VIII

64 5 3
                                    

"Runtuhkan monarki yang membelenggu tanah ini, wahai Mahapatih yang Agung. Bawa kembali kejayaan yang dulu."

Kuti yang mendengar permintaan gumpalan asap bernama Daitya itu terbelalak. Membangun kembali Majapahit? Di zaman ini? Bahkan dari kebangkitannya saja, dia sudah merasa tidak beres. Dia senang, tapi disaat yang sama dia merasa salah.

"Aku tahu kau sangat membenci pola masyarakat yang semacam ini, Gajah Mada. Manusia yang melupakan keluhuran nenek moyang haruslah dibinasakan. Orang yang tidak dapat menjaga warisan leluhur harus lenyap." Daitya berhenti berujar. Dia memandang Mada tanpa bisa diketahui apa maksudnya. "Dengarkan batinmu. Kau merasakan gejolak itu, kan?"

Bibir Mada bergetar. "Jelaskan..." lirihnya. "Jelaskan padaku apa yang terjadi sekarang! Semenjak aku meninggalkan dunia ini! Apa yang terjadi?! Mengapa aku mencium bau menjijikkan ini lagi?!" tuntutnya marah.

"Mada, lebih baik kita--"

"Dengan senang hati akan kutunjukkan," sela Daitya cepat.

"Daitya!" teriak Kuti gusar, namun terlambat. Asap itu menyebar mengelilingi Mada. Pria itu menggeram marah dan bergegas menuju Mada. Akan tetapi sosok manusia perwujudan dari Daitya yang pernah dia kenal semasa hidup muncul menghadangnya. Sosok jubah hitam bertudung memakai topeng denawa sedang tersenyum lebar. "Apa maksudmu, ha?"

Daitya tertawa senang. "Hahahaha! Lama tidak jumpa, Kuti. Kau masih tetap sama saat kau mati, kecuali tanah yang menutupimu itu."

"Aku serius, Daitya."

"Kau tahu, aku menguburkanmu setelah tubuhmu dikoyak-koyak gagak. Hahaha! Untuk apa aku harus membakar sisa tulang belulangmu? Eh, harusnya tidak kuberitahukan padamu." Daitya melipat kedua tangan di depan dada. "Aku merasa sedih ketika tanah mulai diuruk menimbunmu."

Kuti tidak senang ketika Daitya mengungkit bagaimana cara dia diperlakukan setelah mati, sebuah peristiwa yang sangat tidak ingin dia ketahui sekarang. Dengan nada tinggi dia berteriak, "Halayu--"

"Jangan. Sekali-kali. Menyebut. Nama. Itu," potongnya. Senyum di wajahnya luntur seketika, berganti dengan ekspresi marah besar dan tatapan membunuh yang mengintimidasi. "Akan kubunuh kau. Kubunuh kau dan akan kuhidupkan, lalu akan kubunuh kau lagi. Akan kulakukan itu terus menerus. Akan kubuat dirimu merasakan kematian yang berkali-kali menjemputmu!"

"Kejam sekali kau, Daitya," seru Kuti sambil menekankan kata terakhir yang dia ucap. Dia berusaha untuk tenang menghadapi ancaman yang terbilang sangat ekstrim. Tanpa ragu dia maju hingga berhadap-hadapan dengan si jubah hitam. Dia menunjuk wajah Daitya, dengan muka merah padam Kuti berkata murka, "Aku tidak tahu apa maksudmu menghidupkan aku dan Mada di zaman ini. Kau dan Patikamanda milikmu itu pasti berencana membangkitkan selain kami berdua, tapi kuharap Daitya... jangan buat aku marah dengan melibatkan diriku dalam rencana bodohmu itu!"

Daitya menyeringai keji. "Tapi kau senang, kan? Kembali menghirup udara segar seperti dulu. Yah, walau tidak sesegar dulu juga, sih."

Pria belepotan tanah itu meludah tak sudi. Matanya nyalang mengancam Daitya, lantas dia bertanya dengan suara rendah yang menandakan keseriusannya, "Kenapa kau menginginkan agar dia membangun kembali Majapahit, Daitya?"

"Alasannya masih seperti dulu, Kuti. Kau pasti tahu apa itu," jawab Daitya enteng.

Kuti mendengus kesal. Urat kehijauan muncul di pelipisnya. "Kau ingin mengulang peristiwa Semi dan Nambi?!"

Daitya menoleh pada Mada yang saat ini tertunduk dengan tangan mengepal kuat. Mada bergetar, lalu saat dia mengangkat wajah, ekspresi kemarahan memenuhi dirinya. "Kuterima penawaranmu, Daitya."

Tercengang Kuti mendengar jawaban Mada yang memang sudah ia duga, namun dia letakkan pada pemikiran paling akhir alias tidak mungkin.

Sosok perwujudan dari Daitya meliuk dan bertransformasi kembali menjadi asap. "Nah, tunggu apa lagi? Semua ada di tanganmu sekarang." Gumpalan asap itu menghilang, lenyap dari pandangan.

"Hei, Mada," panggil Kuti serius bercampur panik. "Ada yang harus ku--"

"Carilah Sandekala kesayanganmu, Kuti. Sebelum aku menemukannya."

Kuti berbalik sigap mencari sumber suara yang suka memotong perkataannya, tapi dia tidak menemukan pemilik suara itu. "Daitya!" teriaknya tidak senang. "Mada, sebaiknya..."

Kosong. Mada telah hilang dari tempatnya. "Ah, sial!" [*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang