X

76 5 0
                                    

Terhuyung Seroja berjalan mundur, menghindari Kresna yang perlahan mendekat memangkas jarak, pelan tapi pasti. Seroja terus mundur, sampai hal terakhir yang membuatnya terhenti adalah tembok yang angkuh berdiri. Dingin menyentuh punggungnya, menjadikan gadis itu makin ngeri dengan apa yang mengancamnya.

"B-berhenti..."

Lidah Seroja kelu, tak bisa diajak berkompromi. Tidak ada jalan untuk melarikan diri, sementara Kresna sudah berdiri mendekatkan wajahnya hingga tersisa sejengkal untuk sekedar disebut batasan. Mata sebiru lautan milik pria itu menatap penuh selidik. Seroja menelan ludah gugup.

Ini terlalu dekat, batinnya panik. Makhluk apa dia?!

"Bisakah kau menjawab pertanyaanku, Yayi Antareja?" tanya Kresna, kali ini terdengar lebih ramah.

Sukar bagi Seroja untuk menjawab, sebelum akhirnya suara parau keluar dari tenggorokannya, "A-aku bukan Antareja..."

Kresna menarik wajahnya menjauh. Dia yang sekarang berwujud pria dengan kulit sehitam burung gagak dalam kegelapan yang berhias tato rune keemasan atau apapun itu di sekujur tubuh dan wajahnya menyilangkan kedua tangan di depan dada, memberi tatapan tidak percaya yang entah kenapa begitu nyaman, seolah Seroja sering diberi pandangan tersebut sebelumnya.

"Alasanmu begitu basi, Yayi," tampik Kresna skeptis. "Kau mungkin bisa menipuku dulu, tapi tidak ada keledai yang jatuh pada lubang yang sama dua kali."

"Dulu?"

"Ya. Dulu, Yayi. Dulu." Kresna tersenyum nakal dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Mengakulah, Yayi. Karena ada masalah genting yang harus kau selesaikan segera semenjak kepergianmu."

"Tapi aku sungguh-sungguh!" Seroja mengacak kesal rambutnya dengan sebelah tangan. "Aku bukan Antareja, Mas-- eh, masih boleh panggil 'Mas', kan?"

Kresna tertawa. "Padahal kau dulu memanggilku dengan sebutan 'Kanda', Yayi."

"Bah! Sudah kukatakan kalau aku bukan Antareja atau siapapun yang bernama sama seperti wayang putranya Werkudara itu!" Seroja menghentakkan kaki gusar. "Demi apa hari ini begitu kacau?! Makhluk apa kau?! Setan? Iblis? Atau Asura?" gadis itu tercekat. "K-kau Asura?!"

Tenang, Yang Mulia Paduka. Dia adalah orang kepercayaan Paduka, kawan akrab Paduka sendiri, sahut si ular menjawab ketakutan Seroja. Ular itu menghadap Kresna lalu menunduk takzim. Salam, sapanya hormat.

"Ah, memang benar itu kau, Sarpacitra," sambut Kresna pada ular tersebut. "Pantas saja aku tadi seperti mendengar suaramu. Apa yang kau lakukan di sini, hai ular yang baik?"

Ular itu melata ke depan, lalu menjawab pertanyaan Kresna sopan.

Hamba tengah mencari Yang Mulia Paduka yang tiba-tiba saja tak ada di Istana Jangkarbumi. Hamba membawa pesan dari Sinuhun Paduka Sang Hyang Batara Antaboga sebagai kakek Yang Mulia Prabu Nagabaginda di Sapta Pratala. Ada kabar buruk yang harus segera hamba sampaikan pada Paduka, cerita ular bernama Sarpacitra seraya menatap Seroja hormat. Tidak hamba sangka kalau sekarang Paduka ada di Janaloka, dunia para manusia. Penampilan Paduka juga sangat berbeda sehingga hamba tidak dapat mengenali Paduka. Mohon ampun sebesar-besarnya Paduka, atas kelancangan hamba.

Kresna pun menambahkan sependapat, "Aku juga setuju denganmu, Sarpacitra. Dia berubah menjadi sangat cantik. Heran aku, mengapa kau mengambil wujud seperti itu, Yayi?"

Habis sudah kesabaran Seroja yang selama ini harus ia tahan. Percuma baginya untuk menjelaskan kalau mereka salah orang. Dia sama sekali bukan Antareja, bahkan dia hapal betul silsilah keluarganya, dari keponakan sampai buyutnya, yang sangat dia yakini tidak ada yang bernama Antareja atau yang hampir mirip-mirip. Antareja yang dia kenal hanyalah dalam rupa kulit yang ditatah -- dibentuk -- sedemikian rupa, yang sering menghiasi pakeliran dunia wayang yang dibawakan secara apik oleh dalang. Hanya benda seni. Dan mengapa Kresna dan Sarpacitra terus menganggapnya sebagai Ksatria Jangkarbumi?

"Aku bukan--"

"Sarpacitra, kabar apakah yang ingin disampaikan oleh Kakek?" sebuah suara lelaki yang nadanya sangat bersahaja meski agak terkesan ugal-ugalan menimpa suara Seroja yang berasal dari tenggorokannya sendiri. Gadis itu terbelalak dan langsung meraba lehernya bingung.

"Wah, akhirnya mengaku juga," seru Kresna gembira. "Apa susahnya sih, pakai sembunyi-sembunyi segala, Yayi?"

"T-tapi ini... ini..." Seroja kehabisan kata-kata.

Tenanglah, kata suara tadi yang kini menggema di kepala Seroja. Aku harusnya minta maaf. Sekarang, tidurlah agar kau tidak ketakutan.

Dan lagi-lagi Seroja harus merelakan kesadaran meninggalkannya, jatuh ke dalam kegelapan tak berujung dengan paksa.

*

Caraka Danadyaksa mondar-mandir dari pintu apartemennya menuju dapur, kembali lagi ke pintu, terus seperti itu macam orang stres dibebani banyak permasalahan. Rambutnya kusut, dan cambang mulai muncul membingkai wajahnya yang berkulit sawo matang. Dia lupa untuk bercukur kemarin karena harus segera take-off dari Amsterdam kembali ke Indonesia. Dia baru saja tiba dan masih mengenakan seragam pilot sambil menyeret koper hitam berhias stiker dari berbagai negara saat Kresna menunggu di depan pintu apartemen membawa kabar mengejutkan.

"Yakin dia Abangku?" tanya Caraka masih sangsi dengan apa yang dia dengar tadi. Dia melonggarkan dasi, lalu menghempaskan tubuh ke sofa.

Dari dapur, Kresna mengaduk kopi yang dia seduh setelah menambahkan dua bongkah gula balok. Dia membawa cangkir di kedua tangan dan berhenti di hadapan Caraka. Uap mengepul membawa aroma khas. Dia menyodorkan cangkir coklat tua pada Caraka. "Kopi dulu, Dik? Cai pasti lelah sehabis 'menyetir' dari Amsterdam."

"Matur suksma, Bli," ucapnya saat menerima cangkir dari Kresna. Dia meniup pelan kopinya, lalu menyesapnya sedikit. "Agak manis," komentar Caraka. "Tidak apa-apa, toh bukan sianida."

Bibir Kresna yang baru menyentuh pinggiran cangkir langsung berhenti. Dia mendongak dan menebar senyum jahil. "Kalau sampai icang terlibat kasus sianida, wah... Jangan harap kasusnya selesai lebih cepat atau minimal sama seperti kasusnya Mirna." Pria itu akhirnya meminum kopinya. "Cai bakal merana dalam kubur," imbuhnya.

"Bli," panggil Caraka. "Benar kalau orang yang ada di kamar itu Abangku? Bukankah..." dia tidak melanjutkan perkataannya akibat ragu-ragu.

Kresna meletakkan cangkir di meja. Dia menyenderkan punggung gaya orang santai, lalu mengangguk membenarkan. "Dia benar-benar Abangmu, Dik... ah, dalam hal ini maksudku kau, Gatot."

Mendengar nama itu, Caraka mendesah kuat-kuat. "Bang Reja... kenapa jadi seperti itu, Bli?"

"Itulah Dik, yang masih aku pikirkan. Aku tidak dapat menghubungi Antareja semenjak dia pamit pergi ke Manado empat bulan lalu. Apalagi keadaan Saptapratala saat ini kacau," tutur pria berjaket hitam itu dengan raut cemas. "Tirta Amerta hampir saja dicuri dari kediaman Antaboga seminggu lalu."

Caraka membelalak terkejut. "Dicuri?!"

Kresna mengangguk. "Dan gentingnya lagi, Abangmu ternyata harus terperangkap di tubuh seorang gadis." [*]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang