III

87 9 3
                                    

Suatu tempat, Jawa Timur

Dalam kegelapan malam, sebuah bayangan melesat cepat melewati gang-gang sempit nan becek setelah diguyur hujan deras. Gemericik air mengiringi tiap langkahnya. Gang sempit bagaikan lorong dari sebuah labirin itu berujung pada sebuah tanah lapang yang di beberapa bagiannya ditumbuhi gerombolan rumpun bambu yang menjulang. Dia melambat. Tanpa alas kaki dia melangkah menginjak rumput yang dibiarkan tumbuh liar.

Dia berhenti ketika telah berada tepat di tengah-tengah tanah lapang. Dia lantas duduk bersila seperti sedang menunggu.

Sinar bulan membuat perhiasan yang dikenakan sosok itu berkilau. Dia adalah seorang pria dengan perawakan tinggi besar penuh otot, apalagi dengan keadaannya yang bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana pendek hitam dan di pinggangnya melilit kain motif mirip kawung. Upawita melintang dari pundak kiri hingga ke pinggang. Gelung kelingnya rapi, dan dia juga memakai kelat bahu berbentuk Kala.

"Heh," dia mendecak kesal. "Harus berapa lama lagi aku menunggumu?"

Tanah di hadapannya sekonyong-konyong merekah. Sekejap kemudian lima jemari berbalut tanah muncul seakan berusaha meraih sesuatu. Pria tadi dengan sedikit segan menangkap tangan itu dan menariknya keluar seperti mencabut rumput hama.

"Kau macam lobak baru dipanen," ejeknya pada pemilik tangan yang digenggam.

"Sayangnya aku adalah manusia, bukan lobak. Huh, memang seharusnya seorang bekel setolol ini."

"Kau tidak pernah tahu perumpamaan?" balasnya tenang. "Ngomong-ngomong sekarang aku adalah seorang Mahapatih. Kau mati terlalu cepat."

Dia membantu sosok yang baru saja keluar dari dalam tanah untuk berdiri. Sosok itu menepuk-nepuk badannya supaya tanah yang melekat segera hilang. Posturnya sedikit lebih pendek dari penolongnya, dan ia mengenakan celana pendek yang telah koyak.

"Hei, Mada," panggilnya masih berkutat dengan tanah di pundak. "Kira-kira bagaimana aku dikuburkan dahulu?"

Yang dipanggil Mada mengelus dagu berpikir. "Yah, jelasnya sesuai dengan apa yang telah kau perbuat, tidak secara layak." Dia berkacak pinggang seraya menebar pandangan. "Nah, sekarang ke masalah inti. Jelaskan mengapa kau dan aku ada di sini sekarang?"

"Aku tak tahu," jawabnya acuh tak acuh membuat Mada sedikit emosi.

"Jangan bercanda, Kuti! Dia berkata jika kau pasti tahu."

"Dia?" ulang Kuti. "Oh, maksudmu orang yang sudah membuat kita di sini?"

Mada mengangguk mengiyakan. "Kau kenal dia?"

Seringai muncul sekilas di wajah Kuti. "Dulu aku mengenalnya, tentu saja. Kalau Patikamanda masih menjadi miliknya, maka aku masih kenal dengannya. Kau juga, mungkin."

Alis tebal milik Mada bertautan hampir satu garis lurus. "Patikamanda?"

Kuti menggelung rambut sekedarnya, lantas melempar senyum mengejek. "Ah, seorang Mahapatih tidak tahu apa-apa tentang Patikamanda? Kembalilah menjadi bekel saja. Memalukan," oloknya.

"Aku tahu, tapi aku sama sekali tidak percaya!" sahutnya cepat. Mukanya berubah masam.

"Sudahlah, Mada. Nikmati saja hidup kembali di zaman ini."

Mada terdiam. "Tapi zaman ini tercium penuh kebusukan," komentarnya datar.

"Busuk atau tidak..." -- Kuti menepuk bahu Mada sok akrab -- "... yang penting kau mendapatkan kembali hidupmu itu. Tapi kau harus berhati-hati tentunya soal pemilik Patikamanda."

Ditepisnya tangan Kuti secara kasar. "Memangnya kenapa?" tanyanya serius.

"Nyawamu itu tidak cuma-cuma." Kuti menggerak-gerakkan telunjuk dan memperingatkan, "Semua baginya memiliki harga."

Mada mendecak sekali lagi. "Kau bicara seperti tahu segalanya." Mada menatap Kuti lekat-lekat. "Katakan, bagaimana aku bisa kembali pada takdir yang seharusnya?"

"Entahlah," balas Kuti mengangkat bahu. "Aku hanyalah seorang Winehsuka yang paling kau benci." Kuti balas memandang Mada tepat di matanya. "Mengapa kau percaya padaku?" dia balik bertanya.

Kuti berputar membelakangi Mada. Dia berjalan menjauh.[*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang