V

63 8 1
                                    

Seroja merasa risih diperhatikan terus oleh Kresna semenjak di lapangan. Biarpun ia berjalan lebih dulu, dia bisa merasakan diawasi terus menerus. Seroja menggaruk tengkuknya was-was. Mau Kresna itu pelatihnya atau bukan, Seroja tetap tidak suka diperhatikan seperti ini. Dia seperti anak kecil diincar om-om pedofil.

Bangunan berukuran 4x4 meter yang berada di bagian belakang sekolah makin dekat. Bangunan itu dulunya adalah perpustakaan waktu SMA Pancasona baru saja diresmikan. Karena perombakan tiap tahunnya, dan menurut rumor salah satu kepala sekolah dulu seorang empek fanatik fengsui, posisi perpustakaan dipindahkan ke depan sehingga gedung lama menjadi kosong dan dijadikan gudang beberapa ekskul besar SMA Pancasona. Alih-alih gudang secara harafiah, tempat ini sebenarnya merupakan basecamp bagi murid tukang bolos.

"Sioca," panggil Kresna menyebabkan Seroja terlonjak kaget.

"Sioca?" ulang gadis itu tidak paham. Apakah dia salah memanggil nama, duganya ragu.

"Maaf, maaf. Terbawa dialek di rumah," ujar Kresna tertawa. "Tahu kan, saudaraku rata-rata Tionghoa?"

Tentu saja Seroja menggeleng.

"Icang bermaksud memanggilmu 'nona'. Sioca artinya nona."

Pintu kaca terselubung gorden dari dalam menghadang. Terkunci, karena ini hari libur. Sekolah tidak bisa diakses sesuka hati oleh murid apalagi orang luar. Pengecualian untuk Kresna. Dia menjejak dengan ujung jari kaki saja, menggayuh sesuatu yang ada di sela-sela ventilasi atas pintu. Sebuah kunci dia dapatkan. Khusus untuk Kresna, dia termasuk alumni SMA Pancasona. Jadi dia tahu kebiasaan para pembolos itu.

"Eh, Ja," panggil Kresna lagi. "Cai tidak takut ular?"

Seroja memandang tidak percaya. "Di gudang ada ular?! Masa'?" gadis itu balik bertanya. "Kan, kebun belakang sudah aman dari reptil itu. Pindah ke sini ularnya?"

Kresna memasukkan kunci pada tempatnya, kemudian memutarnya dua kali. Didorongnya pintu kaca itu pelan. Segera bau pengap dan apak menyergap hidung. "Elah, icang tadi bertanya 'cai takut ular atau tidak', Ja. Cai pikir icang tahu di dalam ada ular, begitu?"

"Oh. Tidak, aku nggak takut sama ular. Kalau jijik sih, sama cacing. Hanya sebiji saja nggak apa-apa, kalau banyak semangkuk... hii, bisa-bisa aku nggak doyan mie seminggu." Seroja bergidik ngeri dan mengikuti Kresna masuk ke gudang.

Interior gudang tidak begitu spesial. Ada belasan lemari kayu usang, satu set alat drumband tua yang masih berfungsi baik, segunung tongkat pramuka dan tali lawe, tumpukan tenda A, empat tenda pleton lengkap dengan kerangkanya, sekarung pasak, mimbar yang sudah dimakan rayap, sofa yang mengelupas di sana-sini, juga macam-macam hasil karya seni dari tahun-tahun lalu sengaja ditinggalkan di dalam gudang ini. Bisa dikatakan gudang ini campur aduk isinya bak gado-gado. Setiap ada barang yang sekiranya tidak berguna -- walau keadaan masih bagus tanpa cacat -- selalu masuk kemari.

"Nggak berubah sama sekali," komentar Kresna bernostalgia. "Dulu icang tidur di sofa itu. Kadang malah ambil bantal dari UKS."

"Mas Kresna suka bolos ceritanya?"

"Dulunya. Sejak Pak Sabtono nganggur dengan selesainya jabatan Wakil Kepala Sekolah, beliau jadi mulai sering keliling. Tempat ini jadi tidak aman lagi." Kresna mencoba klarinet, suaranya fals. "Ja, metilar ke sana -- pergilah ke sana. Cai cari tandu yang masih layak. Icang mau periksa lemari, siapa tahu ada bidai lagi di sana," perintah Kresna.

Mengangguk saja, Seroja mengikuti anjuran pelatihnya. Dia berjalan menuju lemari berstiker Palang Merah besar. Kalau tidak salah di dekatnya ada tumpukan tandu lipat tidak terpakai yang masih layak. Bulan lalu Krisna, temannya, menyimpan benda tersebut di sana.

"Mas Kresna, kenapa nggak disuruh saja murid-murid membuat tandu darurat? Atau minta pihak sekolah menganggarkan dana untuk membeli tandu," usul Seroja saat memilah-milah tandu mana yang bisa dipakai.

"Minggu lalu sudah icang ajarkan," sahut Kresna. "Icang sebetulnya berniat memberikan tandu yang layak, tidak perlu meminta sekolah karena jelas kalau nggak bakal bisa. Tahu kan, SMP yang icang ajar lumayan terpencil dan tertinggal? Masa' tiap latihan harus buat tandu? Nggak efisien banget. Terus bidai juga. Mentang-mentang dekat dengan hutan, yekali pakai ranting? Emang mau buat api unggun?"

Seroja terkekeh mendengar penuturan Kresna. "Ya maaf, Mas. Keadaan sekarang ya seperti ini adanya. Terlalu terpusat, nggak menyebar secara merata."

Minggir manusia, aku hendak keluar dari sini!

"Aih!" pekik Seroja terlonjak. Dia celingak-celinguk mencari asal teguran yang mendesis seperti ular yang membuat jantungnya hampir copot. Gadis itu meraba tengkuknya kikuk ketika menyadari tidak ada satu pun makhluk hidup selain dirinya dan Kresna di gudang.

Jangan-jangan makhluk halus, sangka Seroja sedikit merinding.

Aku ada di bawahmu, Manusia. Singkirkan kakimu itu supaya aku bisa lewat atau kupatuk dirimu.

Seroja menunduk dan menemukan...

"Ular dapat berbicara?" cetusnya seraya mundur tiga langkah. "A-apa aku mimpi?"

Seekor ular berwarna hitam bergaris-garis kuning -- atau mungkin kuning bergaris-garis hitam -- merayap perlahan. Kepalanya mendongak sehingga bertemu tatap dengan Seroja. Tiba-tiba ular tersebut menundukkan kepala layaknya seorang hamba sahaya menghormat pada Raja.

Ampun, Paduka! Maafkan kelancangan hamba. Hamba tidak tahu kalau Paduka ada di sini. Hamba pantas mati untuk kesalahan ini.

"P-paduka? Apa maksudmu? Aku bukan keturunan darah biru atau semacamnya," ungkap Seroja tidak habis pikir. "Kau mungkin salah... orang? Well, itu karena kau seekor ular dan aku adalah manusia."

Ampun, Paduka. Memang hamba tadi salah mengenali Paduka, tapi hamba bisa segera mengenali Paduka setelah bertatapan langsung. Hamba yakin hamba tidak salah, ujar sang ular bersikeras.

"Tapi kupikir--"

Tidak satu pun dari bangsa kami yang tidak mengenal Yang Mulia Prabu Nagabaginda dari Ksatrian Jangkarbumi kecuali hamba yang berani menegur Paduka. Hamba pantas dihukum, sela sang ular tanpa memberinya kesempatan membela diri.

"Tapi aku bukan--"

"Kenapa Yayi sembunyikan jati diri? Sampai berpura-pura tidak mengenalku berbulan-bulan lamanya, wahai Yayi Antareja?"

Antareja? Siapa yang dipanggil Antareja oleh Kresna? Seroja berbalik bingung, lalu terperangah penuh teror. Sekarang dia berhadapan dengan Kresna, Kresna yang lain.[*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang