I

151 10 0
                                    

Kaca tebal anti peluru berdiri dengan angkuh dalam bingkai kayu mengkilap, dingin, dan menebar kepongahan. Galeri 247 The Metropolitan Museum of Art begitu lengang karena baru saja dimulai jam operasionalnya. Hanya satu dua pengunjung yang berseliweran sekedar mengagumi maupun memotret benda sejarah yang terpajang. Udara dingin bulan Desember di New York membuat siapa pun malas keluar rumah. Atau mungkin mereka tengah menghabiskan libur panjang di pantai-pantai tropis dari pada mengurung diri di museum.

Berdiri mematung, seorang pria menatap empat buah koleksi di balik kaca anti peluru tadi lurus-lurus. Tangannya terlipat di depan dada dan mata tak pernah lepas dari keempat tombak yang dipamerkan. Ia telah berdiri di sana sejak tadi. Dia pengunjung pertama museum pagi ini.

Wajah Asia dengan kulit sawo matang yang dimiliki pria tersebut seharusnya lebih menarik perhatian Alanna Connolly dibanding dengan apa yang dilakukan. Yah, kalau saja perempuan pemandu tur itu bisa mengabaikan bahwa ini kali kesepuluh ia memergoki pria tadi mengamati tombak-tombak perunggu dua minggu terakhir.

"Hei, masih tetap di sini, eh?" sapa Alanna ramah.

Pria itu mengangguk.

"Bolehkah aku bertanya?" Alanna meminta izin. "Kelihatannya kau begitu tertarik dengan keempat tombak dari Indonesia ini. Bisa aku tahu alasannya? Apa kau teringat dengan kampung halaman atau hal lain..."

Tangan pria itu menyentuh permukaan kaca perlahan. "Pataka Sang Dwija Naga Nareswara, Pataka Sang Hyang Baruna, Pataka Sang Padmanaba Wiranagari, Pataka Sang Hyang Naga Amawabhumi," ucapnya tegas serta menyunggingkan senyum yang terkesan sedih bercampur marah.

"Wah, ini kali pertama aku mendengar seseorang melafalkan nama mereka dengan fasih," puji Alanna. "Benar sekali, ini adal--"

Krrtk!

Alanna menoleh pada asal suara retakan yang begitu nyaring di gendang telinga. Di sekeliling telapak tangan pria sawo matang itu terbentuk jalur retakan begitu panjang dan banyak. Seolah baru diremuk oleh palu godam atau benda tumpul lain.

"Hei! What are you doing?!" sentaknya. "B-bagaimana bisa kau melakukan itu...?"

Retakan mulai menyebar ke seluruh permukaan kaca yang tak bisa ditembus oleh peluru. Sebuah kejadian yang membuat Alanna terpana dengan keganjilan yang tersaji untuknya. Apa dia memakai teknologi canggih di tangan? Semacam tangan bionik super?

Alanna menggeleng cepat. Perempuan itu mengumpulkan keberanian dan mencengkeram erat pundak pria Asia itu. "Berani-beraninya kau! Apa kau tak tahu kalau nilai sejarah dan seni dalam koleksi ini tak bisa dihitung?!"

Pria itu menatap Alanna muak. Dia mengangkat sebelah tangan, dan tanpa bergerak atau melakukan sesuatu, Alanna tiba-tiba terpelanting jatuh. Seperti ada sesuatu yang berkekuatan besar melemparnya bagaikan lalat pengganggu. Belum juga Alanna sadar dengan apa yang terjadi, sesuatu mencekik lehernya beringas. Pemandu tur itu panik menghirup udara sebisanya. Urat lehernya menegang, tubuhnya kejang. Matanya mendelik horor. Semuanya berakhir. Hidupnya...

Napas terakhirnya habis.

"What the... apa-apaan ini?!" sebuah suara menggema di Galeri 247. Seorang pria paruh baya berseragam keamanan datang dengan pistol siaga. Sebuah nametag bertuliskan 'Jhon Diggory' menggantung di dada.

Pria sawo matang itu berpaling dengan pandangan bertambah muak dan benci.

"Step aside and rise your hand, Sir!" perintah Diggory tegas.

Mengabaikan perintah, pria itu bergumam dalam bahasa yang sama sekali tidak Diggory mengerti. Namun, wajah Diggory kemudian memucat. Lututnya gemetar dan jantungnya berdetak kencang. Dia diselimuti oleh ketakutan.

Pria itu menggeser kakinya pelan yang langsung dihadiahi peringatan keras, "JANGAN BERGERAK!"

PRAANG!

Kaca anti peluru pecah berkeping-keping diiringi bunyi ledakan mesiu dari muntahan timah panas dari selongsong. Jhon Diggory yakin bahwa tembakannya tak meleset. Ia yakin pelurunya bersarang tepat di jantung. Ia juga melihat darah berhamburan keluar mengotori lantai. Dan hal itu cukup manjur untuk melepaskan nyawa dari raga.

Namun pria itu tetap berdiri kukuh di atas kedua kakinya, dengan dada berlubang tertembus peluru.

Sepuluh tahun berkarir, Diggory tak pernah sekacau ini. Tanpa basa-basi ia berbalik mengambil langkah seribu keluar dari Galeri 247. Dia tidak percaya pada setan dan sejenisnya, tapi demi Tuhan! Makhluk apa yang masih tetap hidup dengan lubang menganga di dada?

"Sirna!"

Hal terakhir yang ia ingat adalah: sebuah bayangan hitam menyusul di belakang, merengkuhnya, lantas menyeret kasar tanpa ampun. Ia begitu ngeri hingga memejamkan mata. Lantas, rasa sakit itu muncul mengoyak tubuh, menghilangkan kesadaran.

Pria sawo matang itu berdiri mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ekspresinya jijik melihat dua mayat yang tergeletak. Kemudian, ia mengalihkan perhatian pada empat tombak yang terbebas dari sangkar kacanya. Dia tersenyum.

"Wilwatikta jayati." [*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang