VII

56 7 2
                                    

"Kau kalah, Yudhistira."

"Amarta menjadi milikku. Kau dan empat saudaramu tidak punya apa-apa lagi."

"Mengapa kau menjadikanku taruhan, Kakang? Lihatlah ini, Kakang Yudhistira! Mengapa kau tega berbuat seperti ini?"

"Hahaha! Cepat layani kami, Drupadi! Kau sekarang hanyalah budak tak berarti! Tidak ada yang sudi membantumu!"

"Tarik terus, Dursasana. Lucuti dia!"

"Kakang! Tolong aku!"

"DRUPADI!!!"

Yudhistira tersentak dari tidur. Napas terengah-engah, keringat dingin mengalir pada pelipis mengikuti kontur wajahnya, turun melewati leher jenjang sebelum hilang di balik kaos abu-abu yang dia pakai.

Awan pekat menyelimuti langit. Kemarau akan berakhir di bulan Oktober, namun masih menyisakan kegerahan pada malam-malamnya. Yudhistira menyibak gorden motif garis-garis yang menutupi jendela kamar. Dia menggeser kaca tebal hingga tiada penghalang antara pemandangan malam dengannya. Udara bergerak menyapa kulit sepucat rembulan kesiangan. Aroma kopi dan jajanan lainnya memenuhi relung paru-paru saat ia mengambil napas. Yudhistira melongok ke bawah. Sebuah angkringan masih terjaga dengan aktifitasnya, melayani pemuda dan tukang becak yang masih mengais rezeki.

"Kang Yudhis?" panggil seseorang yang sebelumnya mengetuk pintu.

"Masuk saja, La."

Guncangan halus membuat Yudhistira mengubah arah pandangan. Di sana, di arah selatan kamarnya, sebuah cahaya panjang bergerak makin lambat. Cahaya itu berhenti pada sebuah bangunan. Kereta api baru saja tiba setelah menempuh perjalanan panjang dari timur. Decit rem serta lengking peluit mengiringi berhentinya kereta.

Cklek!

Lelaki berumur pertengahan kepala dua masuk. Kacamata bingkai kayu bertengger di wajah yang baru saja bangun. Sebuah selimut tersampir di pundaknya. "Mimpi buruk lagi, Kang?"

Yudhistira menyurukkan kepala pada telapak tangannya, lalu mengacak rambut frustasi. "Maaf kalau aku mengigau lalu membangunkanmu, La," dia memandang dengan tatapan bersalah.

Nakula, lelaki tadi, memberinya senyum. "Tidak apa-apa, Kang. Mau minum?" tawarnya.

"Tidak usah. Lekaslah tidur saja," tolak Yudhistira. "Kamu harus istirahat kan, La?"

"Ah, cuma masuk angin gara-gara begadang menyelesaikan skripsi kok. Lagipula aku sudah tidur cukup sejak kemarin. Aku berhutang terimakasih pada Sadewa yang sudah menggantikan tugasku." Nakula beranjak keluar. "Kopi atau teh, Kang?"

Yudhistira dengan lembut menarik jatuh selimut tipis di atas tubuhnya. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya menurunkan kaki dari ranjang. Dia berjengit menahan dingin yang menusuk hingga ke syaraf. Seperti listrik yang mengalir di tubuhnya, membuat kantuk terusir sepenuhnya dari mata.

2:03 a.m.

Pria itu menatap jam digital di atas meja samping tempat tidur dengan maklum. Dia sudah terbiasa untuk terbangun di waktu seperti ini. Tidak perduli seberapa larut ia tertidur. Mimpi yang selalu sama.

"Dua kakakmu sudah pulang?" tanya Yudhistira.

Nakula yang masih setia menunggu di ambang pintu menjawab, "Tidak tahu tuh, Kang. Bang Bima sama Bang Juna selalu tugas bersama tiap Bang Bima mengambil cuti. Katanya hari ini baru mau pulang."

"Dasar yang baru pulang dari Kodam Cendrawasih. Mentang-mentang dipindahtugaskan kemari jadi sering patroli bersama." Yudhistira menyelipkan tangan ke saku celana. "Yuk, La. Ngopi di angkringan belakang saja. Sambil menunggu dua saudara kita."

Nakula mengangkat bahu. "Terserah saja, Kang. Tapi ngomong-ngomong, si Dewa masih pulas tuh."

"Biarkan saja. Nanti kita belikan Rondo royal - tape goreng - kesukaannya," saran pria itu seraya merangkul pundak adiknya.

***

Sepiring Sego kucing - nasi kucing - tersaji didampingi segelas kopi hitam. Dari piring dan gelas sama-sama mengepulkan uap yang menandakan bahwa makanan dan minuman itu baru saja dibuat. Tanpa ragu Yudhistira makan menggunakan tangan kosong, sedangkan Nakula lebih memilih untuk mencomot sebuah pisang goreng di depannya.

Angkringan itu masih ramai oleh mahasiswa kehabisan uang saku di akhir bulan dan bapak-bapak penarik becak yang sibuk menonton siaran langsung liga Inggris. Liverpool melawan Arsenal.

"Kapan kamu sidang, La?"

Nakula menelan pisang goreng yang baru dikunyahnya cepat. "Dua minggu lagi, Kang. Skripsi sudah di-ACC sama dosen. Hanya tinggal menunggu saja, jadi nganggur minggu-minggu ini."

"Dewa bagaimana? Lama kutinggal tidak macam-macam, kan?"

"Ah, kembaranku itu," Nakula menyuap sego kucingnya. "Tidak masalah, Kang. Tapi dia malah hobi tidur melulu. Katanya sih, ada proyek bersama. Aku nggak tahu pasti, tapi tiap pulang kuliah dia langsung molor di kasur macam kerbau."

"Si Bima sama Juna?"

"Abang-abang itu punya urusan pribadi," sungut Nakula. "Yang satu katanya piket tapi nggak pulang-pulang, yang satu pasti lagi menggoda wanita."

Sorak sorai riuh terdengar dari kumpulan pria yang konsentrasi menatap televisi. Jagoan mereka berhasil menjebol gawang. Yudhistira menonton sejenak, lalu meminum kopinya. "Maaf, La. Aku terlalu lama pergi, ya? Kamu seperti anak terlantar begitu."

"Tidak apa-apa. Mbak Drupadi juga sering berkunjung untuk memasak, Kang." Nakula terdiam. "Kakang masih... mimpi tentang itu?"

Yudhistira memandang adiknya seolah tak terjadi apa-apa tadi. "Ah, jangan dibahas lagi, La. Woles aja."

"Dih, kalau logat begitu pasti ada apa-apanya, Kang," bantah Nakula cemberut. "Logatnya mirip Bang Juna pula."

"Sudah tujuh tahun, La," kata Yudhistira santai. "Sudah biasa."

Nakula memesan sego kucing lagi. "Tujuh tahun itu lama, Kang," ucapnya datar.

"Mungkin lebih, soalnya itu terjadi duluuu sekali," ralat Yudhistira.

Nakula tidak menanggapinya. Dia mulai memakan sego kucing porsi kedua dengan lahap. Entah apa yang dia pikirkan, tapi alisnya terus bertautan dan dahi berkerut. Melihatnya, Yudhistira hanya menghela napas panjang dan menandaskan kopinya. Matanya beralih pada televisi. Arsenal dan Liverpool sekarang imbang 1-1. Para pemain masih turun minum, dan komentator mulai mengeluarkan pendapat tentang pertandingan imbang tadi dengan menggebu-gebu.

"Para Asura makin menjadi-jadi saja, Kang."

Yudhistira yang baru saja mengambil kue cucur langsung memperhatikan sang adik yang mengangkat topik serius lain, Asura. Topik paling genting yang tiap hari akan dibahasnya di pagi hari bersama keempat adiknya.

"Bagaimana perkembangan patroli hariannya, La? Dalam urusan bisnis di Jakarta saja setidaknya aku sudah melenyapkan 30 ekor dan tiga portal ukuran sedang dalam perjalanan. Apakah di sini meningkat drastis?"

Lelaki berkacamata itu menggerakkan kepala setuju. "Sangat meningkat, Kang. Seolah-olah portal penghubung Asuraloka terbuka semua. Padahal menurut perhitungan dari Sadewa, seharusnya jumlah portal aktif di Nusantara minggu lalu hanya sedikit. Ada tujuh portal permanen di tujuh kota seperti biasa, lainnya hanya portal ukuran kecil akibat kebocoran. Kemarin Bang Juna dan Bang Bima telah menghancurkan lima portal di daerah Banyuwangi yang tiba-tiba muncul."

"Mereka berdua pergi ke timur?"

"Ya, Kang. Itu karena Dewa berfirasat akan munculnya kekacauan di sana, entah kapan. Dan rupanya Bang Bima juga Bang Juna harus menunggu satu hari untuk kemunculan portal itu."

Yudhistira menaikkan sebelah alisnya. "Dewa memberitahukan langsung info tadi? Secara lisan dan jelas?"

"Berbahasa alien seperti biasa. Dia masih sayang kepala."

Si kakak membulatkan mulutnya. "Kita akan tingkatkan patroli. Kalau perlu, kita minta bantuan dari anak-anak." [*]

SEROJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang