda untuk kongkow bersama teman-teman mereka.

"Huff... always same!" gumam Johara sambil memfokuskan matanya pada layar laptop di depannya mengecek hasil penjualan hari ini.

"Apanya yang sama??" Sahut Helen dengan wajah yang masih tersisa kekesalan karena keterlambatan kedatangan sahabat sekaligus bosnya itu sehingga ia cukup kerepotan melayani banyaknya pengunjung di café mereka.

"Mimpi itu," ucap Amora sambil menghembuskan nafas dengan bertanya.

"Loe ke psikiater aja, deh! Gue punya kenalan psikiater yang bagus."

"Sembarangan! Emang gue gila kayak loe butuh psikiater!"

"Eh.. gak perlu nunggu loe gila dulu untuk pergi ke psikiater! Sudah hampir 365 hari ini tiap pagi loe selalu berhalusinasi, ini udah cukup jadi alesan loe butuh psikiater!" Johara memutar bola matanya jengah mendengar ocehan yang sama dari sahabatnya ini.

Surat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang